"Tahukah kamu Fara, sejak kapan anak saya memendam penyakit itu? Sejak tiga tahun lalu. Gara-gara dia banyak mendonorkan darahnya untuk kamu," terang Ayahku.
"Kamu ingat, tiga tahun lalu ketika kamu mengalami kecelakaan maut bersama kakek dan nenekmu? Mereka meninggal dan kamu berhasil dilarikan ke rumah sakit. Sedangkan dokter bilang kamu bisa selamat asalkan ada pendonor darah untuk kamu?"
Fara mengangguk lugu. Air matanya sedikit berlinang ketika berhasil mengingat masa kelam itu.
"Siapa yang jadi penyelamat kamu???" tanya Ayahku lagi.
"Nanda," jawab Fara parau.
"Betul! Waktu itu Nanda menangis tidak ingin kehilangan kamu. Makanya dia rela mendonorkan banyak darahnya untuk kamu. Dokter udah melarangnya karena berisiko tinggi. Tapi setelah transfusi darah selesai, Nanda bilang dia nggak rasa kenapa-kenapa. Dan sekarang kita semua sudah tau kan kalau dia berbohong?"
"Salah Nanda sendiri mau donorin darahnya ke aku!"
"Fara! Kamu hutang nyawa dengannya! Tidak maukah kamu berbalas budi sedikit sajaa..." tekan ayahku sudah tidak tahan menahan amarahnya.
Mesin kardiovaskular tiba-tiba berbunyi keras melerai perdebatan di antara mereka.
Semuanya panik melihat aku yang tiba-tiba kejang tanpa membuka mata secelah pun. Langsunglah mereka berteriak memanggil dokter. Namun mesin sudah menunjukkan garis lurus yang menandakan sudah tidak ada lagi kehidupanku di dunia ini. Dokter pun turut mengecek kondisiku. Dan betul, aku telah tiada. Puas?
Fara langsung berhambur memelukku yang telah menjadi mayat. Ia menangis histeris dan merutuki dirinya sendiri yang telah banyak dosa.
* * *