Mohon tunggu...
Muhammad Djamaluddin
Muhammad Djamaluddin Mohon Tunggu... -

Pelajar filsafat, suka dengan matematika & mesin pembelajran, tidak suka politik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketergantungan Internet, Sebuah Realitas Mengkhawatirkan di Era Digital

26 Desember 2018   20:54 Diperbarui: 28 Desember 2018   11:27 1105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penulis yang tergabung dalam sebuah tim di bawah STEI ITB melakukan survei adiksi internet dengan menyebar kuesioner kepada 402 responden dari berbagai usia, gender dan latar belakang. Kuesioner yang digunakan berbasis pada Young’s Internet Addiction Test (IAT), yaitu sebanyak 20 pertanyaan inti, ditambah 5 pertanyaan tambahan untuk mengetahui identitas dan latar belakang sampel data.

Berdasarkan hasil evaluasi terhadap metode pengumpulan data / survey menggunakan Alpha Cronbach dengan jumlah responden sebanyak 402 responden, didapatkan bahwa nilai cronbach’s alpha 0,92. Dengan demikian instrumen survey yang digunakan dalam penelitian ini dapat disimpulkan memiliki tingkat reliabilitas sempurna. Uji validitas survei menggunakan Pearson product moment menunjukkan correlation coeficient dari setiap item survei valid secara kesuluruhan sehingga layak untuk dijadikan instrument pengukuran.

Total 402 responden dalam survei tersebut terdiri atas 57% pria dan 43% wanita dengan berbagai pengalaman internet. Mayoritas (49%) memiliki pengalaman berinternet lebih dari 10 tahun, 35 % sample memiliki pengalaman 5-10 tahun dan 16% adalah internet pemula (kurang dari 5 tahun). Mayoritas sample yaitu 73% berusia di atas 21 tahun, yang menurut pasal 330 KUH Perdata dikategorikan sebagai dewasa, sementara sisanya (27 %) adalah remaja.

Skor rata-rata dari jawaban responden adalah 37.2 yang masuk pada kategori pengguna dengan tingkat adiksi ringan (mild). Hasil dari kuesioner secara umum ditunjukkan pada gambar 1, dimana mayoritas responden (68%) adalah pengguna internet yang terdeteksi mengalami masalah dalam penggunaan internet. Ini persoalan serius karena kalau mengacu pada beberapa survei di negara lain persentase adiksi kurang dari 2 digit. Dari 68 % tersebut, terdapat mayoritas 52 % menderita ringan (mild). Penderita ringan atau mild ini artinya mulai ada sedikit gejala dimana internet menjadi sesuatu yang bersifat adiktif. Ada 15 % menderita biasa (moderate) artinya sebanyak 15% dari responden lebih sering dari kebanyakan orang menggunakan internet melebihi waktu yang direncanakan dan terkadang menimbulkan problem dalam kehidupan sehari-hari. Hanya 1% yang dikategorikan memiliki masalah serius karena dari kuesioner menunjukkan penggunaan internet sangat mempengaruhi pola hidup mereka dan berefek negatif.

gambar-1-5c244c6d43322f1e2a7320e0.jpg
gambar-1-5c244c6d43322f1e2a7320e0.jpg
Jika ditelusuri lebih lanjut dari total 68% responden yang bermasalah dengan penggunaan internet, perbandingan persentase dewasa dan remaja cukup jauh yaitu 64% dewasa dan 36% remaja, seperti dilihat pada gambar 2. Tetapi kalau kita lihat bahwa total responden remaja hanya 27% dari total sampel, maka bisa dikatakan bahwa persentase rasio adiksi internet pada remaja (91 %) jauh lebih besar dibanding adiksi pada orang dewasa (60%). Ini sesuai dengan penelitian [19][20] di korea dan jepang di mana remaja memiliki resiko yang sangat besar adiksi internet dibanding dewasa, tetapi berbeda dengan 2 penelitian tersebut, penelitian kami tidak menunjukkan adanya responden remaja yang masuk dalam kategori memiliki permasalahan serius dengan adiksi internet. Semua yang memiliki problem serius (1%) adalah kelompok dewasa dengan pengalaman internet lebih dari 10 tahun. Melalui chi-square test didapat usia berhubungan dengan tingkat adiksi internet.

gambar-2-5c244c9f677ffb643d6a411e.jpg
gambar-2-5c244c9f677ffb643d6a411e.jpg
Dilihat dari gender kelompok yang memiliki masalah internet adiksi, mayoritas 61% adalah pria sementara sisanya 39 % adalah wanita (Gmbar 3). Tetapi jika dibagi dengan total responden per-gender maka perbandingannya hampir seragam (62 % wanita vs 72 % pria) walaupun pria tetap masih lebih tinggi 10 %. Menggunakan chi-square test p-value gender dan kategori internet adiksi adalah 0.3, lebih besar dari nilai alpha 0.05, artinya null hipotesis bahwa gender dan internet adiksi independent adalah benar. Hasil tersebut menunjukkan bahwa penelitian kami tidak menemukan hubungan antara gender dengan adiksi internet, artinya tidak benar asumsi jika salah satu gender (pria) jauh lebih rentan mengalami adiksi internet dibanding gender lain. Ini bisa dimengerti karena seperti yang telah penulis bahas di atas, ada 3 tipe adiksi internet menurut para peneliti diantaranya adiksi game online dan adiksi sosial media. Di antara kedua tipe adiksi ini, wanita kemungkinan besar rentan pada adiksi sosial media sementara pria lebih rentan pada adiksi game online.

gambar-3-5c244ca7677ffb64402de40d.jpg
gambar-3-5c244ca7677ffb64402de40d.jpg
Hal menarik lain yang penulis amati adalah hubungan antara lama pengalaman internet dengan adiksi internet (Gambar 4). Penelitian kami menunjukkan sebagian besar (83%) yang mengalami masalah adiksi internet adalah responden yang memiliki pengalaman berinternet lebih dari 5 tahun.  Bahkan yang masuk dalam kategori bermasalah serius adalah yang berinteraksi dengan internet lebih dari 10 tahun. Penelitian ini berbeda dengan teori yang dinyatakan oleh dr. John M Grohol, seorang yang skeptis dengan IAD, yang menyatakan mayoritas orang yang dikategorikan sebagai menderita adiksi internet sebenarnya adalah para pendatang baru, yang baru saja mengenal internet atau dalam kuesioner kami masuk kategori 1-5 tahun. John Grohol juga membangun sebuah model mengenai perilaku penggunaan internet, dengan menyitir pendapat peneliti lain yang menyatakan bahwa adiksi pada internet terutama media sosial bersifat phasic (berfase) dimana ada fase awal dimana pendatang baru terpesona dan terobsesi dengan pengalaman baru itu, tetapi lama kelamaan akan menjadi biasa, bahkan kecewa dan bosan sehingga akhirnya malas mengakses lagi. Jika model Grohol tersebut digunakan, penelitian kami menunjukkan para responden yang telah berpengalaman dengan internet tetapi tetap mengalami masalah dalam penggunaan yang terlampau berlebihan, tidak mampu melewati fase pertama yaitu fase Obsesi dengan internet.

gambar-4-5c244cb2677ffb4648794ac8.jpg
gambar-4-5c244cb2677ffb4648794ac8.jpg
Selain itu penelitian kami menunjukkan tidak ada hubungan antara penggunaan internet untuk belajar atau bekerja dengan adiksi internet. Seorang yang tidak menggunakan akses internet untuk belajar atau bekerja bisa saja mengakses internet secara berlebihan untuk hiburan atau media sosial, sementara orang yang memerlukan internet untuk pekerjaannya banyak yang tidak menggunakan untuk hal lain secara berlebihan kecuali untuk tugas yang dilakukan sehari-hari.

E. Diskusi Hasil Survei dan Penelitian IAD di Masa Depan

Hasil dari survey yang kami lakukan berbasis pada test IAT menunjukkan trend yang mengkhawatirkan yaitu sebanyak 68 % responden telah terpapar ganguan ketergantungan internet dengan beberapa tingkat dan mayoritas yaitu 52 % memang adalah penderita kategori ringan. Jadi pengguna normal internet pada survei kami hanya sebagai minoritas yaitu 32 %. Ini menjadi alarm keras bagi para orang tua, pendidik dan pengambil keputusan agar mewaspadai dampak negatif dan merumuskan strategi untuk mengatasi ketergantungan ini. Perlu dibuat strategi menyeluruh (holistik) mulai dari edukasi orang tua sampai intervensi kebijakan pemerintah seperti yang terjadi di china dengan menetapkan kondisi ini sebagai gejala yang diakui oleh negara dan mendirikan atau mensupervisi pendirian fasilitas lengkap untuk rehabilitasi. Edukasi tentang gejala ini perlu disosialisasikan ke orang tua dan pendidik dimana sekolah mengajarkan materi-materi pencegahan IAD di sekolah sejak dini dengan merubah cara pengajaran

Survei yang kami lakukan memiliki basis fondasi instrumen pengukuran yang kuat dari sisi reliabilitas dan validitasnya sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Semua pertanyaan kuesioner dikategorikan sebagai valid berdasarkan nilai r pada Pearson moment product. Nilai r terkecil adalah 0.34, hampir setengah dari nilai r yang lain, adalah untuk pertanyaan kuesioner IAT “Seberapa sering Anda memeriksa email dulu sebelum melakukan hal lain?” yang ternyata kurang relevan saat ini jika dibanding pertanyaan seperti “Seberapa sering Anda memeriksa email/WA/Telegram/Facebook dll dulu sebelum melakukan hal lain?”, karena perkembangan teknologi internet. Dari sisi reliabilitas, survey dinyatakan reliable karena nilai Cronbach alpha-nya 0.92 yang lebih besar dari nilai ambang batas 0.7.

Karena instrument dapat dipertanggungjawabkan, dapat diukur dan dapat ditest, maka kami berkesimpulan IAD adalah memang teori yang saintifik tetapi dengan perlu perbaikan metode. Menurut Karl Popper, seorang peneliti filsafat ilmu, syarat suatu teori dinyatakan sebagai bagian dari sains adalah jika teori itu dapat dites (testable), dapat ditolak jika ada bukti (refutable) dan dapat difalsifikasi jika hipotesa yang diturunkan ternyata tidak terbukti secara empiris (falsifiable). Tetapi metode saintifik dari penelitian IAD ini perlu diperkuat dan dipertajam agar terhindar dari pseudosains yang bisa menghilangkan keilmiahan dari pada penelitian IAD dan hanya berdasarkan asumsi-asumsi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Diantaranya cara memperkuat basis teori IAD ini adalah memperhatikan dan menjawab kritik-kritik yang dilontarkan para peneliti lain yang skeptis tentang adanya fenomena bernama IAD.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun