Mohon tunggu...
Meejikuuu
Meejikuuu Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar gabut

Just need to pray and try

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Dear Sahabatku, Fara (3)

9 Januari 2023   17:56 Diperbarui: 9 Januari 2023   17:58 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Hai sobat!

Baca artikelku sebelum ini yahh karena ini kelanjutannya....

"Kenapa Kak Reza suka sama aku? Nggak Fara aja...." lirihku.

Baca juga: Gabut? Nulis Aja

Kak Reza tersenyum tulus. "Karena perasaan nggak bisa dipaksa, Nan. Nggak usah dipikirin. Yang penting, sekarang aku adalah teman kamu selamanya. Aku nggak akan menggantikan posisi Fara. Tapi aku akan jaga kamu selamanya---jika Tuhan mengijinkan."

Lidahku mendadak kelu. Ya Tuhan, kenapa seolah Kak Reza tau bahwa umurku sudah tidak lama?

"Nggak papa kan Nanda, kalo aku suka sama kamu?" ledek Kak Reza. "Andaikan Tuhan emang ijinin kita bersama. Kamu tuh first love aku, Nan."

Aku hanya tersipu malu untuk pertama kalinya. Jujur saja, aku juga menyukai kak Reza. Tapi jika dipikir-pikir, mending balik lagi di kata 'andai'

Setelah waktu Ashar, aku baru pulang dari rumah sakit karena dokter yang memintaku agar istirahat di rumah saja. Dan Kak Reza pun masih setia mengantarkanku sampai ke rumah. Sedangkan Ayah dan Bunda telah menungguku di depan rumah. Sejak tadi siang mereka tidak menengokku ke rumah sakit, karena memang aku yang menyuruhnya. Aku tidak mau mereka khawatir dan malah mengganggu fokus pekerjaannya. 

Penyakit parahku ini saja, mereka tidak kuberitahu. Biarlah ini menjadi rahasia aku dan Tuhan.

Ayah dan bunda sangat berterima kasih kepada Kak Reza yang telah berbaik hati menolongku. Mereka terlihat sangat senang mendapati kehadiran Kak Reza. Aku turut tersenyum melihat orang di sekitarku merasa bahagia.

"Reza, terima kasih ya sudah mengantarkan Nanda," ujar ayah.

"Sama-sama, Om. Kalo Reza boleh tau, apa bener Nanda cuma kecapekan?"

"Iya Reza. Tapi kalo lama-lama sering pingsan kayak tadi ya kami bakal paksa Nanda buat periksa," sahut Bunda.

Dan aku segera menyerobot. "Apa sih bunda... Aku nggak papa..."

Bunda mencubit gemas hidungku. "Iyaa kamu kan sehat."

Jlebbb

"Ngomong-ngomong kok kalian bisa kenal ya Reza? Nanda nggak pernah cerita tuh ke bunda...."

Reza tersenyum malu-malu. "Saya yang deketin Nanda sejak MOS."

"Hahh kamu suka sama anak saya??" pekik Bundaku.

Kak Reza mengangguk. Dan ayah bundaku tampak sangat bahagia. Mereka bahkan mengajak Kak Reza mampir dulu.

Dan di tempat, aku hanya mampu diam-diam tersenyum. Tetapi rasanya mustahil jika di dunia ini aku mendapatkan kebahagiaan seperti itu. Aku yakin, ajalku sudah dekat. Sekali lagi aku tersenyum, anggap ini kebahagiaan terakhirku.

Tanpa diduga, ternyata Fara menyaksikan momen bahagia ini dari rumahnya yang tepat di sebelah kananku. Ia memandangku penuh dengan kebencian.

"Aku benci kamu, Nan!" umpatnya lirih.

Sementara itu pula, Ayah, Bunda, dan Kak Reza mengobrol bersama di ruang tamu. Sedangkan aku beristirahat di kamarku. Ternyata, Kak Reza menceritakan tentang penyakitku kepada mereka berdua tanpa sepengetahuanku.

"Om, Tante, ada yang Nanda rahasiakan dari kalian. Biar saya bocorkan sebelum terlambat...."

"Maksud kamu???"

* * *

Keesokan harinya, aku berangkat sekolah dengan Kak Reza. Aku pun terkejut karena itu terjadi tiba-tiba. Setelah sampai di sekolah, fenomena buruk langsung kusaksikan. Banyak yang memandangku benci karena berjalan bersama Kak Reza sang ketua OSIS dan tentu juga banyak yang mencibirku. Anehnya, kenapa baru sekarang? Padahal sejak hari-hari lalu mereka sudah tahu kalau aku dan Kak Reza berteman.

Aku dan Kak Reza lalu menghampiri keramaian area mading sekolah. Ternyata ada beberapa foto, tepatnya fotoku yang di bawahnya berisi tulisan 'Nanda manusia munafik' disertai beberapa alasannya. Termasuk fitnah-fitnah bahwa aku telah merebut pacar orang.

"Ih Nanda! Lo baru jadi kelas sepuluh aja udah gitu tingkahnya!"

"Munafik banget sih lo jadi sahabat! Kasian Fara. Nggak peka banget sih lo..."

Kak Reza langsung menyobek sampah-sampah di mading itu secara paksa. Ia terlihat marah dan langsung menanyakan kepada murid di situ tentang siapa yang berani memajangnya.

"Mana kita tahu... Yang di sini OSIS siapa cobaa?" sewot mereka.

"Anggota OSIS nggak ada yang menyebarkan berita hoax kayak gini, paham?! Bubar!!!"

Semua langsung bubar karena ngeri melihat sang ketua OSIS ramah itu marah. Tapi bukan berarti mereka berhenti mencibirku, justru malah semakin menjadi-jadi hingga melempariku dengan kerikil, karena mereka tidak suka aku dibela oleh Kak Reza.

Sakit... Aku sudah bisa menebak, pasti ini ulah Fara. Karena hanya dia yang menyimpan foto-fotoku.

Aku mencerna dengan baik. Setelah Fara berhasil membuatku di-bully oleh teman sekelas, ternyata ia juga sengaja membuatku di-bully seantero sekolah ini. Artinya aku sekarang adalah mahluk yang paling dibencinya.

Kenapa jadi serumit ini?

Aku langsung berlari meninggalkan keramaian ini menuju luar gerbang sekolah. Dengan cepat ku-stopkan seorang tukang ojek untuk mengantarku ke suatu tempat. Lebih baik aku membolos sekolah untuk hari ini. Buruk, tapi setidaknya aku bisa merasakan ketenangan. Semoga saja Kak Reza tidak mengikuti. Aku hanya ingin sendiri.

Alhasil, kini aku telah duduk di tepi danau kecil yang sangat indah. Tempat yang selalu membuatku hanyut terbawa masalalu. Tempat di mana selalu aku dan Fara kunjungi. Dan terakhir kami ke sini yaitu sebelum masuk SMA.

Air mataku jatuh begitu melihat banyak bekas sobekan foto kebersamaan aku dan Fara yang sekarang berserakan di tepi danau. Bahkan ada juga yang dibuang ke dalam danau tersebut.

Ini pasti ulah Fara. Artinya dia masih suka mengunjungi tempat ini, tetapi untuk menyatakan agar danau ini menjadi saksi bisu kebenciannya terhadapku.

"Fara! Kenapa kamu jahat... Fara! Kembali kamu yang dulu!" teriakku sembari menangis kesal.

Sepuluh tahun yang lalu~

Fara kecil mengusap air mata yang mengalir mulus di pipi tembamku. Terkesan sangat lucu. "Kamu jangan nangis, Nan. Pokoknya aku akan selalu ada buat kamu...."

Aku kecil pun mencoba tersenyum. Lalu mengulurkan kelingking mungilku kepadanya. "Janji ya!"

"Iya janjiii," ujar Fara kecil sembari memelukku erat.

Di kala itu karena aku menangis sebab tidak mau berpisah dengan Fara yang akan pindah ke kota lain. Tapi ternyata Fara baik hati dan memohon kepada orangtuanya agar ia tidak diikutkan pindah, alias hidup bersama kakek-neneknya saja.

Sementara satu tahun lalu...

Fara sedang asik mengamati foto ketika aku dan Fara masih kanak-kanak. Ia terbahak ketika melihat sebuah fotoku saat menangis. 

"Nanda, kamu kalo nangis jelek banget..."

Aku menjulurkan lidahku, bercanda. "Nggak. Aku cantik."

Fara lanjut terbahak lagi. Aku tersenyum. "Tetep jadi sahabat aku ya, Ra."

Fara menatapku lekat dan langsung memelukku. "Pasti."

Aku terus membayangkan semua masa indah yang pernah aku dan Fara lalui. Rasanya mustahil untuk terulang kembali. Tidak terasa, sudah hampir satu jam aku di sini. Aku berdiri hendak pergi. Namun, pusing kepalaku kembali menyerang. Napasku terasa sangat sesak. Jantungku juga terasa berdenyut kencang sekali. Separah apakah penyakitku ini?

Aku rasa, waktuku sudah....

Pandanganku mulai menghitam dan tubuhku sudah mati rasa. Hingga akhirnya aku tidak sadarkan diri dan menjatuhkan tubuhku ke tanah.

Namun ada seulur tangan yang menangkapku. Dari siluetnya, aku bisa mengenal, kalau itu, Kak Reza.

* * *

"Drama apa lagi sih kamu, Nan? Pake acara bolos sekolah segala. Jadinya aku yang ditegur sama guru-guru tau nggak?!" gertak Fara begitu sampai di rumah sakit. 

Ia menggoyangkan tubuhku yang tengah berbaring tak sadarkan diri dengan alat pacu jantung yang canggih dan lengkap. Dia pikir aku berdrama?

Plakk!!!

Tamparan keras berhasil lolos dari layangan tangan ayahku. Refleks Fara pun melotot kaget. Tidak kalahnya Ayahku sendiri, Bunda, dan Kak Reza yang tadinya berlinang air mata sekarang menatap Fara dengan tajam.

"Bahkan ketika sahabat kamu sendiri sedang kritis, kamu begitu, hm?!!!" tanya Ayahku dengan geram.

Mata Fara membulat dengan dahinya yang berkerut. Ia menatapku lagi yang terlihat sangat lemah di atas brankar. Ia mengamati kedua mataku yang terkatup rapat dan bibirku yang putih sepucat mayat. Fara terkekeh nyalang.

"Kritis?"

Dijawab oleh bundaku yang menangis tersedu. "Iya, Fara! Ternyata selama ini Nanda punya penyakit Anemia Gravis. Kenapa sih kamu malah begitu..."

Fara mengernyit. Ia mendecak masih tidak percaya. Cuma anemia, sampai kritis.

"Tahukah kamu Fara, sejak kapan anak saya memendam penyakit itu? Sejak tiga tahun lalu. Gara-gara dia banyak mendonorkan darahnya untuk kamu," terang Ayahku.

"Kamu ingat, tiga tahun lalu ketika kamu mengalami kecelakaan maut bersama kakek dan nenekmu? Mereka meninggal dan kamu berhasil dilarikan ke rumah sakit. Sedangkan dokter bilang kamu bisa selamat asalkan ada pendonor darah untuk kamu?"

Fara mengangguk lugu. Air matanya sedikit berlinang ketika berhasil mengingat masa kelam itu.

"Siapa yang jadi penyelamat kamu???" tanya Ayahku lagi.

"Nanda," jawab Fara parau.

"Betul! Waktu itu Nanda menangis tidak ingin kehilangan kamu. Makanya dia rela mendonorkan banyak darahnya untuk kamu. Dokter udah melarangnya karena berisiko tinggi. Tapi setelah transfusi darah selesai, Nanda bilang dia nggak rasa kenapa-kenapa. Dan sekarang kita semua sudah tau kan kalau dia berbohong?"

"Salah Nanda sendiri mau donorin darahnya ke aku!"

"Fara! Kamu hutang nyawa dengannya! Tidak maukah kamu berbalas budi sedikit sajaa..." tekan ayahku sudah tidak tahan menahan amarahnya.

Mesin kardiovaskular tiba-tiba berbunyi keras melerai perdebatan di antara mereka.

Semuanya panik melihat aku yang tiba-tiba kejang tanpa membuka mata secelah pun. Langsunglah mereka berteriak memanggil dokter. Namun mesin sudah menunjukkan garis lurus yang menandakan sudah tidak ada lagi kehidupanku di dunia ini. Dokter pun turut mengecek kondisiku. Dan betul, aku telah tiada. Puas?

Fara langsung berhambur memelukku yang telah menjadi mayat. Ia menangis histeris dan merutuki dirinya sendiri yang telah banyak dosa.

* * *

Tiga hari berlalu, kini Fara tengah menangis tersedu di antara sepinya suasana. Ia berada di danau kenangan antara aku dengannya. Tangan Fara menggenggam erat gulungan kertas yang ia temukan di nakas kamarku. Kedua jemarinya perlahan membuka isi surat itu dan secara gemetar ia membacanya.

Dear sahabatku, Fara.

Kamu lebih baik dari segalanya. Kamu tetap satu-satunya sahabatku. Aku sangat menyayangimu....

Terima kasih telah mengisi hidupku dengan canda tawamu... Meski itu hanyalah dulu,

Untuk sekarang aku hanya berkata 'maaf' karena aku bukanlah Tuhan yang selalu luput dari kesalahan,

Maaf, jika di matamu aku terlalu menyebalkan dan menghalangi kebahagiaanmu,

Aku minta, jangan benci aku. Jangan biarkan kebencian menghancurkan suatu hubungan,

Seandainya kamu tau rasanya menangis sambil menahan suara, itulah kebiasaanku. Jujur saja itu sakit, Ra... Dan seandainya kamu tau ketika kamu bahagia tanpa aku---aku akan ikut bahagia,

Salam rindu, Fara sayang....

Hari kepergianku adalah hari terbahagiaku. Akhirnya aku lega dari cobaan dunia yang keji. Namun banyak rasa sedih di jiwaku ketika harus melihat sosok Ayah, Bunda, Fara, dan Kak Reza harus berpesta kesedihan karena kehilanganku.

Ingin aku memeluk mereka, terutama Fara sahabat tersayangku. Namun aku sadar, dunia kita telah berbeda.

Untuk itu, yang lalu biarlah berlalu. Dan yang buruk biarlah jadi pelajaran. Sekarang hanya cukup semangat menata masa depan agar lebih baik. Jangan lupa, jadilah orang yang baik. Sesungguhnya orang yang baik adalah dia yang mau menghargai ketulusan hati orang lain sekecil apapun ketulusan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun