Tap...tap...tap.
Langkahnya berhenti tepat di belakangku. Aku bersiap menerima pelukan hangat darinya. Pelukan yang tujuh tahun tidak kurasakan itu. Pelukan disertai dengan belaian di rambutku. Pelukan tulus seseorang kepada kekasihnya.
Aku merasakan ia menyentuhkan ujung jarinya ke pundak kiriku. Aku terpejam, menikmati sentuhannya. Aku menyapa duluan, atau membiarkan ia menyapaku duluan? Aku mendadak tergamang. Satu. Dua. Tiga. Kuhitung namun ia tak juga melanjutkan aksinya. Akhirnya aku mengalah untuk menoleh ke belakang. Aku tertegak di hadapan Roy. Lelaki itu lagi. Hei, mana Ken?
“Halusinasi berlebihan. Memang ia tak akan pernah ke sini.” Sesalku kemudian.
“Kau masih mengharapkan Ken rupanya?” ada nada mengejek di sana. “Hubungan terkutuk yang kalian jalani itu, kapan akan bermuara?”
“Mau apa kau kemari?”
“Aku tahu engkau selalu ke tempat ini jika senja. Menikmati siraman jingga dan mengenyam kembali mimpimu yang kian berantakan.” Ia yang pernah –dan sering- melamarku, mendadak menuduh sembarangan.
“Kau tidak akan bertemu lagi dengan Ken, Ra.” Ujarnya seperti tahu kegelisahanku. “Ken sudah pergi.”
“Kau tahu apa!” dengusku tidak suka. “Ken masih setia padaku. Hanya memang belum ada waktu yang tepat untuk menjemputku.” Aku membela diri –membela Ken lebih tepatnya-.
“Coba saja kau hubungi Ken sekarang. Dan kau tagih janjinya, pasti ia tidak akan ada jawaban pasti.”
Aku tergerak memencet sederet nomor yang kuhafal betul. Sambungan terhubung, tak ada jawaban. Baru sambungan keempat terdengar sahutan dari seberang sana.