Mohon tunggu...
Fadli Muhamad
Fadli Muhamad Mohon Tunggu... Pustakawan - Writer

Love reading, love writing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lilin Terakhir

30 November 2023   08:27 Diperbarui: 30 November 2023   09:05 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Andre bertanya dengan suara pelan dan dengan nada yang mengancam, "Kalian yakin ingin mendengarnya? Karena aku tidak akan bertanggung jawab jika kalian nantinya menjadi paranoid atau semacamnya."

"Oh, ayolah. Kami bisa mengatasinya," jawab Frans dengan cepat.

"Ya, lagipula kita sudah di sini, bukan? Kenapa harus berhenti sekarang," sambung Gilbert dengan nada seirama.

Baca juga: Lantai Tiga Belas

"Mungkin kau harus menanyakan itu secara pribadi kepada Felix, dia yang paling penakut di antara kita, kan?" sambung Luca sambil menyikutku serta dengan seringai khasnya.

"Aku tidak takut! Buktinya aku masih di sini bersama kalian, kan?!" tegasku.

"Ya, itu karena kau terlalu takut untuk kembali ke kasurmu, bukan? Hihi," sambung Luca yang masih terus menggodaku dan menakut-nakutiku.

"Hei, sudahlah teman-teman," sela Frans dengan nada tidak sabaran. "Tidakkah kalian penasaran dengan cerita Andre hari ini?"

"Ya, ya, mulai ceritanya, Ndre," sambung Gilbert menyetujui.

"Baiklah kalau begitu. Tapi aku ingin menegaskan ini sekali lagi, bahwa cerita selanjutnya mungkin akan membuat kalian takut, paranoid atau semacamnya," jawab Andre. "Lagipula saat ini kita sedang berada di dalam lingkaran, kan? Dan kalian masih ingat bagaimana peraturannya?"

"APAPUN YANG TERJADI, JANGAN RUSAK LINGKARANNYA, HITUNG SAMPAI SEPULUH SETELAH LILIN TERAKHIR MATI, DAN SEGERA NYALAKAN KEMBALI UNTUK MENGAKHIRI," sahut kami secara bersamaan.

"Bagus," sahut Andre sambil menganggukan kepalanya dengan pelan, "kita akan mulai setelah tepat pukul dua belas. Dan kalian tahu peraturan yang lainnya, bukan?" Andre memajukan tubuhnya dan berbisik sangat pelan dengan nada yang mengancam, "JANGAN BERSUARA SAMPAI DENTANG TERAKHIR BERBUNYI!"

Setelah Andre menyelesaikan kalimatnya, terjadi keheningan yang cukup panjang. Sesuai dengan apa yang biasa kami lakukan, saat dalam melakukan kegiatan seperti ini, kami harus diam membisu sesaat sebelum tengah malam. Setidaknya sampai lonceng jam yang menandakan waktu tengah malam berhenti berdentang.

Ini adalah hal biasa yang kami lakukan saat tengah malam. Saat semuanya tertidur lelap, kami bangkit dari ranjang kami dan duduk melingkar di aula yang berada di lantai dua panti asuhan ini. Namun tidak hanya di ruang aula saja, terkadang kami melakukannya di depan pintu masuk, di dapur, atau bahkan di lorong ruangan kamar kami. Namun saat ini kami melakukannya di aula yang berada di lantai dua, karena Andre merasa bahwa di sini adalah tempat yang memiliki aura yang berbeda dari ruangan-ruangan yang ada di panti asuhan ini. Entahlah, aku tidak terlalu paham apa maksudnya itu.

Mengenai teman-temanku, kami berjumlah lima orang, termasuk aku. Dan dari semua anak yang berada di rumah ini, merekalah yang paling mudah untuk diingat dan paling berbeda dari yang lainnya. Ada Frans, dengan ciri khas rambutnya yang ikal dan berkulit paling gelap di antara kami. Dia juga orang yang sangat ingin tahu akan segala hal. Kemudian Gilbert, dia cukup mudah dikenali, karena memiliki kacamata yang sangat tebal juga alis mata yang sangat lebat. Dia dan Frans termasuk orang yang cukup lama berada di rumah ini. Bahkan jauh sebelum aku tiba di sini.

Selain itu ada Luca, yang paling jahil di antara semuanya. Tapi walaupun demikian, bisa kukatakan jika dialah yang memiliki wajah paling lucu di antara kami semua. Dengan rambut keritingnya yang agak gondrong serta pipinya yang hampir seperti bakpao membuatnya terlihat begitu lucu. Apalagi saat dia tersenyum dan menampilkan dua gigi serinya yang ompong. Terkadang hanya dengan melihatnya tersenyum begitu bisa membuat kami tertawa.

Yang terakhir, ada Andre. Dia yang paling tua di antara kami juga yang paling baru yang datang ke panti asuhan ini. Andre terlihat tidak jauh berbeda dengan anak-anak seusianya, hanya saja ia terlihat lebih jangkung dan kurus. Dan yang paling membuatku terkesima adalah, dia pandai bercerita tentang hal yang berbau horor dan menyeramkan. Dan apa yang sedang kami lakukan saat ini, juga adalah karenanya. Atau mungkin tidak sepenuhnya begitu, karena kamilah yang memaksa Andre untuk bercerita, karena dia begitu pandai akan hal itu. Entah dari mana dia bisa memikirkan semua cerita-cerita seram seperti itu. Aku jadi berpikir apakah semua cerita-cerita itu benar dan nyata, atau bahkan dia memang merasakan sendiri pengalaman-pengalaman itu. Entahlah, yang pasti, apa yang diceritakannya terasa nyata dan membuat kami penasaran.

Secara mengejutkan bunyi lonceng jam berdentang menggema ke seluruh penjuru rumah ini. Itu menandakan bahwa ini sudah tengah malam, dan kami masih harus diam membisu sampai dentangan terakhir dari lonceng itu berhenti berbunyi. Kami masih duduk melingkari sebuah lilin yang sudah terbakar seperempatnya dan saling menatap satu sama lain. Dengan selimut berwarna putih yang membentang di atas kepala kami yang menutupi seluruh badan kami, juga lilin dengan warna jingga yang mencolok dengan gradasi berwarna biru yang berpendar, membuat pemandangan dan suasana di sini begitu menegangkan. Bahkan sesekali aku dikagetkan dengan bayangan yang bergoyang dari balik punggung Andre karena pantulan dari lilin di depan kami.

"Hei, jangan bilang kau masih takut dengan bayangan-bayangan itu?" bisik Luca yang sepertinya mengetahui apa yang sedang kupikirkan.

"Kita tidak diperbolehkan bicara sampai bunyi lonceng terakhir berhenti berdentang, tahu!" jawabku juga dengan berbisik.

Namun detik berikutnya, aku benar-benar dikagetkan dengan ekspresi wajah Andre yang sangat serius sambil merapatkan telunjuk kanannya ke bibirnya. Seakan dia memberitahu kami untuk tetap diam. Namun ekspresi wajahnya seakan sedang marah dan takut disaat bersamaan. Dan itu terlihat semakin menakutkan dengan pantulan cahaya redup dari lilin yang menyinari sebagian wajahnya. Sambil bola matanya berputar ke semua penjuru, dia masih terus menempelkan telunjuknya ke bibirnya.

Dentangan terakhir sudah berhenti namun Andre masih menampilkan ekspresi seram yang sama. Wajahnya kini mulai berubah menjadi semakin serius. Tubuhnya yang kurus semakin dirapatkannya ke arah lilin, sontak kami juga melakukan hal yang sama. Bola matanya yang berwarna coklat bersinar karena pantulan cahaya redup dari lilin, dan menyapu ke semua penjuru. Bahkan kami pun tak luput dari tatapan bola matanya yang super menyeramkan itu.

Andre menghela napas sangat dalam dan memejamkan matanya yang super menyeramkan itu. Kemudian dengan masih memejamkan matanya dia bersuara dengan suara yang sangat lirih, "apakah kalian tahu tentang Boogeyman?"

"Apa?" sahut Gilbert dengan cepat.

"BOO-GEY-MAN," jawab Andre masih dengan suara lirih. "Apa kalian pernah mendengar tentang kisah itu?"

Frans menjawab setelah terjadi keheningan sesaat, "sepertinya aku pernah mendengarnya. Sudah lama sekali, mungkin. Aku tidak terlalu ingat tentang detailnya."

"Lalu apa yang kau ingat, Frans?" sahut Luca.

"Yah, itu semacam cerita atau dongeng untuk anak kecil agar mereka tidak menjadi nakal. Karena kalau mereka nakal, Boogeyman akan datang mengambil mereka. Semacam itulah."

"Terdengar seperti kebalikan dari Sinterklas," Gilbert menanggapi. "Jika Sinterklas akan memberikanmu hadiah kalau bisa menjadi anak yang baik, maka Boogeyman ini justru akan menangkapmu jika kau menjadi anak yang nakal. Semacam versi jahat Sinterklas?"

"Semacam versi jahat Sinterklas," sahut Luca seirama.

"Dan kau percaya dengan cerita itu, Frans?" tanyaku kemudian.

"Sewaktu dulu, iya. Aku sempat percaya. Tapi sekarang, hey! Lihatlah aku! Aku sudah sembilan tahun sekarang dan banyak kenakalan yang sudah aku lakukan. Tapi aku masih belum ditangkap oleh si Boogeyman itu."

"Karena dia tidak bisa melihatmu saat malam, Frans," ejek Luca sambil tersenyum dengan gigi ompongnya.

"Oh, benarkah? Karena kulitku hitam, begitu?" sahut Frans. "Kau tahu? Saat melihatmu juga dia tidak akan berani mendekatimu, karena dia takut kau akan mengulumnya dengan mulutmu yang tidak memiliki gigi itu sampai menjadi bubur."

"Ini akan tumbuh lagi. Kalian tahu? Gigiku tidak akan selamanya begini! Ini akan tumbuh lagi!"

Aku, Frans dan Gilbert tersenyum geli seirama, namun tidak dengan Andre. Dia masih menampilkan ekspresi yang sama sambil terus memejamkan matanya. Melihat keadaan itu membuat kami langsung kembali terdiam dan menunggu tanggapan dari Andre. Namun dia sama sekali tidak berkata sepatah kata pun. Cukup lama keheningan terjadi, akhirnya Gilbert yang bersuara.

"Lalu bagaimana kisah sebenarnya tentang Boogeyman itu, Ndre?"

Dengan perlahan Andre membuka matanya. Setelah terbuka, bola mata yang tadi terlihat begitu menyeramkan sudah tidak nampak lagi. Namun tatapannya kini berubah menjadi setengah melamun dan jauh menerawang.

Dengan suara lirih yang sama, Andre menjawab, "Boogeyman bukan hanya sekadar dongeng atau gurauan untuk menakuti anak-anak. Dia benar apa adanya," Andre menghela napas sebelum melanjutkan. "Boogeyman dikenal dengan banyak nama dari segala penjuru dunia. Dan sebutan Boogeyman ini populer di negara Inggris Raya ini, juga di Amerika Serikat. Ada banyak versi dengan sebutan yang berbeda dari berbagai dunia, tetapi tetap merujuk kepada satu arti dan obyek yang sama.

"Seperti contohnya dari Argentina, Portugal dan Brasil, mereka memanggil Boogeyman dengan sebutan Karung Man. Sementara di Spanyol, mereka lebih sering memanggilnya dengan sebutan El Coco. Atau di Jepang dan di Indonesia, mereka lebih dikenal dengan sebutan Kami-Kukushi dan juga Wewe Gombel.

"Bentuk dan rupa dari Boogeyman juga beragam, sesuai dengan kepercayaan dan budaya dari negara tersebut. Tapi yang pasti, secara umum, bentuk dari Boogeyman hampir dari semua budaya itu, memiliki kesamaan. Yaitu bertubuh besar bahkan ada yang menyerupai seperti hewan buas atau semacamnya. Selain itu, dia juga memiliki cakar yang sangat panjang dan juga tajam yang bisa merobek isi perutmu dengan mudah. Dan tentang Boogeyman yang akan datang mengambil anak-anak nakal, itu bukanlah dongeng. Karena memang itulah yang dilakukannya."

Terjadi keheningan yang cukup panjang. Bahkan setelah menghentikan kalimat terakhirnya, Andre tidak bergeming sedikit pun. Matanya masih menatap kosong ke arah lilin yang sudah hampir redup, sementara kami saling menatap satu sama lain secara bergantian dengan ekspresi bingung yang sama. Namun dari kami semua, hanya Luca yang masih tetap menampilkan ekspresi santai yang biasa. Dia pun akhirnya yang angkat bicara memecah keheningan.

"Lalu cerita apa yang akan kau ceritakan kali ini, Ndre?" sahut Luca dengan santai. "Lilinnya sudah hampir padam, lho."

Andre masih menampilkan ekspresi yang sama setelah Luca selesai berkomentar. Namun tidak lama setelahnya, tatapannya mulai menyapu ke arah kami dengan gerakan lambat, dan mulai bersuara, "jadi, kalian mau memulai ceritanya? Baiklah, akan kumulai.

"Kalian tahu betapa pentingnya sebuah peraturan itu, bukan? Ya, karena itu adalah peraturan, dan peraturan dibuat agar membuat kita tidak bertindak sesuatu yang melanggar norma-norma yang ada. Kalian sudah cukup besar, jadi pasti sudah mengerti tentang hal ini, bukan? Jadi aku tidak akan melanjutkan tentang betapa pentingnya sebuah peraturan secara umum.

"Singkat kata, jika kau melanggar sebuah peraturan, maka kau akan mendapatkan hukuman. Dan di mana pun itu, di 'dunia' manapun itu, aturannya akan tetap seperti itu. Mereka yang melanggar, maka mereka akan dihukum. Hukumannya pun sesuai, maksudnya, mereka yang dihukum harus berdasarkan dengan sebesar apa peraturan yang dilanggarnya itu. Seperti contohnya, kau, Luca, yang jarang merapikan tempat tidurmu sehabis bangun tidur. Paling hukuman yang diberikan Ms. Leona hanya sekadar untuk membersihkan tempat tidurmu, atau membersihkan halaman depan. Seperti itulah, kau melanggar tentang kebersihan, maka hukuman yang kau dapat adalah untuk membersihkan," Andre berhenti cukup lama kemudian melanjutkan dengan sangat perlahan, "tapi tidak dengan peraturan dari dunia lain itu."

Bisa kurasakan di kedua sisiku, Frans dan Luca, sama tersentaknya denganku setelah mendengar kalimat terakhir dari Andre itu. Juga tatapan Gilbert yang sempat kulirik menampilkan ekspresi yang lebih serius dari sebelumnya. Tidak satu pun dari kami yang langsung menanggapi kalimat terakhir  dari Andre itu. Kami diam beberapa saat untuk menunggu Andre memperjelas apa yang diucapkannya barusan. Namun ekspresi dari wajah Andre tidak terlihat jika dia ingin melanjutkan ataupun memperjelas perkataannya, oleh karena itu, aku langsung angkat bicara menanggapi hal tersebut.

"Apa maksudmu, dengan 'dunia lain' itu, Ndre?" tanyaku.

"Ya, apa maksudnya peraturan dari dunia lain itu?" sahut Gilbert seirama.

"Kupikir kalian sudah paham, berhubung kita sudah melakukan hal ini berulang kali," jawab Andre. "Selama ini kita selalu aman, karena kita mematuhi peraturan yang diberikan. Tapi kali ini, ada satu peraturan yang kita langgar."

Frans langsung melirik dan menunjuk ke arah Luca, "apa tadi karena Luca berbicara sebelum bunyi lonceng jam berhenti berdentang?"

"Hei, kenapa kau jadi malah menyalahkanku?!" balas Luca.

"Itu sudah jelas, bukan? Karena tadi kau sempat berbicara sebelum bunyi lonceng berhenti berdentang! Ini pasti kau! Kau yang sudah melanggar peraturan itu!" seru Frans masih tetap menunjuk ke arah Luca.

"Kenapa kau begitu, hei?! Apa kau ada dendam pribadi denganku?" seru Luca tidak mau kalah.

Mendengar mereka berseteru seperti itu membuatku harus angkat bicara, "sudahlah, teman-teman. Ini semua bukan sepenuhnya kesalahan Luca, aku juga sempat berbicara sebelum bunyi lonceng tadi selesai berdentang, jadi itu juga kesalahanku," ujarku mencoba menengahi.

"Aku tadi bilang, 'kita'," ujar Andre dengan suara lirih yang pelan.

Kami semua serempak berhenti berbicara dan melihat ke titik yang sama. Gilbert pun langsung angkat bicara.

"Apa yang baru saja kau bilang, Ndre?"

"Aku tadi bilang, 'kita'. Bukan Luca, bukan Felix, bukan Frans, atau pun kau, Gilbert," jawab Andre. "Aku bilang kita. Karena kita sudah berada di dalam lingkaran yang sama. Jadi tidak peduli siapa yang melanggarnya itu, karena di dalam lingkaran ini kita sudah menjadi satu kesatuan. Dan kita, sudah melanggar peraturannya."

Kami semua terdiam dengan raut wajah datar yang senada. Luca yang sedari tadi bersikap santai kini mulai menunjukkan ekspresi yang tidak keruan, terdengar dari suaranya yang bergetar saat menanggapi perkataan Andre.

"L-lalu, Huk-hukuman apa yang akan k-kita dapatkan?" tanyanya ragu.

"Kita kembali ke legenda tentang Boogeyman tadi," jawab Andre yang kini suaranya terdengar lebih ringan. "Bukankah aku sudah bilang bahwa Boogeyman gemar membawa anak-anak nakal?"

"Oh, tidak, tidak, tidak," seru Frans sambil menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Aku tidak mau menanggung hukuman karena kesalahan orang lain. Biarkan yang melanggar yang mendapatkan hukumannya."

"Apa maksudmu kau ingin menumbalkanku? Begitu?" jawab Luca ketus.

"Ya, karena itu sudah jelas kesalahanmu, kau yang melanggar."

"Enak saja, tidakkah tadi kau dengar bahwa kita sudah menjadi satu di dalam sini?"

"Teman-teman, hentikan! Biarkan Andre bicara terlebih dulu," aku mencoba menenangkan.

"Diam, Felix! Berhenti membela bocah ompong ini," sela Frans dengan cepat.

"Bocah? Siapa yang kau bilang bocah? Hah?!"

"Teman-teman . . ." suara Gilbert terdengar lirih secara samar.

"Kau yang bocah. Karena seorang bocah sepertimu, kita semua menjadi kena imbasnya!"

"Tunggu, jangan bilang kau percaya dengan cerita Boogeyman itu?" seru Luca masih dengan nada yang tinggi.

"Ya, Karena Andre yang berkata demikian!"

"Ada yang menyentuh punggungku . . ."

"Andre bahkan tidak berkata apa-apa. Dia hanya bilang Boogeyman akan membawa anak-anak yang nakal."

"Ya, karena kita sudah melanggar peraturan, oleh karena itu kita sudah termasuk anak yang nakal. Dasar bocah ompong tidak bisa berpikir!"

"Berhenti memanggilku ompong! Atau aku akan . . ."

Aku langsung menginterupsi dengan cepat, "teman-teman, di mana Gilbert?"

Frans yang sedari tadi berdebat dengan Luca langsung berhenti dan menoleh ke sampingnya. Wajahnya langsung membeku ketika melihat Gilbert tidak ada di sebelahnya, "t-tadi dia masih di sini. Hei, Andre, ke mana Gilbert?"

Serentak pandangan kami langsung menuju ke Andre, namun Andre sama sekali tidak bergeming. Dia hanya diam menampilkan ekspresi datar dengan tatapan yang kosong ke arah tempat duduk Gilbert yang juga kosong. Sepertinya dia melihat dan mengetahui apa yang terjadi kepada Gilbert, tapi dia tidak mau membicarakannya.

Frans yang cemas dan khawatir mencoba bangkit dari duduknya, namun dengan cepat Andre langsung menggenggam tangannya dengan sangat erat dan menggelengkan kepalanya dengan pelan. Kemudian dia berbicara dengan suara yang sangat pelan.

"Tetap berada di dalam lingkaran," ucapnya.

Bisa kurasakan tubuh Frans bergetar dengan sangat hebat, bahkan aku mendengar pelan isakan tangis darinya. Aku langsung menggenggam tangannya, dan dia pun langsung mencengkram genggamanku dengan sangat erat. Bisa kurasakan dirinya sangat amat ketakutan.

"A-aku melihat ada yang berjalan di luar selimut," ujar Frans disela isak tangisnya. "M-mungkinkah . . . Mungkinkah itu Gilbert?"

Kami semua melihat ke arah Andre untuk memastikan jawabannya. Dan Andre menggelengkan kepalanya dengan sangat pelan sebagai jawaban. Cengkraman tangan Frans pun semakin kencang.

"A-apa ada yang mendengarnya?" kini Luca yang bersuara.

Aku pun menjawab dengan suara yang parau, "y-ya, aku mendengar ada yang berjalan mengelilingi . . ."

Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, secara mengejutkan genggamanku tertarik ke belakang dan dalam hitungan detik cengkraman erat dari tangan Frans sudah hilang dari genggamanku. Tubuhku membatu, jantungku berpacu dengan sangat cepat, keringat dingin dan air mataku dengan sangat deras keluar secara bersamaan. Mulutku yang terbuka lebar tidak dapat mengeluarkan sepatah kata pun. Genggaman erat dari tangan Frans masih bisa kurasakan, dan kini aku hanya memandangi tanganku yang kosong dan hampa itu.

Secara perlahan aku mendengar suara isak tangis dari Luca, dia merasa yang paling terpukul dengan apa yang baru saja terjadi. Karena beberapa detik sebelumnya, mereka masih saling beradu argumen, dan kini Luca hanya bisa menangisinya dengan suara yang tertahan. Andre yang sedari tadi terdiam ternyata juga menampilkan ekspresi takut yang sama, namun dia mencoba untuk tetap tenang dan tegar. Setelah keheningan yang cukup lama, akhirnya dia mengeluarkan suara.

"Baiklah, hanya tinggal kita yang tersisa," ujar Andre dengan suara yang sedikit bergetar. "Salah satu dari kita bisa merubah keadaannya. Dengan cara menjadi anak yang baik."

"Baiklah, baiklah, baiklah," ujar Luca diiringi suara isak tangisnya. "Aku berjanji akan menjadi anak yang baik. Aku berjanji tidak akan menjahili siapa pun lagi. Aku berjanji akan selalu merapikan tempat tidurku setelah bangun pagi. Aku berjanji, aku berjanji."

"Ya, aku tahu kau pasti bisa menepati janjimu itu, Luc," jawab Andre sambil tersenyum. "Tapi bukan hanya itu untuk menjadi anak yang baik. Kau tahu apa yang bisa mengubah pribadi anak menjadi baik? Itu adalah . . ."

Belum sempat Andre menyelesaikan kalimatnya, dirinya langsung terbang ke arah belakang seakan ada yang menariknya. Aku dan Luca yang melihat tepat di depan mata kami, langsung terperanjat secara bersamaan. Luca langsung memeluk lenganku, dan suara tangisnya semakin menjadi-jadi. Kini hanya tinggal kami berdua yang berada di bawah selimut putih ini, dengan tubuh yang sama-sama bergetar dengan sangat hebat. Luca terus menangis dan bergumam sambil memeluk lenganku, dan aku tidak tahu apa yang harus dilakukan. Aku sama sekali tidak mengetahui apa yang sedang terjadi. Bagaimana bisa mereka menghilang dengan sangat cepat seperti itu? Apakah Boogeyman yang menangkap mereka? Oh astaga! Dengan jantung yang sangat cepat berdegup ini aku tidak bisa berpikir dengan jernih.

"Aku akan menjadi anak yang baik, aku akan menjadi anak yang baik, aku akan menjadi anak yang baik," gumam Luca sambil terus terisak. "Felix, aku tidak mau menjadi anak yang nakal lagi, aku ingin menjadi anak yang baik. Aku ingin menjadi anak yang baik. Felix . . . Felix . . . FELIIIIXXXX . . ."

Dalam hitungan detik Luca juga menghilang dari pandanganku. Jantungku kali ini berdegup lima kali lebih cepat dari biasanya. Keringat dingin dan air mata mengucur deras membasahi wajahku yang dingin dan membeku ini. Nafasku tersengal, dan tubuhku bergetar sangat hebat. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Sementara lilin yang menjadi sumber cahaya satu-satunya ini sudah hampir redup. Aku mencoba untuk memfokuskan diriku. Kutarik nafas panjang sebanyak tiga kali dan mencoba mengingat apa pesan yang disampaikan oleh Andre.

Terbayang bagaimana wajahnya yang datar dan kosong mencoba untuk memberitahu sesuatu tentang menjadi anak yang baik. Dan sebelumnya Luca sudah berbicara panjang lebar bahwa dia akan berjanji akan menjadi anak baik, tapi Andre bilang itu belum cukup. Lalu apa lagi yang bisa membuat anak nakal menjadi baik.

Tunggu dulu, sebelumnya Andre berkata bahwa kita sudah melanggar peraturan sehingga menyebabkan kita menjadi anak yang nakal. Jadi, untuk kembali menjadi anak yang baik, kita harus kembali mengikuti peraturannya, bukan? Ya, ya, ya. Ikuti peraturannya! Ikuti peraturannya!

Aku mencoba untuk mengingat peraturannya, tapi semua wajah teman-temanku justru yang terpampang. Aku langsung menepis itu semua dengan cepat untuk bisa kembali fokus. Aku pun berhasil mengingatnya. Peraturannya adalah, APAPUN YANG TERJADI, JANGAN RUSAK LINGKARANNYA, HITUNG SAMPAI SEPULUH SETELAH LILIN TERAKHIR MATI, DAN SEGERA NYALAKAN KEMBALI UNTUK MENGAKHIRI. Ya, itu dia peraturannya! Sekarang yang harus kulakukan hanya tinggal menunggu lilin ini mati.

Dengan perlahan lilin ini pun mulai meredup dan aku segera menghitung mulai dari . . .

SATU

DUA

TIGA

EMPAT

LIMA

Aku mencoba merogoh saku celanaku untuk mengambil korek yang sudah kami siapkan.

ENAM

Aku mulai mencoba menyalakan korek apinya.

TUJUH

Astaga! Kenapa tidak mau menyala!

DELAPAN

Ayolah, menyala, korek api sialan!

SEMBILAN

SEPULUH

Korek apiku menyala dan langsung segera kusambarkan ke ujung lilin yang sudah hampir menyatu dengan lantai. Lilin menyala, tetapi warna api yang menyambar lilin itu berbeda dari yang biasanya. Warna api pada lilin yang biasanya, bahkan pada lilin sebelumnya, berwarna jingga bergradasi kuning dan warna biru yang berpendar. Sementara lilin yang menyala ini berwarna biru pekat dan bergradasi ungu yang sangat pekat. Apa yang terjadi sebenarnya?

Dengan perlahan aku membuka selimut putih yang menutupi seluruh tubuhku, dan melihat ke seluruh ruangan. Sepi, gelap dan tidak ada tanda-tanda adanya orang lain di sini. Aku mengambil lilin yang berwarna pekat ini yang masih terus menyala, dan berjalan menyusuri ruangan yang sangat gelap ini. Aku melangkahkan kakiku dengan sangat pelan karena aku tidak tahu ke mana harus melangkah.

Hingga akhirnya sebuah cahaya kecil mulai muncul di ujung ruangan. Aku berjalan menghampirinya dengan langkah yang tidak pasti. Semakin aku mendekat semakin jelas terlihat apa yang ada di sana, yaitu sebuah gundukan berwarna putih. Entahlah, aku tidak tahu pasti apa itu, terlihat seperti sebuah selimut berwarna putih yang dibentangkan di atas sesuatu.

Aku sedikit terkesiap dan menghentikan langkahku saat melihat benda itu bergerak. Nafasku seakan berhenti saat secara mengejutkan sesuatu muncul dari balik benda itu. Itu adalah Frans dan Gilbert yang berlari ke arahku dengan ekspresi yang riang. Kemudian disusul Andre yang juga berlari keluar dari benda putih itu. Dan sungguh, kembali dapat melihat mereka berlari dengan ekspresi yang riang seperti itu membuat perasaanku ikut gembira. Apalagi saat kembali melihat senyuman dari gigi ompong milik Luca, sungguh itu membuatku geli.

Semua tampak baik-baik saja.

 

Termasuk aku.

 

Yang keluar dari selimut itu paling terakhir.

 

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun