SEMBILAN
SEPULUH
Korek apiku menyala dan langsung segera kusambarkan ke ujung lilin yang sudah hampir menyatu dengan lantai. Lilin menyala, tetapi warna api yang menyambar lilin itu berbeda dari yang biasanya. Warna api pada lilin yang biasanya, bahkan pada lilin sebelumnya, berwarna jingga bergradasi kuning dan warna biru yang berpendar. Sementara lilin yang menyala ini berwarna biru pekat dan bergradasi ungu yang sangat pekat. Apa yang terjadi sebenarnya?
Dengan perlahan aku membuka selimut putih yang menutupi seluruh tubuhku, dan melihat ke seluruh ruangan. Sepi, gelap dan tidak ada tanda-tanda adanya orang lain di sini. Aku mengambil lilin yang berwarna pekat ini yang masih terus menyala, dan berjalan menyusuri ruangan yang sangat gelap ini. Aku melangkahkan kakiku dengan sangat pelan karena aku tidak tahu ke mana harus melangkah.
Hingga akhirnya sebuah cahaya kecil mulai muncul di ujung ruangan. Aku berjalan menghampirinya dengan langkah yang tidak pasti. Semakin aku mendekat semakin jelas terlihat apa yang ada di sana, yaitu sebuah gundukan berwarna putih. Entahlah, aku tidak tahu pasti apa itu, terlihat seperti sebuah selimut berwarna putih yang dibentangkan di atas sesuatu.
Aku sedikit terkesiap dan menghentikan langkahku saat melihat benda itu bergerak. Nafasku seakan berhenti saat secara mengejutkan sesuatu muncul dari balik benda itu. Itu adalah Frans dan Gilbert yang berlari ke arahku dengan ekspresi yang riang. Kemudian disusul Andre yang juga berlari keluar dari benda putih itu. Dan sungguh, kembali dapat melihat mereka berlari dengan ekspresi yang riang seperti itu membuat perasaanku ikut gembira. Apalagi saat kembali melihat senyuman dari gigi ompong milik Luca, sungguh itu membuatku geli.
Semua tampak baik-baik saja.
Â
Termasuk aku.
Â
Yang keluar dari selimut itu paling terakhir.