"Masih nggosok di rumah Bu Asih, Bi. Kayaknya sebentar lagi pulang, sudah lama pun," jawab Ria sambil berlalu ke dapur.
Dia taruh jeruk-jeruk berukuran besar itu ke dalam wadah lalu membawanya ke depan. Setelah menyediakan minuman dingin untuk bibinya, Ria duduk seraya mengupas jeruk.
Bibi Tinah adalah adik Mak satu-satunya. Mereka hanya dua bersaudara. Di usia yang sudah tidak lagi muda, Tinah masih betah melajang. Dia tinggal di rumah peninggalan orang tua mereka yang jaraknya sekitar 500 meter dari kontrakan Ria. Jika dia ke pasar maka akan melalui rumah Ria sehingga ia sering singgah.
Tinah yang memiliki olah kanuragan tinggi, membuka praktik kebatinan di rumah. Tidak sedikit yang datang berobat kepadanya. Meski tidak seluruhnya berhasil, tetapi tingkat kepuasan pasien cukup tinggi sehingga rumah Tinah tidak pernah sepi.
Saat tengah asyik mengobrol, Mak pulang. Di tangannya terdapat plastik hitam berisi sayur dan lauk matang. Selalu begitu setiap Mak pulang nggosok pakaian di rumah tetangga.
"Sudah lama, Nah?" sapa Mak yang disambut Tinah dan Ria dengan mencium punggung tangan Mak.
"Barusan, Kak, ini beli keperluan untuk satu mingguan tadi," sahut Tinah sambil meraih amplop dari saku bajunya. "Ini ada sedikit rezeki 'tuk nambah-nambah belanja, Kak."
"Alhamdulillah, murah rezekimu, Nah. Makan siang sinilah. Tadi pagi 'dah banyak masak ni. Ada juga lauk dan sayur dari tempat nggosok tadi," ucap Mak.
"Tak bisalah, Kak, mau cepat-cepat ni, nanti ada orang datang ke rumah, lanjutan ambil obat," tolak Tinah.
"O, iya, sebelum kau pulang, aku ada sedikit cerita."
"Cerita apa, Kak?"