Mohon tunggu...
Suci Ayu Latifah
Suci Ayu Latifah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Satu Tekad Satu Tujuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Eksistensi Cinta dan Cinta Eksistensi

17 Desember 2018   06:19 Diperbarui: 17 Desember 2018   06:31 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hakikat eksistensi cinta adalah karakteristik Tuhan yang paling orisinal. Sementara eksistensi cinta makhluk atau manusia kepada Tuhan---atau kepada sesamanya---merupakan peneladanan sifat cinta yang dimiliki Tuhan. Bahkan, cinta Tuhan eksis dan terinternalisasi ke dalam makhluk ciptaan-Nya. Abu Yazid al-Busthami berujar:

Pada awalnya aku telah salah sangka dalam empat hal:

 

Aku salah sangka, aku kira dengan mengingat-Nya maka Dia akan mengingatku. 

Namun kenyataannya, Dia telah lebih dulu mengingatku 

sebelum aku mengingat-Nya.

 

Aku salah sangka, aku kira dengan mengenal-Nya maka Dia akan mengenalku.

Namun kenyataannya, Dia telah lebih dulu mengenalku sebelum akau mengenal-Nya.

 

Aku salah sangka, aku kira dengan mencintai-Nya maka dia akan mencintaiku.

Namun kenyataannya, Dia telah lebih dulu mencintaiku

Sebelum aku menyampaikan cintaku kepada-Nya.

 

Aku salah sangka, aku kira dengan mencari-Nya maka aku akan meraih-Nya.

Namun kenyatannya, Dia telah terlebih dulu meraihku sebelum aku meraih-Nya.2

 

Mengingat, mengenal, mencintai, dan mencari, bagi Tuhan, merupakan upaya yang tanpa target tertentu. Apayang dilakukan Tuhan terhadap makhluk-Nya tanpa syarat dan pamrih. Sedangkan mengingat, mengenal, mencintai, dan emncari yang dilakukan makhluk atau manusia seperti yang diujarkan Abu Yazid al-Busthami---penuh syarat dan pamrih; mengingat agar kekasih balik mengingat, mengenal agar kekasih balik mengenal, mencintai agar kekasih balik mengingat, mengenal, dan mencari agar kekasih juga menyambutnya. Namun, manusia terhenyak setelah sampai pada puncak pendakian spiritualnya, ternyata jauh sebelum itu Tuhan sudah lebih dulu mengingat, mengenal, mencintai, dan meraihnya. Cinta yang kekanak-kanakan cenderung mengikuti prinsip, "Saya mencintai karena saya dicintai. Dan saya mencintai Tuhan karena saya membutuhkan-Nya." Sedangkan cinta yang dewasa berpijak pada prinsip, "Saya ingin dicintai Tuhan karena saya mencintai-Nya. Dan saya membutuhkan Tuhan karena saya mencintai-Nya." Teteapi, sedewasa apa pun cinta manusia tetaplah tidak sebanding dengan cinta Tuhan.

Kita melihat perbedaan antara para sufi dan non-sufi---seperti ahli fikih dan teolog---mengenai gambaran cinta Tuhan. Dalam pandangan ahli fikih dan teolog, cinta Tuhan adalah cinta bersyarat dengan prinsip "Tuhan mencintai manusia, karena ia memenuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya". Prinsip inilah yang acapkali diaplikasika oleh manusia. Sedangkan cinta Tuhan dalam perspektif sufi adalah cinta tanpa syarat yang berprinsip, "Tuhan mencintai manusia dan seluruh makhluk-Nya, karena alam semesta dan seisinya karena cinta. Bagaimanapun---dan berbentuk apa pun---makhluk adalah kreasi dan inovasi-Nya. Dan puncak kemahaagungan ciptaan-Nya ialah manusia".

Cinta tanpa batas seperti lautan tak bertepi. Air cinta diteguk tidak membuat sang pencinta merasa dahaganya hilang. Semakin sering meneguk, semakin hauslah ia. Sebab, cinta memang tidak statis. Ia adalah unsur yang selamanya menggerakkan. Ialah hasrat atau keinginan untuk bersua dengan sang kekasih yang digerakkan oleh perasaan abadi dan kontinu. Keabadian dan kontinuitas adalah dua hal yang terus berjalan tanpa batas waktu. Cinta erat kaitannya dengan eksistensi, karena cinta ada di awal eksistensi mulaimewujud. Dengan kata lain, eksistensi ada karena cinta.

Sebagian orang menganggap bahwa alam semesta seakan melepaskan manusia dari Tuhan. Maksudnya, alam semesta telah mengalienasi manusia sehingga membuatnya terasing dari Tuhan. Padahal, alam semesta sejatinya merupakan medan laga manusia untuk menggapai Tuhan. Dengan kata lain, manusia tidak akan bisa menyibak hakikat-hakikat Tuhan kecuali bergelut dengan alam semesta dan wujud-wujud yang lain. Martin Buber berkata, "Siapa pun yang menempuh secara benar dalam berinteraksi dengan alam semesta, maka pada saat yang sama ia tekah berinteraksi engan Tuhan." Artinya bahwa misteri Tuhan tidak bisa disibakoleh seseorang dengan hanya sebatas memikirkan dan menjalani ritual, melainkan juga perlu diimbangi dengan penjelajahan terhadap alam semesta---sebagai sebuah upaya menyibak makna-makna Ilahi. Karena itu, mencintai alam semesta berarti mencintai Tuhan. Begitu pula sebaliknya, mencintai Tuhan meniscayakan kecintaan terhadap alam semesta dan seisinya. Nah, cinta manusia terhadap Tuhan tidak hanya dapat diwujudkan dengan mengadakan dialog rahasia dan bermunajat secara dalam dengan zat Ilahi, tetapi juga perlu diejawentahkan dengan aktivitas konkrit di area atau kawasan ilahi, yaitu dunia Tuhan atau alam semesta. Inilah sebenarnya bentuk relasi antara manusia, Tuhan dan alam semesta yang diikat oleh sesuatu bernama cinta.3

Apa yang dikatakan Buber---cinta  terhadap alam semesta berarti juga cinta terhadap Tuhan---selaras dengan pandangan sufistik Ibn ;Arabi yang menyatakan bahwa Tuhan mencintai keindahan (al-jamal). Allah menyebut diri-Nya "Sang Mahaindah (al-Jamil)", sebagaimana ditegaskan dalam sabda Nabi Muhammad Saw, "Sesungguhnya Allah adalah indah dan mencintai keindahan." Dalam hadis ini, secara tegas Tuhan dinyatakan Indah, dan keindahan-Nya itulah yang membuat manusia mencintai-Nya. Menurut Ibn 'Arabi, manusia mencintai Tuhan tidak hanya karena keindahan zat-Nya, tetapi juga mencintai keindahan manifestasi-menifestasi-Nya yang terbentang di alam semesta. Karena manifestasi-menifestasi itu merupakan entitasentitas yang diciptakan keindahan dari wujud al-Haqq sendiri. Hal ini bermakna, orang yang mencintai keindahan manifestasi-menifestasi itu berarti ia mencintai Tuhan. Keindahan alam semesta dan semua makhluk adalah keindahan Tuhan. Alam semesta merupakan penampakan dari keindahan-Nya. Dengan begitu, orang yang mencintai alam semesta berarti ia telah mencintai Tuhan.4

Cinta yang mengepung para sufi bukan hanya cinta manusia kepada Tuhan, tetapi juga cinta Tuhan kepada semua manusia. Cinta manusiawi semuanya adalah cinta Ilahi.5 cinta bukanlah sesuatu yang statis dan diam, tetapi ia adalah sesuatu yang bergerak, yang bersumber dari keresahan yang terus-menerus.6 Rasa kasmaran telah direpresentasikan oleh para sufi dengan syair, puisi, dan aforisme, meski mereka menyadari bahwa rasa itu tidak selalu bisa diwakili dengan kata-kata sederhana, dan lugas. Kesatuan pencinta dengan sang kekasih diungkapkan oleh Hakim al-Sana'i, "Kasmaran menimpa pencinta sang kekasih demi memprioritaskan perengkuhan asyik-masyuknya rasa kasmaran. Kasmaran sejatinya bagaikan satu warna: lebur dalam ketentraman. Ia mengembang dan menjalar sehingga tak ada pihak yang mendahului dan didahului, serta tak ada bedanya antara pencinta dengan kekasih. Esensinya tak dibatasi ufuk dan tempat. Ia lebih tinggi dariufuk. Segala yang terjadi adalah manifestasi ufuknya." Jalaluddin Rumi mengilustrasikan rasa cinta dan rindu manusia yang membuncah terhadap Tuhannya:

Musa as melihat seorang penggembala di satu jalan. Si penggembala berujar,

 

"Ya Tuhan, ya Allah, di manakah engkau sehingga aku harus mengikuti-Mu? Aku pintal dan aku jahit sandal-Mu. Aku sisir rambut kepala-Mu. Aku basuh baju-Mu. Aku bunuh kutu-kutu di rambut-Mu. Aku datang kepada-Mu dengan segelas susu, wahai Sang Pemalu. Kusambut tangan-Mu yang mungil. Kuremas telapak kaki-Mu yang mungil. Dan ketika telah datang waktu tidur-Mu, kubersihkan dipan-Mu yang indah."

Musa as menegur,"Wahai orang yang dihatinya penuh kambing. Wahai orang yang tuturnya memikikkan ekstase dan kasmaran. Engkau berbicara dengan siapa, wahai sang penggembala?"

Penggembala menjawab, "Dengan sosok yang telah menciptakan kita, bumi, dan cakrawala..."7

Cinta asasi adalah cinta wujudi (cinta eksistensial). Lantaran totalitas wujud menjelma menjadi manusia, alam semesta dan seisinya dikreasikan sedemikian rupa oleh Tuhan. Sehingga cakupan cinta adalah sebesar, seluas, dan sepanjang kreasi Tuhan.

Dari cinta kita terlahir,

Dan dari cinta kita berasal

Karena itu, kita bertujuan mendatanginya,

Dan karenanyalah kita menghadap (Tuhan)8

 

Kita tahu, cinta wujudi adalah satu dari sekian banyak dimensi pandangan teofanik para sufi. Cinta dan kasmaran yang dikorelasikan denga wujud semakin mengukuhkan eksistensi sebagai faktor yang urgen untuk diperhatikan, seperti dalam tradisi filsafat eksistenlisme.

Para sufi zaman dulu telah menggagas pandangan tentang wujud---dengan begitu kaya kompeks---yang berbeda jauh dari pandangan generasi setelahnya. Para filsuf Barat modern dan kontemporer, misalnya, memberitahu kita bahwa wujud, dalam eksistensi asasinya, berpijak di atas cinta. Kita hanya tersenyum menyimak statemen mereka tanpa berniat melecehkan. Sebab, upaya mengkorelasikan aliran rasionalis, eksperimentasi dan cinta sebenarnya telah lama ada dan kita ketahui dalam dasar-dasar pemikiran dan pandangan para sufi Muslim klasik. Korelasi eksperimentasi dan cinta dapat kita temukan di dalam al-Hikmah al-'Atiqah yang digagas oleh Suhrawardi. Demikian juga dalam karya-karya Mulla Shadra, yang mempresentasikan setian inci dan pori-pori wujud. Tentu pandanfan Shanda berbeda dengan pendapat para filsuf kontemporer yang menegaskan urgensi memprioritaskan akal. Mereka berasumsi, akal harus diletakkan sebagai lawan dari cinta. Cinta adalah suatu bagian dari emosi atau perasaan, bukan bagian dari akal.

Sebetulnya, akal yang mengingkari bahwa cinta telah mengalir pada setiap maujud ialah al-'aqlal-juz'i (akal partikular). Sedangkan akal yang  seirama dengan cinta ialah al-'aql al-kulli (akal universal). Demikianlah yang dikatakan oleh Rumi.

Serasi dengan itu, Shadra membahas secara detail relasi cinta dan wujud. Di sini ada perbedaan mencolok antara Shadra dan Plato dalam menyikapi cinta. Plato mendudukkan cinta sebagai objek dalam aliran kognitif murni. Sedangkan Shadra mencucukkan cinta sebagai subjek dengan eksistensi dirinya sendiri. Karenanya, cinta bisa jadi adalah sumber kognitif.

Setidaknya ada tiga dalil burhani dalam mengukuhkan tesis Shadra tersebut. Dalil pertama, wujud adalah kebaikan murni, berpengaruh, dan lezat. Dan lawannya adalah ketiadaan (al-'adam) dan buruk. Dalil ini berporos pada tiga premis:

Wujud adalah kebaikan murni. Para filsuf menggunakan terma "baik" dengan makna kesempurnaan yang nir-batas (alla mutanahi), atau diistilahkan Shadra dengan 'nirbatas dari segi kesiapan, masa dan kedahsyatan'. Maksudnya, kebaikan bermetamorfosis menjadi kesempurnaan tanpa batas; tidak ada kesempurnaan mana pun yang bisa melampauinya. Cinta sendiri pada hakikatnya adalah salah satu dari kesempurnaan. Jika kebaikan menghilang dari kesempurnaan itu, maka ia tidak bisa disebut dengan kesempurnaan.

Wujud adalah entitas yang berpengaruh. Wujud adalah kausa ('illah) yang berpengaruh dalam tingkatan-tingkatan. Kesempurnaan yang nir-batas mengalir di setiap wujud sebagai sesuatu yang memiliki pengaruh.

Wujud adalah lezat (ladzidz). Term "ladzidz" merupakan sinonim dari kata dalam bahasa Yunani, yaitu "kalus" yang bermakna indah (al-jamil). Setiap kesempurnaan adalah keindahan, dan setiap keindahan adalah kesempurnaan. Kesempurnaan direpresentasikan sebagai dimensi batin bagi wujud, sedangkan keindahan adalah dimensi lahirnya. Dan al-Quran menjelaskan tentang kesempurnaan dan keindahan dengan kata "al-hasan" yang mencakup dimensi batin yaitu kesempurnaan dan dimensi lahir yaitu keindahan. Jadi, wujud adalah baik, berpengaruh dan indah; ia adalah sesuatu yang dicari dan dicintai yang berkelindan dengan cinta.

Dalil kedua, berpijak pada al-ashalah al-wujud. Hakikat wujud pada eksistensi yang kita saksikan di alam eksternal memiliki gradasi dan tingkatan---dari yang 'lemah', yang 'kuat' sampai pada yang 'mahabesar' yang mencakup seluruh kesempurnaan. Shadra mengaitkan gradasi wujud dan gradasi cinta Ilahi. Gradasi cinta Ilahi adalah pendakian al-'asyiq (orang yang kasmaran) menuju entitas al-Ma'syuq (sang kekasih), yaitu Allah.

Keberadaan wujud bergradasi dengan potensi lebih sempurna dan lebih timpang, atau lebih kuat atau lebih lemah. Puncak kesempurnaan adalah wajib al-haqq yang kesempurnaannya tanpa batas. Setiap maujud yang ma'lil---atau yang bukan sebagai akibat---mendapatkan alokasi bagian kelemahannya selaras dengan batasan dalam ma'lulliyyah. Wujud yang sejati adalah entitas yang tak mengenal kurang, batas, dan pembaruan. Wujud sejenis itu merupakan wujud yang wajib ada (wajib al-wujud). Artinya, setiap entitas yang bukan ma'lil, seperti al-wajib, tidak mempunyai kekurangan sama sekali, karena ia murni hakikat wujud dan kebaikan. Ia adalah entiitas yang paling besar kebanggaan dan kecintaannya terhadap dirinya sendiri.9  

Cinta-Nya merupakan cinta terhadap cinta terhadap esensi-Nya sendiri (dzati), bukan aksidental ('ardhi). Cinta-Nya itu mutlak. Dialah Pencinta dan sekaligus Kekasih bagi diri-Nya. Kasmaran yang mutlak. Gradasi cinta dan kasmaran selaras dengan gradasi wujud, karena cinta dan wujud sesungguhnya adalah entitas yang satu. Sehingga mengandaikan cinta adalah kehidupan dan ilmu, sebagaimana kita memandang di dalam wujud terdapat sifat-sifat ilmu dan kehidupan.

Cinta semua wujud adalah cinta terhadap kesempurnaan. Menyadari bahwa dirinya terbatas dan serba kurang, maka ada potensi bersemayam di dalam diri manusia yang mendorong untuk terus mendaki kesempurnaan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun