Mak lantas berkisah perihal gamis Ria yang hilang. Ria pun ikut menambahkan jika gamisnya sudah dikembalikan, tetapi dengan cara tidak wajar.
"Mana bajunya, bawak sini," pinta Tinah dengan ekspresi serius.
Bergegas Ria beranjak ke kamar, mengambil gamis tersebut di almari. Dia lantas menyerahkan ke bibinya.
Dengan hati-hati Tinah menerima gamis itu. Diamatinya tiap sisi penuh perhatian. Tak lama, wajah wanita tersebut berubah menjadi tegang. Matanya terpejam serta mulutnya komat-kamit. Ria dan Mak terdiam, menunggu Tinah melakukan terawangan.
"Astagfirullah!" Tinah berteriak nyaring. Matanya melotot. "Jangan dipakai lagi baju ni, Ria. Bakar!"
Ria terperanjat. "Ma-maksudnya, Bi?"
"Malam Jum'at Kliwon nanti baju ini harus dibakar. Bacakan ayat rukiah," ucap Tinah tanpa mengalihkan pandangan dari gamis Ria di pangkuannya. "Ambil pena biar Bibi catatkan ayat-ayatnya."
Ria gelagapan. Oleh karena perintah itu datang begitu cepat sehingga membuatnya bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Beruntung Mak ada di sisinya. Wanita itu mendorong pelan tubuh Ria supaya lekas mengambil pena dan kertas di kamar.
Setengah berlari Ria ke kamarnya, kemudian datang lagi dengan pena dan kertas di tangan. Dengan gemetar, dia serahkan dua benda itu ke bibinya.
"Memang kenapa sama baju itu, Nah?" tanya Mak mewakili penasaran Ria.
"Baju ini dikembalikan dengan diselipi ajian Serep Jiwa, Kak. Jika dipakai sama Ria, maka dia akan berada dalam kendali si pengirim ajian." Tinah menghela napas panjang dan berat. "Ini orang sepertinya ingin balas dendam kepadaku dengan meminjam jiwa Ria."