Mohon tunggu...
Mursyid Burhanuddin
Mursyid Burhanuddin Mohon Tunggu... Administrasi - Direktur

Dewan Pertimbangan Ikatan Penerbit Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Nadiem dan Kurikulum Era 5.0

12 Desember 2019   07:00 Diperbarui: 12 Desember 2019   07:01 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Media cetak dan elektronik terus-menerus memberitakan Nadiem. Menteri termuda yang kini menjadi media darling. Presiden Jokowi terlihat begitu yakin dengan kemampuan Nadiem. Bahkan, sejak ia belum diangkat sebagai pembantunya.

Tak ada diskusi se-intens yang dilakukan Jokowi kepada calon-calon menterinya, kecuali dengan Nadiem. Ia menjadi menteri yang berbeda.

Saya yakin ia sungguh-sungguh menerima amanat itu. Bahkan, Nadiem hanya mau jadi Mendikbud, bukan menteri lainnya, katanya. Belakangan kita tahu, ternyata telah lama ia menaruh perhatian dan minat besar pada bidang pendidikan. Jauh sebelum orang mengenalnya sebagai CEO perusahaan startup yang fenomenal itu.

Mungkin setidaknya, ia sudah mengantongi beberapa akar masalah pendidikan kita dari sudut pandangnya.

Belakangan ini, ia mulai berani berbicara langsung kepada publik. Ia mulai berbicara tentang rencana yang akan dilakukannya.

Sekarang ia mengarahkan perhatiannya kepada: Perombakan Kurikulum.

Isu yang membuat sebagian masyarakat dan pelaku perbukuan menjadi waswas.

Pencapaian skor PISA (Programme for International Students Assessment) kita yang baru dirilis, menjadi penguat bahwa harus ada terobosan signifikan dalam pendidikan kita. Ranking PISA kita tahun 2018 masih jeblok. Berada 10 besar dari bawah. Bahkan, lebih rendah ketimbang tahun sebelumnya.

PISA, Anda tahu, adalah studi untuk mengukur prestasi skolastik siswa yang berusia 15 tahun dari 77 negara. Pada bidang Matematika, Sains, dan Membaca.

Buruknya skor PISA itu yang menjadi salah satu alasan: Ada yang salah dengan pembelajaran kita. Pada kurikulum kita.

Belakangan ini, Nadiem mengungkap kembali tentang rencananya menyederhanakan kurikulum.

Dan, itulah yang sekarang sedang dilakukan oleh Kemdikbud. Yakni, menyiapkan rancangan pengganti Kurikulum 2013 (K-13).

Sebuah kurikulum yang diharapkan mampu menjawab tantangan Era disruptif dan tuntutan Era 5.0. Sebuah kurikulum yang tidak saja memerhatikan pengetahuan konten (knowledge contents), tapi juga pada keterampilan berfikir (thinking skills). Juga bukan kurikulum yang hanya menghasilkan a 'mile-wide-inch-deep' curriculum. Yang hanya menghasilkan pengetahuan melebar. Tapi, dangkal (hanya beberapa inchi) kedalamannya.

Era masyarakat 5.0 yang diadopsi oleh Kemdikbud, pertama kali di-inisasi PM Jepang Shinzo Abe.

Era 5.0 bukan hanya bicara tentang teknologi. Tapi, juga tentang kebijakan dan regulasi. Pendek kata, teknologi masa depan harus tetap menempatkan manusia sebagai pengendalinya. Pemanfaatan Big Data juga diharapkan ke arah terwujudnya humanize smart society. Jadi, pemanfaatan teknologi harus lah manusia sebagai pusatnya.

Lalu, bagaimana gambaran model pengganti K-13 itu?

Kita bisa menyimaknya dari model Kurikulum Era Disrupsi dan Masyarakat Era 5.0.

Itu adalah desain kurikulum yang menjadi rujukan Kemdikbud. Yang berasal dari hasil kajian Kemdikbud dan Kemenristekdikti, tahun 2018 dan 2019.

Yang konsepnya kurang lebih begini:

Pada komponen kompetensi: tetap menggunakan Competencies Based Curriculum, dengan menguatkan kompetensi masa kini dan masa depan.

Yang menarik pada komponen konten. Dengan masuknya coding (bahasa pemrograman) ke dalam kurikulum. Selain kecukupan dan kesesuaian, berbasis riset, digital resources dan vokasi.

Pada komponen proses: Memanfaatkan blended learning, terintegrasi dengan dunia kerja, optimalisasi penggunaan digital resources dan penguatan STEM dan tematik.

Pada aspek penilaian: Menggambarkan kompetensi secara komprehensif, penguatan akuntabilitas, objektivitas, dan portofolio.

Dari situ terlihat, tidak semua kompunen berbeda dengan K-13.

Beberapa hal adalah komponen baru. Beberapa hal yang lain masih sama. Bahkan, dipertajam.

Oleh karena itu, penyederhanaan K-13 bisa ditempuh dengan menggunakan opsi minor saja. Misalnya, cukup dengan mengkaji ulang kompetensi dasar, memetakan konsep dasar vokasi atau pada penguatan instructional delivery and blended learning.

Jika perombakan yang akan dilakukan maka bisa ditempuh dengan opsi mayor. Yakni, me-redesain kompetensi dasar sesuai dengan tuntutan kebutuhan atau penguatan learning ketimbang schooling.

Dus, Kemdikbud sebenarnya telah memiliki naskah akademik. Tinggal mana yang akan dipilih. Kapan eksekusinya? Semua bergantung pada Nadiem.

Nadiem, sebagai Mendikbud saat ini, memiliki hak veto terhadap rancangan kurikulum itu.  Ia memiliki kewenangan seperti apa seharusnya kurikulum harus dibangun. Juga, ia berhak menerima masukan dari para guru dan tokoh masyarakat.

Namun, kurikulum yang mantap, bagaimanapun, adalah urusan yang menuntut kesabaran. Tidak bisa digas pol seperti ojek online. Bahkan dalam situasi hari ini, di mana segala hal menghendaki kecepatan dan hasil seketika.

Perombakan atau penyederhaan kurikulum memerlukan pola pikir yang berbeda. Memerlukan persiapan yang mantap.

Sebagaimana dalam urusan-urusan lain, Presiden Jokowi selalu ingin serba cepat.

Ia mengejutkan, dan membuat saya shock, ketika menyuruh merombak kurikulum besar-besaran. Dan membuat kami kuatir karena menjadikan aplikasi teknologi sebagai solusi untuk melakukan lompatan.

Tetapi ia memang begitu.

Pembangunan insfrastruktur tidak akan rampung secepat itu, jika ia berfikir kompleks dan banyak pertimbangan. Ia berorientasi pada hasil yang cepat. Ia tentu tidak sabar melihat perkembangan pendidikan kita yang masih terseok-seok di urutan bawah.

Ia tampaknya tidak puas dengan K-13.

Ia memercayakan kepada Nadiem semata-mata agar perombakan yang bakal terjadi lebih cepat dari yang dipikirkan orang.

Tapi, kita tidak bisa menimpakan sukses tidaknya pendidikan nasional hanya kepada Nadiem saja. Sebab, itu adalah sikap yang tidak bertanggung jawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun