Mohon tunggu...
Megawati Sorek
Megawati Sorek Mohon Tunggu... Guru - Guru SDN 003 Sorek Satu Pangkalan Kuras Pelalawan Riau

Seorang guru yang ingin menjadi penulis

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Ulasan Buku "Akhir Sebuah Rasa" Karya Megawati Sorek

9 Mei 2024   14:01 Diperbarui: 9 Mei 2024   14:05 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Koleksi pribadi 

Buku novel dengan desain cover didominasi hitam dan merah serta segumpal bunga mawar memberikan kesan yang elegan sekaligus misterius. Merupakan  karya solo yang ketiga yang ditulis oleh Megawati Sorek (sebelumnya "Entahlah" dan "Bu Guru I Love You"). Novel Akhir Sebuah Rasa terbit Maret 2024, masih fresh dong tentunya. Diterbitkan oleh Wopie Tasnim Publishing-Bogor, dengan nomor ISBN : 978-623-89047-1-6 setebal 235 halaman pilihan editor yaitu Mbak Yesi Tri Andriani Sudibyo, beliau ini merupakan editor sekaligus penulis yang sudah malang melintang di berbagai kepenulisan dan seorang ex wartawan, dan ditangannyalah maka setiap naskah akan semakin epik dan menawan. Sedangkan genre pada novel Akhir Sebuah Rasa adalah roman bercampur dengan aksi dan dibumbui horor sedikit.

Novel ini mengangkat tema percintaan berbalur dendam, dilema. Mana yang dipilih. Rasa penyesalan yang ingin ditebus atau kebahagiaan yang ingin diraih dengan mengorbankan ego lainnya. Alur cerita mengalami turun naik aksi, pertarungan demi pertarungan terjadi bahkan menyasar ke ilmu kebatinan supranatural. Rasa cinta yang harus kandas karena terkuaknya sebuah rahasia. Para tokoh memiliki peran dan karakter yang kuat dan salin mendukung terbangunnya sebuah cerita yang menguras emosi pembaca. 

Latar cerita yang diangkat dari  novel ini juga tidak jauh dari asal si penulis sendiri sehingga riset sangat valid dan tidak begitu imajinatif. Kisah tokoh utama yang dari pelosok merantau ke ibukota provinsi merupakan perjalanan dan memiliki suasana yang mengharu biru layaknya anak kost sembari menuntut ilmu. Persahabatan pun mengalir begitu saja ketika sesama anak rantau berjumpa.

gaya kepenulisan cerita renyah untuk dibaca. Untaian kata menjadi kalimat yang padu, mudah dimengerti terkadang terselip bahasa Melayu dan budayanya sesuai dengan latar belakang tempat peristiwa yang diangkat pada novel ini. Isi perasaan yang tergambar menghanyutkan pembaca larut menjadi masuk dalam setiap adengan cerita. Menyentuh!

Kesimpulan dari buku ini adalah pastinya ada pesan dan pembelajaran yang bisa diambil hikmahnya bagi pembaca. Novel ini cocok dan dianjurkan untuk para pembaca dewasa yang mampu menganalisis masalah dan menyimpan pesan tersirat pada memorinya.

Adapun blurb cerita sebagai berikut : 

Intrik yang tumbuh di antara cinta dan dendam mengantarkan mereka dalam jerat pembalasan yang kelam. Teluh, guna-guna serta pelet  tanpa penawar datang secara beruntun. sanggupkah mereka mematahkan lingkar kejahatan  yang sudah berakar kuat di hati?

Testimoni yang tertuang pada belakang cover buku  :

"Satu kata untuk novel ini : Luar biasa. Lika-liku perjuangan para tokoh dalam menyelesaikan masalah yang datang bertubi-tubi, membuat alur cerita menjadi berwarna. sebuah novel yang menggugah emosi pembaca serta memberi pelajaran tentang kekuatan cinta dan dendam". -Reny Oktavia Arief. M. Pd, Pengawas sekolah Dinas pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pelalawan, Pembina Forum Taman Bacaan Mayarakat(FTBM) Pelalawan.

"Lewat buku ini penulis menyampaikan bahwa teluh dan pelet bukan hal yang baik untuk membalaskan dendam. Justru cintalah yang bisa menyelesaikan segalanya dengan indah. Wajib baca, sih ini. Adegan pertarungannya juga nggak kaleng-kaleng, benar-benar lengkap dan ditulis dengan gaya bahasa yang renyah."- Yesi Tri Andriani Sudibyo, Editor, dan Penulis Lintas Genre. 

Berikut bonus bab 1 nya ya, bolehlah untuk penasaran ke bab berikutnya. Bab 1 nya aja agak gimana gitukan. Hehehe, selamat membaca!

BAB 1 .  Perkara Gamis Membuat Hati Teriris

Di kamar berukuran sembilan meter persegi dengan penerangan lampu kecil yang sinarnya redup, Ria cemberut. Menit-menit berlalu, tetapi gadis tinggi semampai berkerudung hitam itu masih belum bisa menemukan gamis yang dicarinya.

Isi almari kayu jati sudah diperiksa satu per satu. Namun, nihil. Begitu juga dengan keranjang berisi tumpukan baju yang belum disetrika, gamis yang dicari masih juga tidak terlihat bayangnya. Ria kian kesal.

Akhirnya dia berjalan keluar kamar, mencari ibunya yang tengah duduk manis di kursi bambu, teras rumah.

"Mak ada angkat gamis yang kupakai waktu kondangan ke Surti kemarin?" tanya Ria sambil duduk di samping ibunya.

Dia comot sepotong singkong rebus yang asapnya masih mengepul, kemudian menggigit ujungnya seraya meniup-niup kepanasan.

"Pelan-pelan. Anak gadis makannya, kok, sembarang begitu?" tegur Mak.

Susah payah Ria menelan singkong panas di mulutnya. Setelah tertelan, dia berkata, "Iya, maaf, Mak. Abis singkongnya wangi sangat, jadi tak sabar kalau harus tunggu hangat dulu."

Mak berdecak.

"Jadi, Mak lihat gamis itu tak?"

"Tak ada, kenapa?" Mak balas tanya.

"Di mana, ya, Mak? Kucari-cari pun tak ketemulah," ujar Ria hampir menangis.

Mak berdecak. "Di cucian baju kotor sudah kau cari?"

"Sudah, Mak. Tapi, tak ada pun."

"Ingat-ingat dulu baik-baik."

"Jangan-jangan ada yang curi, Mak," tebak Ria.

"Hus, jangan ngomong sembarangan. Tak baiklah 'tu." Mak merengut. "Nanti kalau ada yang dengar jadi panjang urusan."

Ria mengembus napas panjang, putus asa. Baju yang hendak dipakainya, lenyap entah ke mana. Hati Ria gundah gulana. Terus mengingat tempat dia meletakkan baju itu terakhir kalinya, tetapi tak kunjung teringat jua.

Gamis merah muda itu adalah baju kesayangan Ria sebab nyaman dipakai. Modelnya yang polos tanpa corak membuat gamis tersebut mudah dipadukan dengan kerudung berbagai warna. Mengingat itu hati Ria jadi kesal lagi. Dia masuk ke kamar. Dikeluarkannya seluruh isi almari, berharap si gamis hanya terselip di antara tumpukan baju lain. Namun, usahanya sia-sia. Sudahlah gamis tak ketemu, bertambah pula pekerjaan akibat susunan baju-baju yang jadi berantakan.

Akhirnya, Ria sampai pada kesimpulan: gamis hilang dicuri orang, tetapi siapa? Kepala Ria jadi pusing tujuh keliling memikirkannya.

"Bukan rezekimu, Ria," tutur Mak menenangkan. "Insyaallah, kalau ada rezeki berlebih, lain kali beli gamis baru saja."

"Tapi, Mak, aku suka gamis itu," sahut Ria cemberut. "Lagi pula siapa yang usil ambil gamis bekas aku coba?"

"Sudahlah, ikhlaskan saja. Bisa jadi dia lebih butuh gamis itu. Sudah bukan rezekimu, Ria."

Meski mulut berkata iya, tetapi hati Ria masih mengganjal. Harga gamis itu memang tidak seberapa. Namun, kehilangan barang kesayangan tetap saja terasa tidak enak.

Ria tinggal di daerah padat penduduk yang dipenuhi dengan rumah kontrakan. Dia dan Mak menyewa sepetak rumah yang terdiri dari teras kecil di depan, satu ruang tamu, satu kamar, serta dapur di bagian paling belakang. Kamar mandi dan toilet hanya tersedia satu yang digunakan secara bersama-sama dengan penghuni kontrakan lain.

Biasanya setelah baju-baju dicuci, kemudian dijemur di belakang, dekat dengan kamar mandi umum. Semua penghuni kontrakan menjemur di tempat yang sama, hanya beda tali saja sehingga kehilangan baju-baju sudah bukan hal aneh lagi. Meski begitu, tetap saja itu mengesalkan.

Ria dan Mak hanya tinggal berdua di kontrakan tersebut karena Ria adalah anak yatim sejak usia 12 tahun. Dari sekian banyak pengontrak, tidak ada anak perawan sepantar Ria. Kebanyakan penghuninya adalah pasangan muda dengan satu atau dua anak balita. Itu membuat Ria kebingungan menerka siapa gerangan pemilik tangan usil yang menyukai gamis bekas pakai miliknya.

Beberapa hari kemudian, pagi-pagi sekali, saat Ria membuka pintu depan, dia menemukan bungkusan plastik bening berisi gamis yang hilang. Wangi parfum khas laundry tercium semerbak ketika bungkusan dibuka. Di antara lipatan baju ditemukan selembar kertas yang ditulis tangan menggunakan huruf kapital: MAAF, BAJUNYA KUPINJAM, TERIMA KASIH.

Ria menjadi heran setengah mati. Dia menerka-nerka lagi pelaku serta motif perbuatannya. Namun, hasilnya masih tetap sama: nihil.

Di antara rasa kesal dan penasaran, tiba-tiba terdengar pintu diketuk diiringi ucapan salam yang lantang dari arah depan. Ria bergegas menyambutnya.

"Masuk, Bi. Dari pasar, ya?"

"Iya, mana makmu?" Sang tamu mengulurkan sekantung jeruk ke Ria lalu duduk di sofa usang ruang tamu.

 "Masih nggosok di rumah Bu Asih, Bi. Kayaknya sebentar lagi pulang, sudah lama pun," jawab Ria sambil berlalu ke dapur.

Dia taruh jeruk-jeruk berukuran besar itu ke dalam wadah lalu membawanya ke depan. Setelah menyediakan minuman dingin untuk bibinya, Ria duduk seraya mengupas jeruk.

Bibi Tinah adalah adik Mak satu-satunya. Mereka hanya dua bersaudara. Di usia yang sudah tidak lagi muda, Tinah masih betah melajang. Dia tinggal di rumah peninggalan orang tua mereka yang jaraknya sekitar 500 meter dari kontrakan Ria. Jika dia ke pasar maka akan melalui rumah Ria sehingga ia sering singgah.

Tinah yang memiliki olah kanuragan tinggi, membuka praktik kebatinan di rumah. Tidak sedikit yang datang berobat kepadanya. Meski tidak seluruhnya berhasil, tetapi tingkat kepuasan pasien cukup tinggi sehingga rumah Tinah tidak pernah sepi.

Saat tengah asyik mengobrol, Mak pulang. Di tangannya terdapat plastik hitam berisi sayur dan lauk matang. Selalu begitu setiap Mak pulang nggosok pakaian di rumah tetangga.

"Sudah lama, Nah?" sapa Mak yang disambut Tinah dan Ria dengan mencium punggung tangan Mak.

"Barusan, Kak, ini beli keperluan untuk satu mingguan tadi," sahut Tinah sambil meraih amplop dari saku bajunya. "Ini ada sedikit rezeki 'tuk nambah-nambah belanja, Kak."

"Alhamdulillah, murah rezekimu, Nah. Makan siang sinilah. Tadi pagi 'dah banyak masak ni. Ada juga lauk dan sayur dari tempat nggosok tadi," ucap Mak.

"Tak bisalah, Kak, mau cepat-cepat ni, nanti ada orang datang ke rumah, lanjutan ambil obat," tolak Tinah.

"O, iya, sebelum kau pulang, aku ada sedikit cerita."

"Cerita apa, Kak?"

Mak lantas berkisah perihal gamis Ria yang hilang. Ria pun ikut menambahkan jika gamisnya sudah dikembalikan, tetapi dengan cara tidak wajar.

"Mana bajunya, bawak sini," pinta Tinah dengan ekspresi serius.

Bergegas Ria beranjak ke kamar, mengambil gamis tersebut di almari. Dia lantas menyerahkan ke bibinya.

Dengan hati-hati Tinah menerima gamis itu. Diamatinya tiap sisi penuh perhatian. Tak lama, wajah wanita tersebut berubah menjadi tegang. Matanya terpejam serta mulutnya komat-kamit. Ria dan Mak terdiam, menunggu Tinah melakukan terawangan.

"Astagfirullah!" Tinah berteriak nyaring. Matanya melotot. "Jangan dipakai lagi baju ni, Ria. Bakar!"

Ria terperanjat. "Ma-maksudnya, Bi?"

"Malam Jum'at Kliwon nanti baju ini harus dibakar. Bacakan ayat rukiah," ucap Tinah tanpa mengalihkan pandangan dari gamis Ria di pangkuannya. "Ambil pena biar Bibi catatkan ayat-ayatnya."

Ria gelagapan. Oleh karena perintah itu datang begitu cepat sehingga membuatnya bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Beruntung Mak ada di sisinya. Wanita itu mendorong pelan tubuh Ria supaya lekas mengambil pena dan kertas di kamar.

Setengah berlari Ria ke kamarnya, kemudian datang lagi dengan pena dan kertas di tangan. Dengan gemetar, dia serahkan dua benda itu ke bibinya.

"Memang kenapa sama baju itu, Nah?" tanya Mak mewakili penasaran Ria.

"Baju ini dikembalikan dengan diselipi ajian Serep Jiwa, Kak. Jika dipakai sama Ria, maka dia akan berada dalam kendali si pengirim ajian." Tinah menghela napas panjang dan berat. "Ini orang sepertinya ingin balas dendam kepadaku dengan meminjam jiwa Ria."

Tinah menatap lurus ke depan dengan mata menyipit. "Kemungkinan ada orang yang marah karena aku berhasil membuat hancur teluhnya pada pasienku. Cuma aku tak tahu dari arah mana ajian itu berasal. Ada lapis gelap menutupi. Untungnya, Kakak cepat-cepat cerita sama aku. Kalau tak, Ria dalam bahaya besar."

Ria dan Mak bergidik, kemudian saling lempar pandang. Mak buru-buru menyimpan kertas berisi catatan doa-doa yang harus dibaca ketika membakar gamis Ria nanti. Sementara itu, Ria terdiam sambil terus mengucap syukur dalam hati, untung baju tersebut belum dipakai setelah menerimanya kemarin.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun