Tidurku terganggu dengan suara ketukan di pintu. Mata ini masih terasa lengket. Aku pikir tak menjawab akan membuat orang itu berhenti mengetuk. Aku duduk dengan malas, meraih ponsel. Lalu melihat angka pada sudut layar, pukul 02.00 dini hari. Gedoran itu masih berlangsung, aku pun berdiri beranjak ke pintu dengan pikiran penuh tanya.
Semakin aku mengikis jarak dengan asal suara, ketukan itu pun hilang, kembali sunyi. Alisku bertaut, Kudekati lubang kunci, berjongkok lalu menyipitkan mata untuk mengintip dari celah kecil itu. Tubuh ini menegang mendapati tiada orang di luar. Siapakah yang tadi mengetuk? Apa orang iseng mengganggu? Berbagai pertanyaan muncul di benak. Â di luar hanya terlihat jemuran kosong dengan cahaya lampu temaram dari sudut teras deretan kamar indekost yang kutempati ini.
Aku memutuskan kembali ke ranjang dengan perasaan gelisah, beberapa kali memiringkan tubuh ke kanan dan kiri berusaha kembali memejamkan mata. Usahaku gagal, berakhir dengan posisi telentang dengan memandangi langit-langit kamar yang sudah usang.
Memang, aku baru seminggu tinggal di permukiman ini, sebuah ruangan berukuran 3x4 meter dengan bayaran yang sesuai dengan isi dompet. Sebenarnya hal ini sangat sulit aku jalani, semenjak kecil terbiasa dengan kehidupan glamor. Akhirnya, seperti mimpi mendapati kenyataan terusir dari rumah mewah milikku. Dicampakkan oleh suami yang datang tiba-tiba dari tugas di luar kota membawa wanita muda. Untung saja  sementara ini aku ada sedikit simpanan untuk hidup.
Hati ini terasa nyeri, bagai ditusuk ribuan sembilu. Pengkhianatan Mas Danu juga tindakan kejinya merebut seluruh harta, membuatku terjun bebas ke jurang terdalam. Untungnya ada Bi Sumi---kepala asisten rumah tanggaku. Wanita setengah abad tersebut sudah kuanggap sebagai orang tua menggantikan Papa dan Mama yang meninggal akibat kecelakaan.
Tiba-tiba lampu padam, cepat aku terduduk meraih ponsel dan menghidupkan senternya. Tubuh ini tersentak mendengar bunyi keras benda jatuh di atas atap rumah. Angin terasa  kencang, embusannya yang aku tak tahu dari mana asalnya karena kondisi kamar tertutup tak memiliki jendela. Ketakutan datang menyergap, seketika tubuh bergetar karna bunyi benda jatuh tadi kembali terdengar. Saat mendongak, cahaya dari senter ponsel mendadak mati. Gelap gulita. Gegas, kunyalakan lagi lampu itu. Namun, karena tangan yang gemetaran, alhasil benda pipih itu terjatuh ke lantai.
Tubuhku yang sudah berkeringat dingin, merosot ke lantai. Kedua tangan meraba-raba, tengkuk meremang diiringi dengan jantung berdegup kencang. Indera penciumanku dipenuhi aroma amis dan busuk yang menusuk. Membuat isi perut seakan mendesak ingin keluar. Satu sentuhan di pundak  membuatku tersentak. Di saat bersamaan, tangan ini menyentuh HP yang sedari tadi kucari. Dengan cepat kunyalakan lagi senter, sembari mengumpulkan tenaga.
"Aaa!" Aku terpekik kaget. Cahaya penerangan tepat memperlihatkan sosok kepala di depanku. Wajah pucat dengan kedua mata berwarna merah saga. Lidah yang terjulur dengan tetesan darah yang mengalir hingga ke dagunya. Wajah seram tanpa badan itu bergerak perlahan mendekati. Aku lemas  bak patung tak bertenaga.
***
Samar-samar terdengar suara memanggil serta ketukan pintu. Membuatku membuka mata perlahan. Mengumpulkan kesadaran serta mengingat kembali kejadian yang malam tadi kurasakan. Apa aku bermimpi? Tidak! nyatanya aku tergolek di lantai dengan masih memegang ponsel. Aku pingsan setelah tak kuat menanggung kengerian.
"Nyonya Lusi, Nyonya! Buka pintunya!" Suara Bi Sumi memanggil namaku.
"I-ya, Bi, sebentar," sahutku dengan suara serak.
"Masuk, Bi," ucapku. Senyum pun tak lupa kutampilkan. Di balas dengan wajah Bi Sumi yang terkejut sebentar.
"Nyonya pucat sekali, Nyonya sakit?"
Bi Sumi bertanya setelah ia duduk bersila seraya membuka bungkusan sarapan yang dibawanya.
"Tidak, Bi, cuma ...."
"Kenapa, Nyah?" Wajah Bi Sumi begitu antusias, sehingga  dia rela menghentikan aktifitas mengunyah.
Aku menceritakan kejadian yang kualami. Ekpresi Bi Sumi biasa saja, datar tanpa reaksi. Kuputuskan akan mencari solusi sendiri atas masalah ini, tanpa melibatkan Bi Sumi. Sungguh, aku tidak ingin teror yang kualami berimbas kepada wanita paruh baya tersebut. Sepertinya aku mulai menyadari ada yang tak beres dengan kejadian semalam. Bi Sumi berpamitan dengan alasan pekerjaannya menunggu.
Bersegera aku membersihkan diri, bersiap. Aku terkenang dengan seseorang teman lama papaku yang berada di Desa Kembang Wangi. Om Tiok yang memiliki ilmu supra natural---seingatku dia sering menolong orang yang terkena gangguan mistis.
Perjalanan yang kutempuh hampir mencapai lima jam, dan mesti rela dua kali naik mobil travel. Sangat mudah menemukan alamatnya. Ternyata beliau sangat terkenal dan disegani oleh warga desa.
Di sinilah aku berada, rumah panggung terbuat dari kayu yang kokoh yang memiliki undakan  lima tangga. Sangat lapang karena tidak banyak diisi perabotan. Sebuah hiasan dinding berukuran besar dengan tulisan kaligrafi yang indah. Jendela yang menghadap depan halaman serta samping kiri kanan dengan daun jendela besar. Sehingga angin alami sangat menyejukkan
 "Kamu diteror oleh Jin yang dikirim seseorang," Om Tiok yang berwajah kharimatik itu berujar setelah mendengar penjelasan dariku.
Â
      "Tapi di tubuhmu juga  ada yang menempeli," sambungnya lagi.
      "Maksudnya Om?" tanyaku tak mengerti
      "Akibat perjanjian" bukannya menjelaskan Om Tiok menjawab seakan berteka-teki membuat penasaranku menumpuk.
   ***
Kembali ke kotaku, setelah menginap semalam di rumah Om Tiok serta membawa misi darinya yaitu agar aku mencuri keris berlekuk sembilan. Tepat tengah malam aku mengendap-endap masuk ke rumah yang kini ditempati oleh suami serta istri mudanya---lebih tepatnya rumahku. Tiada yang berubah di rumah ini setelah kutinggalkan. Hanya di belakang rumah ada bangunan baru, berdinding beton seperti rumah kecil, Itulah tujuanku.
Bulan penuh menghias langit malam, bintang yang bertaburan. Tiupan angin malam yang semilir, entah mengapa membuatku justru kedinginan. Mataku waspada mendekati pintu yang sedikit terbuka. Aroma menyengat terhidu. Memindai ruangan yang seluruhnya dicat dengan warna hitam. Di tengah-tengah ruangan terdapat meja bulat kayu jati berukir. Di sudut ruangan meja kecil terdapat napan tempat diletakkan keris berlekuk sembilan beralaskan kain putih. Pun dua buah mangkuk kecil perak yang mengeluarkan asap. Mataku terbelalak mendapati seorang yang keluar dari kamar bertirai hitam. Perempuan itu berpakaian hitam serta ikat kepala yang juga berwarna senada.
Bruk!
Aku merasakan pukulan yang begitu kuat dari benda tumpul dan keras pada tengkukku. Tubuhku terasa ringan terhuyung ke depan. Tidak merasakan sakit ketika dada membentur tanah. Kakiku terangkat, lalu merasakan tubuhku diseret seseorang. Siapa dia? Pandanganku semakin buram, hingga semua menjadi gelap.
Aku membuka mata dengan tarikan napas sesak. Merasakan sakit yang menjalariku. Leherku menoleh kiri-kanan. Ruangan ini? Aku telah berada di ruangan yang kuintip tadi. Aku terbaring telentang, kedua tanganku diikat tali sangat kuat. Banyak lilin mengelilingi tubuhku. Sementara lampu listrik di atasku tak dinyalakan.
"Kau datang tanpa harus kami bersusah payah," Suara yang sangat kukenali.
Bi Sumi!
"Bertepatan di malam purnama penuh, maka ritual kita akan berjalan sesuai rencana," sahut wanita muda berwajah jelita. Berdiri di samping Bi Sumi. Menatap tajam serta bibirnya yang berwarna merah menyeringai puas.
Penjelasan dari Om Tiok terbukti! Kedatangannya di pagi hari tersebut ternyata untuk memastikan keadaan yang menimpaku. Ia kecewa karena aku masih hidup, berkat bantuan yang 'mengikutiku' selama ini.
Bi Sumi tersenyum sekilas, pandangan matanya yang tajam. Lekat memandangiku dengan berbalut kebencian.
"Aku menantikan ini, sudah lama aku menahan diri. Dendam ini akan terbalaskan dengan sangat memuaskan. Menghabisi seluruh keluarga Abimanyu, serta mengambil jantungmu untuk persembahan ritual," Selesai berucap Bi Sumi terkekeh nyaring.
"Bertobatlah, Bi Sumi sebelum ajal datang, Allah akan menghukummu!" Aku terprovokasi mendengar nama Papa diucapkan oleh Bi Sumi.
"Abimanyu adalah sahabatku dari desa, kami bersama meraih cita ke kota ingin sukses, bersekutu dengan Iblis. Tapi karena mencintai mamamu Ia bertobat, ingkar dari perjanjian. Tak memperdulikan cinta dan pengorbananku untuknya. Hingga kumemilihnya untuk tumbal. Cintaku tak pernah pudar untuknya. Sebelum kau mati, ketahuilah Dahlia adalah adik tirimu, malam itu aku menjebaknya," Raut mata sendu itu memandang sayu padaku menyiratkan kepedihan.
"Cepat bersiap Dahlia, ritual yang sepuluh tahun sekali ini segera kita laksanakan. Waktu sudah dekat!" Bi Sumi memberi perintah kepada wanita yang memelet Mas Danu ternyata adalah puterinya dan anak papa juga. Aku syok, napas terasa sesak. Tak bisa berkata-kata lagi.
Dahlia membalikkan badan, lalu datang kembali menghampiri Bi Sumi memberikan nampan berisi dupa yang berasap. Bi Sumi yang menerima langsung melantunkan bahasa yang tidak kumengerti. Dia mulai mengelilingiku. Dahlia mengikuti dengan memegang napan beralas kain putih berisi keris berlekuk sembilan.
Aku merasa serangan hawa panas dan dingin bergantian pada setiap aliran darah. Mengerakkan tubuh seperti ikan yang kehilangan air. Kondisi tangan dan kaki terikat rantai membuatku gerakkanku terbatas. Seperti ada tenaga yang sangat besar ingin keluar. Mataku terbeliak, serta mulut mendesis dan menggeram. Menghentakkan tangan dan kaki hingga rantai terputus. Aku melayang terbang, menyerang ganas pada kedua wanita tersebut. Mereka terpelanting dengan punggung membentur dinding. Bi Sumi berdiri cepat dengan menahan sakit, Dahlia tak sadarkan diri.
Aku meraih keris, ketika kugengam keris itu bercahaya terang menyilaukan mata. Bi Sumi terlihat terkejut langsung mengambil posisi bersila,
"Manusia lemah, kami menyerahkan diri pada Iblis, terimalah persembahan!" ucap Bi Sumi dengan mata terpejam.
Angin berembus kencang meniup lilin. Lolongan anjing bersahut-sahutan. Penglihatan hanya dibantu oleh cahaya dari keris.
Â
Aku menghunus keris  menerjang ke arah Bi Sumi. Namun, aku terpental, seakan ada kekuatan yang melindunginya. Punggungku merasakan aliran panas, tenaga bertambah berlipat-lipat. Ketika kedua tangan Om Tiok ternyata menempel di situ. Keris memancar lebih benderang. Keris itu menuntunku menuju Bi Sumi dan Dahlia menusuk mereka. Bi Sumi dan Dahlia mengerang lalu menghilang lenyap seperti butiran debu. Jiwa raganya telah diambil oleh Iblis.Â
 Napasku masih tersenggal-sengal, mata beberapa kali berkedip. Tubuhku lemas tak berdaya, semua persendian terasa ngilu. Senyuman lelakiku terlihat disamping Om Tiok. Mas Danu menghampiri dan memelukku erat.
Om Tiok telah berhasil melepaskan ilmu hitam yang menjerat Mas Danu. Membiarkanku menghadapi Bi Sumi dengan bantuan pelindung gaib yang dipasang Papa padaku, Makhluk merasuki dan menyatukan kekuatan pada keris berlekuk sembilan milik Bi Sumi. Tugas Om Tiok hanya melepas 'dia' dari diriku.
~
      By. Megawati Sorek
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H