"Nyonya Lusi, Nyonya! Buka pintunya!" Suara Bi Sumi memanggil namaku.
"I-ya, Bi, sebentar," sahutku dengan suara serak.
"Masuk, Bi," ucapku. Senyum pun tak lupa kutampilkan. Di balas dengan wajah Bi Sumi yang terkejut sebentar.
"Nyonya pucat sekali, Nyonya sakit?"
Bi Sumi bertanya setelah ia duduk bersila seraya membuka bungkusan sarapan yang dibawanya.
"Tidak, Bi, cuma ...."
"Kenapa, Nyah?" Wajah Bi Sumi begitu antusias, sehingga  dia rela menghentikan aktifitas mengunyah.
Aku menceritakan kejadian yang kualami. Ekpresi Bi Sumi biasa saja, datar tanpa reaksi. Kuputuskan akan mencari solusi sendiri atas masalah ini, tanpa melibatkan Bi Sumi. Sungguh, aku tidak ingin teror yang kualami berimbas kepada wanita paruh baya tersebut. Sepertinya aku mulai menyadari ada yang tak beres dengan kejadian semalam. Bi Sumi berpamitan dengan alasan pekerjaannya menunggu.
Bersegera aku membersihkan diri, bersiap. Aku terkenang dengan seseorang teman lama papaku yang berada di Desa Kembang Wangi. Om Tiok yang memiliki ilmu supra natural---seingatku dia sering menolong orang yang terkena gangguan mistis.
Perjalanan yang kutempuh hampir mencapai lima jam, dan mesti rela dua kali naik mobil travel. Sangat mudah menemukan alamatnya. Ternyata beliau sangat terkenal dan disegani oleh warga desa.
Di sinilah aku berada, rumah panggung terbuat dari kayu yang kokoh yang memiliki undakan  lima tangga. Sangat lapang karena tidak banyak diisi perabotan. Sebuah hiasan dinding berukuran besar dengan tulisan kaligrafi yang indah. Jendela yang menghadap depan halaman serta samping kiri kanan dengan daun jendela besar. Sehingga angin alami sangat menyejukkan