Mohon tunggu...
Muhammad Djamaluddin
Muhammad Djamaluddin Mohon Tunggu... -

Pelajar filsafat, suka dengan matematika & mesin pembelajran, tidak suka politik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketergantungan Internet, Sebuah Realitas Mengkhawatirkan di Era Digital

26 Desember 2018   20:54 Diperbarui: 28 Desember 2018   11:27 1105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.



(Versi tulisan ini dimuat di harian lombok post, terbit tanggal 28 desember 2018)

A. Sejarah Penelitian tentang Ketergantungan Internet (IAD)

Selama 15 tahun terakhir, jumlah pengguna Internet telah meningkat sebanyak 600% dan tercatat pada situs www.internetlivestats.com terdapat sekitar 4 miliar pengguna internet saat ini. Pada saat yang sama, telah banyak penelitian tentang penggunaan Internet yang dianggap memiliki semacam daya ketagihan yang berefek negatif pada kehidupan pengguna. Persoalan kecanduan internet adalah masalah belum dipahami dengan baik dan penelitian tentang etiologi dan sejarah alamnya masih dalam tahap perkembangan.

Terminologi Internet Addiction Disorder (IAD) pertama kali dicetuskan oleh Ivan Goldberg di tahun 1995 dengan melihat fenomena hasil pengamatannya terhadap beberapa pengguna internet yang bermasalah dimana ada sebagian orang menggunakan internet secara tak terkontrol dan berdampak negatif pada kehidupannya. 

Dr Kimberly Young dalam makalahnya pada tahun 1996 mengajukan revisi pada Teks Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental (DSM), edisi ke-4 yaitu sebuah pedoman penanganan gangguan mental di Amerika Serikat, dengan mengusulkan fenomena baru tersebut untuk dimasukkan ke dalam DSM-IV. Dr Young yang kemudian dikenal sebagai seorang pioneer di bidang ini, kemudian menulis buku populer membahas tentang problem yang semakin berkembang di Amerika Serikat dengan semakin mudah dan meningkatnya penggunaan teknologi internet. 

Sejak penelitian dr Young, walaupun dibarengi dengan kontroversi, masalah gangguan ketergantungan internet telah diteliti secara lebih luas dan intensif. Sejak beberapa tahun terakhir IAD dipertimbangkan untuk dimasukkan dalam DSM-V, versi terbaru dari DSM. Untuk selanjutnya dalam tulisan ini, gangguan ketergantungan internet akan disingkat dengan terminologi IAD.

Dalam sejarahnya, proposal serius pertama untuk kriteria diagnostik diajukan oleh Dr. Kimberly Young, dengan memodifikasi kriteria DSM-IV khusus untuk perjudian patologis. DSM-V pada tahun 2013 yang dikeluarkan American Psychiatric Association memang tidak memasukkan IAD sebagai adiksi, tetapi ada perkembangan baik bagi pemerhati IAD dimana internet gaming disorder dimasukkan dalam appendix DSM-V revisi terbaru. Sehingga ada kemungkinan di versi selanjutnya IAD akan dimasukkan dalam kategori yang sama dengan game online addiction, karena sama-sama adiksi tanpa adanya substansi zat kimia seperti juga problem adiksi judi. 

Dan sejak 1996 beberapa variasi nama dan kriteria telah dikemukakan untuk menangkap masalah yang sama, yang sering secara populer disebut gangguan ketergantungan Internet (IAD). Ada juga para ahli yang tidak setuju kata ketergantungan (adiksi) dan lebih cocok menggunakan istilah lain seperti Penggunaan Internet Bermasalah (PIU), penggunaan internet secara berlebihan, ketergantungan internet dan lainnya. Berbagai alat penilaian digunakan dalam melakukan evaluasi dari gangguan ini diantaranya adalah Young's Uji Kecanduan Internet (IAT), Kuesioner Penggunaan Internet Bermasalah (PIUQ) serta Skala Penggunaan Internet Kompulsif (CIUS).

Penelitian IAD telah dilakukan di berbagai negara dengan hasil yang cukup mengkhawatirkan. Di italia sebuah survei tahun 2018 di salah satu universitas menunjukkan sebanyak 87% siswa merasa penggunaan internet mereka berlebihan dan tidak terkontrol. Sementara untuk populasi umum survei lain di itali tahun 2012 menyebutkan sekitar 6% mengalami problem. Di Korea menurut survei tahun 2018, ada sekitar 15% populasi umum diindikasikan mengalami adiksi handphone dan internet, sementara di jepang angka internet adiksi diatas 10 persen masing-masing untuk remaja laki-laki dan perempuan.

 Tingkat prevalensi yang dilaporkan tinggi di negara-negara maju dengan akses internet cepat, menunjukkan adiksi internet adalah masalah serius di negara-negara ini dan mereka telah mengakui adiksi internet sebagai gangguan yang mengkhawatirkan. Bahkan China adalah negara pertama yang mengakui secara resmi adanya problem bernama adiksi internet dan terdapat 400 klinik rehabilitasi berlisensi yang dibuka untuk menangani sekitar 24 juta penderita gejala ini.

 Sampai saat ini walaupun telah lebih 2 dekade sejak Ivan Goldberg mencetuskan termonologi IAD, masih ada perdebatan yang berlanjut atas kriteria diagnostik gejala IAD. Perdebatan yang terus berlangsung adalah apakah IAD harus diklasifikasikan sebagai adiksi (perilaku), gangguan kontrol impulse atau bahkan gangguan obsesif kompulsif, belum dapat diselesaikan secara memuaskan oleh para ahli. 

Beberapa peneliti setuju bahwa bukti yang tidak bisa dibantah menunjukkan ada sebagian pengguna internet yang mengalami masalah, tetapi mereka menganggap ini sebagai gangguan (disorder) bukan ketergantungan (adiksi). 

Perdebatan tersebut juga menganalisa tentang cara terbaik untuk mengklasifikasikan perilaku yang dicirikan oleh aktivitas berjam-jam dihabiskan dalam kegiatan Internet. Artinya perlunya kriteria yang jelas bagaimana seorang pengguna internet yang merupakan pengguna biasa (adaptif) berubah menjadi pengguna dengan problem IAD. Apakah ada gejala yang menunjukkan perubahan perilaku seorang mengalami adiksi internet. 

Beberapa ahli berpendapat adiksi internet biasanya disertai dengan gejala perubahan mood atau keadaan emosional, ketidakmampuan untuk mengontrol waktu yang dihabiskan berinteraksi dengan internet dan perangkat digital, kebutuhan untuk menggunakan lebih banyak waktu atau mengekplorasi permainan baru untuk mencapai suasana hati yang diinginkan. Dampak dari perilaku yang terjadi pada tahap yang selanjutnya bisa berupa konflik keluarga dan kehidupan sosial yang terganggu yang berakibat pada prestasi kerja ataupun capaian akademis yang tidak maksimal.

Beberapa peneliti dan praktisi kesehatan mental melihat penggunaan Internet yang berlebihan sebagai gejala dari gangguan lain seperti kecemasan atau depresi daripada sebuah entitas yang terpisah. Kecanduan internet juga dapat dianggap sebagai gangguan kontrol Impulse. Namun konsensus yang berkembang bahwa konstelasi gejala ini adalah adiksi. 

American Society of Addiction Medicine (ASAM) tahun 2011 menerbitkan definisi baru tentang adiksi sebagai gangguan otak kronis, secara resmi mengusulkan untuk pertama kalinya bahwa adiksi tidak terbatas pada penggunaan narkoba. Ini tentunya berbeda dengan pengertian adiksi secara umum. Menurut ASAM semua adiksi, apakah kimia atau perilaku, memiliki karakteristik tertentu termasuk diantaranya penggunaan kompulsif (kehilangan kontrol), modifikasi suasana hati dan pengentasan kesusahan, toleransi dan penarikan.

Banyak peneliti dan dokter mencatat bahwa berbagai gangguan mental terjadi bersamaan dengan IAD. Ada perdebatan tentang siapa yang datang lebih dulu, adiksi atau gangguan yang terjadi bersamaan. Penelitian oleh Dong dkk di tahun 2011 setidaknya memiliki potensi untuk mengklarifikasi pertanyaan ini, melaporkan bahwa skor yang lebih tinggi untuk depresi, kecemasan, permusuhan, kepekaan interpersonal, dan psikotik adalah konsekuensi dari IAD. 

Walaupun perlu penelitian lebih mendalam, tapi setidaknya informasi ini menandakan perlu strategi yang tepat dari psikiater atau psikolog untuk menerapkan metode intervensi pada orang yang didiagnose berdasarkan metode tertentu mengalami IAD secara serius. Konsensus umum yang berkembang adalah bahwa pantangan total dari akses internet tidak boleh menjadi tujuan dari intervensi pada 'penderita' IAD tetapi sebaliknya pantangan dari aplikasi bermasalah dan penggunaan Internet yang terkontrol dan seimbang harus dicapai.

B. Definisi Adiksi Internet

Adiksi internet atau Internet Addiction Disorder (IAD) memiliki beragam pengertian tergantung pada sumber referensi yang kita rujuk karena memang saat ini belum ada standar baku definisi dari IAD itu sendiri. Beragama definisi itu bermuara dari terminologi adiksi (addiction).

Kata "addiction" sendiri menurut Merriam-Webster Dictionary adalah "compulsive need for and use of a habit-forming substance characterized by tolerance and by well-defined physiological symptoms upon withdrawal". Yang jika diartikan adalah ketergantungan dan penggunaan yang berlebihan pada zat kimia yg mempengaruhi perilaku ditandai dengan gejala psikologis menarik diri dari lingkungan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adiksi didefinisikan sebagai "adiksi atau ketergantungan secara fisik dan mental terhadap suatu zat". 

Jadi addiction (adiksi) dari dua definisi di atas diasosiasikan dengan ketergantungan penggunaan substansi kimia. Dan jika diaplikasikan pada kondisi yang lebih umum artinya gejala adiksi pada suatu hal memiliki efek yang menyerupai ketergantungan pada zat kimia.

Internet adalah teknologi yang memungkinkan orang mengakses bermacam-macam informasi baik bersifat positif dan negatif secara instan. Ia merupakan media yang netral dimana seseorang bisa menaruh konten apapun yang orang lain dapat mengaksesnya secara bebas. 

Untuk setiap konten berisi porno, hoax, propaganda terror dan lain-lain yang terdapat di internet, terdapat banyak konten positif dan informatif untuk memperoleh berita, hiburan dan pembelajaran yang jumlahnya juga tidak sedikit. Dengan semakin murah dan cepatnya internet serta semakin mudahnya cara untuk mengaksesnya melalui teknologi bergerak seperti handphone, tablet atau laptop, maka teknologi ini tersedia dengan mudah sehingga sulit dihindari. 

Saat ini teknologi internet mengubah perilaku konsumerisme dai pengguna dimana kita dengan mudah melakukan pembelian barang secara online, memesan alat transportasi atau kegiatan lain yg biasa dilakukan secara konvensional. Tetapi apakah internet bersifat adiktif? Beberapa peneliti dan psikiatris berpendapat demikian karena sifat 'adiktif' itu yang membuat pengguna internet mengaksesnya terlampau berlebihan dan jika konten yang sering diakses tersebut tidak bermanfaat bahkan bersifat merusak, akan berdampak sangat negatif pada kehidupan di dunia nyata.

Begitu banyak definisi tentang adiksi internet dan belum terdapat definisi resmi dari lembaga kompeten, tapi dari semua definisi tersebut memiliki beberapa kesamaan. Dan jika kita tarik benang merahnya dari semua definisi itu maka yang dimaksud adiksi internet adalah ketergantungan penggunaan internet yang terlampau berlebihan sehingga berpengaruh negatif pada kehidupan seseorang. Pengaruh negatif dalam kehidupan seorang yang mengalami adiksi internet yang digambarkan adalah stress, terasing atau menjauhkan diri dari keluarga dan teman.

Dr Young mengidentifikasi ada 5 sub-tipe adiksi dalam IAD yang masing-masing tergantung pada aplikasi apa yang diakses oleh pengguna. Biasanya obsesi akan suatu tipe aplikasi di internet berdampak pada penggunaan waktu berlebihan di internet untuk mengakses aplikasi tersebut. Ke 5 sub-tipe tersebut adalah:

  • Cybersexual: Ketergantungan seks di dunia maya, dimana pengguna internet terobsesi menonton, mengunduh atau membeli material pornografi secara online
  • Cyber-relational: Kegergantungan pergaulan di dunia maya
  • Net compulsions: Ketergantungan aktivitas seperti judi, belanja online, jual beli online
  • Informational Overload: Mengakses web, mencari hal-hal tertentu secara berlebihan
  • Computer Addiction: Mengutak-utik komputer dan bermain games di dalamnya

C. Gejala-Gejala Adiksi Internet

Karena kecanduan internet tidak diakui secara resmi sebagai gangguan kecanduan, mungkin sulit untuk mendapatkan diagnosis. Namun, beberapa ahli terkemuka di bidang kecanduan perilaku telah berkontribusi pada pengetahuan saat ini tentang gejala kecanduan internet. Semua jenis kecanduan internet mengandung 7 komponen berikut:

1. Salience adalah mulai menonjolnya perasaan keinginan untuk menggunakan internet. Gejalanya dapat berupa perasaan menanti-nanti waktu bisa beraktifitas online atau pikiran terkait aktivitas online sebelumnya yang selalu hadir

2. Tolerance dimaknai sebagai munculnya toleransi atau kekebalan, sehingga dosis yang diperlukan untuk memuaskan keinginan selalu meningkat, berupa waktu online yang terus meningkat dan membeli perangkat-perangkat tambahan yang mempermudah akses

3. Mood modification adalah ketergantungan pada internet untuk dapat merasa bahagia, dan perasaan murung ketika tidak dapat mengakses internet, berupa gelisah, depresi, mudah tersinggung dan marah, serta sejenak gembira kemudian murung secara seketika

4. Loss of control adalah kegagalan untuk mengendalikan diri ketika menggunakan internet, contohnya lupa waktu, awalnya berniat hanya sebentar, "sejam lagi saja ah...", berubahnya pola tidur, hingga terganggunya pekerjaan atau aktivitas akademik

5. Withdrawal adalah perasaan buruk ketika seseorang sadar akan adiksinya dan mencoba untuk berhenti berinternet, berupa marah, stress, depresi

6. Denial and concealment adalah perilaku menolak dan menyembunyikan kecanduan yang diderita, misalnya berbohong atas aktivitas online serta menutup-nutupi fakta bahwa dia telah berinternet

7. Relapse adalah kembalinya seseorang kepada adiksi setelah berusaha berhenti.


D. Survei Adiksi Internet

Penulis yang tergabung dalam sebuah tim di bawah STEI ITB melakukan survei adiksi internet dengan menyebar kuesioner kepada 402 responden dari berbagai usia, gender dan latar belakang. Kuesioner yang digunakan berbasis pada Young’s Internet Addiction Test (IAT), yaitu sebanyak 20 pertanyaan inti, ditambah 5 pertanyaan tambahan untuk mengetahui identitas dan latar belakang sampel data.

Berdasarkan hasil evaluasi terhadap metode pengumpulan data / survey menggunakan Alpha Cronbach dengan jumlah responden sebanyak 402 responden, didapatkan bahwa nilai cronbach’s alpha 0,92. Dengan demikian instrumen survey yang digunakan dalam penelitian ini dapat disimpulkan memiliki tingkat reliabilitas sempurna. Uji validitas survei menggunakan Pearson product moment menunjukkan correlation coeficient dari setiap item survei valid secara kesuluruhan sehingga layak untuk dijadikan instrument pengukuran.

Total 402 responden dalam survei tersebut terdiri atas 57% pria dan 43% wanita dengan berbagai pengalaman internet. Mayoritas (49%) memiliki pengalaman berinternet lebih dari 10 tahun, 35 % sample memiliki pengalaman 5-10 tahun dan 16% adalah internet pemula (kurang dari 5 tahun). Mayoritas sample yaitu 73% berusia di atas 21 tahun, yang menurut pasal 330 KUH Perdata dikategorikan sebagai dewasa, sementara sisanya (27 %) adalah remaja.

Skor rata-rata dari jawaban responden adalah 37.2 yang masuk pada kategori pengguna dengan tingkat adiksi ringan (mild). Hasil dari kuesioner secara umum ditunjukkan pada gambar 1, dimana mayoritas responden (68%) adalah pengguna internet yang terdeteksi mengalami masalah dalam penggunaan internet. Ini persoalan serius karena kalau mengacu pada beberapa survei di negara lain persentase adiksi kurang dari 2 digit. Dari 68 % tersebut, terdapat mayoritas 52 % menderita ringan (mild). Penderita ringan atau mild ini artinya mulai ada sedikit gejala dimana internet menjadi sesuatu yang bersifat adiktif. Ada 15 % menderita biasa (moderate) artinya sebanyak 15% dari responden lebih sering dari kebanyakan orang menggunakan internet melebihi waktu yang direncanakan dan terkadang menimbulkan problem dalam kehidupan sehari-hari. Hanya 1% yang dikategorikan memiliki masalah serius karena dari kuesioner menunjukkan penggunaan internet sangat mempengaruhi pola hidup mereka dan berefek negatif.

gambar-1-5c244c6d43322f1e2a7320e0.jpg
gambar-1-5c244c6d43322f1e2a7320e0.jpg
Jika ditelusuri lebih lanjut dari total 68% responden yang bermasalah dengan penggunaan internet, perbandingan persentase dewasa dan remaja cukup jauh yaitu 64% dewasa dan 36% remaja, seperti dilihat pada gambar 2. Tetapi kalau kita lihat bahwa total responden remaja hanya 27% dari total sampel, maka bisa dikatakan bahwa persentase rasio adiksi internet pada remaja (91 %) jauh lebih besar dibanding adiksi pada orang dewasa (60%). Ini sesuai dengan penelitian [19][20] di korea dan jepang di mana remaja memiliki resiko yang sangat besar adiksi internet dibanding dewasa, tetapi berbeda dengan 2 penelitian tersebut, penelitian kami tidak menunjukkan adanya responden remaja yang masuk dalam kategori memiliki permasalahan serius dengan adiksi internet. Semua yang memiliki problem serius (1%) adalah kelompok dewasa dengan pengalaman internet lebih dari 10 tahun. Melalui chi-square test didapat usia berhubungan dengan tingkat adiksi internet.

gambar-2-5c244c9f677ffb643d6a411e.jpg
gambar-2-5c244c9f677ffb643d6a411e.jpg
Dilihat dari gender kelompok yang memiliki masalah internet adiksi, mayoritas 61% adalah pria sementara sisanya 39 % adalah wanita (Gmbar 3). Tetapi jika dibagi dengan total responden per-gender maka perbandingannya hampir seragam (62 % wanita vs 72 % pria) walaupun pria tetap masih lebih tinggi 10 %. Menggunakan chi-square test p-value gender dan kategori internet adiksi adalah 0.3, lebih besar dari nilai alpha 0.05, artinya null hipotesis bahwa gender dan internet adiksi independent adalah benar. Hasil tersebut menunjukkan bahwa penelitian kami tidak menemukan hubungan antara gender dengan adiksi internet, artinya tidak benar asumsi jika salah satu gender (pria) jauh lebih rentan mengalami adiksi internet dibanding gender lain. Ini bisa dimengerti karena seperti yang telah penulis bahas di atas, ada 3 tipe adiksi internet menurut para peneliti diantaranya adiksi game online dan adiksi sosial media. Di antara kedua tipe adiksi ini, wanita kemungkinan besar rentan pada adiksi sosial media sementara pria lebih rentan pada adiksi game online.

gambar-3-5c244ca7677ffb64402de40d.jpg
gambar-3-5c244ca7677ffb64402de40d.jpg
Hal menarik lain yang penulis amati adalah hubungan antara lama pengalaman internet dengan adiksi internet (Gambar 4). Penelitian kami menunjukkan sebagian besar (83%) yang mengalami masalah adiksi internet adalah responden yang memiliki pengalaman berinternet lebih dari 5 tahun.  Bahkan yang masuk dalam kategori bermasalah serius adalah yang berinteraksi dengan internet lebih dari 10 tahun. Penelitian ini berbeda dengan teori yang dinyatakan oleh dr. John M Grohol, seorang yang skeptis dengan IAD, yang menyatakan mayoritas orang yang dikategorikan sebagai menderita adiksi internet sebenarnya adalah para pendatang baru, yang baru saja mengenal internet atau dalam kuesioner kami masuk kategori 1-5 tahun. John Grohol juga membangun sebuah model mengenai perilaku penggunaan internet, dengan menyitir pendapat peneliti lain yang menyatakan bahwa adiksi pada internet terutama media sosial bersifat phasic (berfase) dimana ada fase awal dimana pendatang baru terpesona dan terobsesi dengan pengalaman baru itu, tetapi lama kelamaan akan menjadi biasa, bahkan kecewa dan bosan sehingga akhirnya malas mengakses lagi. Jika model Grohol tersebut digunakan, penelitian kami menunjukkan para responden yang telah berpengalaman dengan internet tetapi tetap mengalami masalah dalam penggunaan yang terlampau berlebihan, tidak mampu melewati fase pertama yaitu fase Obsesi dengan internet.

gambar-4-5c244cb2677ffb4648794ac8.jpg
gambar-4-5c244cb2677ffb4648794ac8.jpg
Selain itu penelitian kami menunjukkan tidak ada hubungan antara penggunaan internet untuk belajar atau bekerja dengan adiksi internet. Seorang yang tidak menggunakan akses internet untuk belajar atau bekerja bisa saja mengakses internet secara berlebihan untuk hiburan atau media sosial, sementara orang yang memerlukan internet untuk pekerjaannya banyak yang tidak menggunakan untuk hal lain secara berlebihan kecuali untuk tugas yang dilakukan sehari-hari.

E. Diskusi Hasil Survei dan Penelitian IAD di Masa Depan

Hasil dari survey yang kami lakukan berbasis pada test IAT menunjukkan trend yang mengkhawatirkan yaitu sebanyak 68 % responden telah terpapar ganguan ketergantungan internet dengan beberapa tingkat dan mayoritas yaitu 52 % memang adalah penderita kategori ringan. Jadi pengguna normal internet pada survei kami hanya sebagai minoritas yaitu 32 %. Ini menjadi alarm keras bagi para orang tua, pendidik dan pengambil keputusan agar mewaspadai dampak negatif dan merumuskan strategi untuk mengatasi ketergantungan ini. Perlu dibuat strategi menyeluruh (holistik) mulai dari edukasi orang tua sampai intervensi kebijakan pemerintah seperti yang terjadi di china dengan menetapkan kondisi ini sebagai gejala yang diakui oleh negara dan mendirikan atau mensupervisi pendirian fasilitas lengkap untuk rehabilitasi. Edukasi tentang gejala ini perlu disosialisasikan ke orang tua dan pendidik dimana sekolah mengajarkan materi-materi pencegahan IAD di sekolah sejak dini dengan merubah cara pengajaran

Survei yang kami lakukan memiliki basis fondasi instrumen pengukuran yang kuat dari sisi reliabilitas dan validitasnya sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Semua pertanyaan kuesioner dikategorikan sebagai valid berdasarkan nilai r pada Pearson moment product. Nilai r terkecil adalah 0.34, hampir setengah dari nilai r yang lain, adalah untuk pertanyaan kuesioner IAT “Seberapa sering Anda memeriksa email dulu sebelum melakukan hal lain?” yang ternyata kurang relevan saat ini jika dibanding pertanyaan seperti “Seberapa sering Anda memeriksa email/WA/Telegram/Facebook dll dulu sebelum melakukan hal lain?”, karena perkembangan teknologi internet. Dari sisi reliabilitas, survey dinyatakan reliable karena nilai Cronbach alpha-nya 0.92 yang lebih besar dari nilai ambang batas 0.7.

Karena instrument dapat dipertanggungjawabkan, dapat diukur dan dapat ditest, maka kami berkesimpulan IAD adalah memang teori yang saintifik tetapi dengan perlu perbaikan metode. Menurut Karl Popper, seorang peneliti filsafat ilmu, syarat suatu teori dinyatakan sebagai bagian dari sains adalah jika teori itu dapat dites (testable), dapat ditolak jika ada bukti (refutable) dan dapat difalsifikasi jika hipotesa yang diturunkan ternyata tidak terbukti secara empiris (falsifiable). Tetapi metode saintifik dari penelitian IAD ini perlu diperkuat dan dipertajam agar terhindar dari pseudosains yang bisa menghilangkan keilmiahan dari pada penelitian IAD dan hanya berdasarkan asumsi-asumsi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Diantaranya cara memperkuat basis teori IAD ini adalah memperhatikan dan menjawab kritik-kritik yang dilontarkan para peneliti lain yang skeptis tentang adanya fenomena bernama IAD.

Seperti sudah dipaparkan di atas, adiksi internet saat ini masih topik kontroversial di kalangan peneliti, bahkan belum dimasukkan dalam DSM-V sebagai salah satu bentuk ganguan mental kecanduan. Setelah bertahun-tahun problem ini diangkat dan diteliti, para peneliti masih belum memiliki kesepakatan definisi dan gejala gangguan kecanduan internet (IAD). Sebagian besar kritik pada teori IAD ini berupa kritik mengenai penelitian awal yang didasarkan pada jenis metodologi penelitian berupa survei eksplorasi tanpa hipotesis awal yang jelas, definisi istilah yang belum disepakati, atau konseptualisasi teoritis yang masih diperdebatkan. Datang dari pendekatan atheoretical memiliki beberapa manfaat, tetapi juga biasanya tidak diakui sebagai cara yang kuat untuk mendekati gangguan baru. Penelitian yang lebih baru telah memperluas survei asli dan banyak digunakan di berbagai survei kecanduan internet. 

Seorang pengkritik utama teori IAD adalah dr John M Grohol, Psy.D. Beberapa poin yang disampaikan oleh dr Grohol adalah meskipun survei dapat membantu menetapkan deskripsi tentang bagaimana orang merasa tentang diri mereka dan perilaku mereka, mereka tidak dapat menarik kesimpulan tentang apakah teknologi tertentu, seperti Internet, sebenarnya telah menyebabkan perilaku tersebut. Kesimpulan yang ditarik murni spekulatif dan subjektif yang dibuat oleh para peneliti itu sendiri. Para peneliti memiliki nama untuk kesalahan logis ini, mengabaikan penyebab umum, artinya sebenarnya problem utamanya bukan kecanduan pada salah satu teknologi seperti internet tetapi problem yang lebih umum misalnya kecanduan narkoba, kecanduan judi yang kemudian dimanifestasikan ke dalam bentuk platform atau medium yang lain yaitu internet.

Dr Grohol juga menyoroti apakah orang memiliki masalah kecanduan dengan menghabiskan terlalu banyak waktu online? Padahal beberapa orang juga menghabiskan terlalu banyak waktu membaca, menonton televisi, dan bekerja, dan mengabaikan keluarga, persahabatan, dan kegiatan sosial. Tetapi apakah kita memiliki gangguan kecanduan TV, kecanduan buku, dan kecanduan kerja yang disarankan sebagai gangguan mental yang sah dalam kategori yang sama seperti skizofrenia dan depresi? Tentu tidak. Beliau melihat kecenderungan dari beberapa profesional kesehatan mental dan peneliti untuk ingin memberi label semua yang mereka lihat sebagai berpotensi berbahaya dengan kategori diagnostik baru. Sayangnya, ini menyebabkan lebih banyak bahaya daripada membantu orang.

Selain itu waktu sendiri tidak bisa menjadi indikator kecanduan atau terlibat dalam perilaku kompulsif. Waktu harus diambil dalam konteks dengan faktor-faktor lain, seperti apakah Anda seorang mahasiswa (yang, secara keseluruhan, secara proporsional menghabiskan lebih banyak waktu online), apakah itu bagian dari pekerjaan Anda, apakah Anda memiliki pra-kondisi yang ada (seperti gangguan mental lainnya; seseorang dengan depresi lebih cenderung menghabiskan lebih banyak waktu online daripada seseorang yang tidak, misalnya, sering di lingkungan kelompok pendukung virtual.

 Kritik lain adalah tidak adanya pertanyaan pada IAT yang bicara tentang riwayat gangguan mental para responden untuk mengetahui latar belakang. Pertanyaan tentang riwayat gangguan mental yang sudah ada sebelumnya (mis., Depresi, kecemasan), masalah kesehatan atau kecacatan, atau masalah hubungan penting untuk menjawab tudingan bahwa sebenarnya internet yang menyebabkan adiksi tapi danya gangguan mental inilah yang menjadi penyebab utama sehingga pengguna berlama-lama di internet.

 Kritik-kritik yang dilancarkan oleg para skeptis IAD ini dari mulai awal pengenalan gejala gangguan internet oleh Dr Young di akhir tahun 1990an sampai saat ini, tentunya tidak menyurutkan sama sekali penelitian IAD di Amerika bahkan menjalar ke banyak negara termasuk negara berkembang dan negara ekonomi besar baru seperti indonesia. Penelitian IAD menjadi sangat penting dan sudah pada saatnya di Indonesia selain karena internet telah mulai masuk ke dalam setiap sektor kehidupan masyarakat, teknologi internet Indonesia masih dalam tahap berkembang sehingga ada jalan untuk memperbaiki melalui strategi pendidikan, regulasi dan kebijakan yang tepat oleh semua pihak.

Penelitian IAD juga sangat relevan bagi Indonesia karena mayoritas penelitian yang ada menunjukkan kecendrungan pengguna usia remaja lebih rentan mengalami IAD dibanding orang dewasa. Sementara perkiraan statistik demografi Indonesia di mulai 2020 sampai 10-15 tahun kedepannya menunjukkan adanya surplus demografi di usia produktif yang mayoritas akan diisi para anak muda. Jika anak muda dan kaum usia produktif ini ternyata mayoritasnya terpapar oleh permasalahan internet adiksi yang kontra produktif dan berdampak negatif pada kehidupan pribadi, sosial dan professional mereka, maka bonus demografi kaum usia muda Indonesia malah menjadi beban nasional bukan keuntungan yang mendorong kemajuan Indonesia di 100 tahun Indonesia merdeka, 2045.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun