"Kau datang tanpa harus kami bersusah payah," Suara yang sangat kukenali.
Bi Sumi!
"Bertepatan di malam purnama penuh, maka ritual kita akan berjalan sesuai rencana," sahut wanita muda berwajah jelita. Berdiri di samping Bi Sumi. Menatap tajam serta bibirnya yang berwarna merah menyeringai puas.
Penjelasan dari Om Tiok terbukti! Kedatangannya di pagi hari tersebut ternyata untuk memastikan keadaan yang menimpaku. Ia kecewa karena aku masih hidup, berkat bantuan yang 'mengikutiku' selama ini.
Bi Sumi tersenyum sekilas, pandangan matanya yang tajam. Lekat memandangiku dengan berbalut kebencian.
"Aku menantikan ini, sudah lama aku menahan diri. Dendam ini akan terbalaskan dengan sangat memuaskan. Menghabisi seluruh keluarga Abimanyu, serta mengambil jantungmu untuk persembahan ritual," Selesai berucap Bi Sumi terkekeh nyaring.
"Bertobatlah, Bi Sumi sebelum ajal datang, Allah akan menghukummu!" Aku terprovokasi mendengar nama Papa diucapkan oleh Bi Sumi.
"Abimanyu adalah sahabatku dari desa, kami bersama meraih cita ke kota ingin sukses, bersekutu dengan Iblis. Tapi karena mencintai mamamu Ia bertobat, ingkar dari perjanjian. Tak memperdulikan cinta dan pengorbananku untuknya. Hingga kumemilihnya untuk tumbal. Cintaku tak pernah pudar untuknya. Sebelum kau mati, ketahuilah Dahlia adalah adik tirimu, malam itu aku menjebaknya," Raut mata sendu itu memandang sayu padaku menyiratkan kepedihan.
"Cepat bersiap Dahlia, ritual yang sepuluh tahun sekali ini segera kita laksanakan. Waktu sudah dekat!" Bi Sumi memberi perintah kepada wanita yang memelet Mas Danu ternyata adalah puterinya dan anak papa juga. Aku syok, napas terasa sesak. Tak bisa berkata-kata lagi.
Dahlia membalikkan badan, lalu datang kembali menghampiri Bi Sumi memberikan nampan berisi dupa yang berasap. Bi Sumi yang menerima langsung melantunkan bahasa yang tidak kumengerti. Dia mulai mengelilingiku. Dahlia mengikuti dengan memegang napan beralas kain putih berisi keris berlekuk sembilan.
Aku merasa serangan hawa panas dan dingin bergantian pada setiap aliran darah. Mengerakkan tubuh seperti ikan yang kehilangan air. Kondisi tangan dan kaki terikat rantai membuatku gerakkanku terbatas. Seperti ada tenaga yang sangat besar ingin keluar. Mataku terbeliak, serta mulut mendesis dan menggeram. Menghentakkan tangan dan kaki hingga rantai terputus. Aku melayang terbang, menyerang ganas pada kedua wanita tersebut. Mereka terpelanting dengan punggung membentur dinding. Bi Sumi berdiri cepat dengan menahan sakit, Dahlia tak sadarkan diri.