Namun kenyataannya, Dia telah lebih dulu mencintaiku
Sebelum aku menyampaikan cintaku kepada-Nya.
Â
Aku salah sangka, aku kira dengan mencari-Nya maka aku akan meraih-Nya.
Namun kenyatannya, Dia telah terlebih dulu meraihku sebelum aku meraih-Nya.2
Â
Mengingat, mengenal, mencintai, dan mencari, bagi Tuhan, merupakan upaya yang tanpa target tertentu. Apayang dilakukan Tuhan terhadap makhluk-Nya tanpa syarat dan pamrih. Sedangkan mengingat, mengenal, mencintai, dan emncari yang dilakukan makhluk atau manusia seperti yang diujarkan Abu Yazid al-Busthami---penuh syarat dan pamrih; mengingat agar kekasih balik mengingat, mengenal agar kekasih balik mengenal, mencintai agar kekasih balik mengingat, mengenal, dan mencari agar kekasih juga menyambutnya. Namun, manusia terhenyak setelah sampai pada puncak pendakian spiritualnya, ternyata jauh sebelum itu Tuhan sudah lebih dulu mengingat, mengenal, mencintai, dan meraihnya. Cinta yang kekanak-kanakan cenderung mengikuti prinsip, "Saya mencintai karena saya dicintai. Dan saya mencintai Tuhan karena saya membutuhkan-Nya." Sedangkan cinta yang dewasa berpijak pada prinsip, "Saya ingin dicintai Tuhan karena saya mencintai-Nya. Dan saya membutuhkan Tuhan karena saya mencintai-Nya." Teteapi, sedewasa apa pun cinta manusia tetaplah tidak sebanding dengan cinta Tuhan.
Kita melihat perbedaan antara para sufi dan non-sufi---seperti ahli fikih dan teolog---mengenai gambaran cinta Tuhan. Dalam pandangan ahli fikih dan teolog, cinta Tuhan adalah cinta bersyarat dengan prinsip "Tuhan mencintai manusia, karena ia memenuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya". Prinsip inilah yang acapkali diaplikasika oleh manusia. Sedangkan cinta Tuhan dalam perspektif sufi adalah cinta tanpa syarat yang berprinsip, "Tuhan mencintai manusia dan seluruh makhluk-Nya, karena alam semesta dan seisinya karena cinta. Bagaimanapun---dan berbentuk apa pun---makhluk adalah kreasi dan inovasi-Nya. Dan puncak kemahaagungan ciptaan-Nya ialah manusia".
Cinta tanpa batas seperti lautan tak bertepi. Air cinta diteguk tidak membuat sang pencinta merasa dahaganya hilang. Semakin sering meneguk, semakin hauslah ia. Sebab, cinta memang tidak statis. Ia adalah unsur yang selamanya menggerakkan. Ialah hasrat atau keinginan untuk bersua dengan sang kekasih yang digerakkan oleh perasaan abadi dan kontinu. Keabadian dan kontinuitas adalah dua hal yang terus berjalan tanpa batas waktu. Cinta erat kaitannya dengan eksistensi, karena cinta ada di awal eksistensi mulaimewujud. Dengan kata lain, eksistensi ada karena cinta.
Sebagian orang menganggap bahwa alam semesta seakan melepaskan manusia dari Tuhan. Maksudnya, alam semesta telah mengalienasi manusia sehingga membuatnya terasing dari Tuhan. Padahal, alam semesta sejatinya merupakan medan laga manusia untuk menggapai Tuhan. Dengan kata lain, manusia tidak akan bisa menyibak hakikat-hakikat Tuhan kecuali bergelut dengan alam semesta dan wujud-wujud yang lain. Martin Buber berkata, "Siapa pun yang menempuh secara benar dalam berinteraksi dengan alam semesta, maka pada saat yang sama ia tekah berinteraksi engan Tuhan." Artinya bahwa misteri Tuhan tidak bisa disibakoleh seseorang dengan hanya sebatas memikirkan dan menjalani ritual, melainkan juga perlu diimbangi dengan penjelajahan terhadap alam semesta---sebagai sebuah upaya menyibak makna-makna Ilahi. Karena itu, mencintai alam semesta berarti mencintai Tuhan. Begitu pula sebaliknya, mencintai Tuhan meniscayakan kecintaan terhadap alam semesta dan seisinya. Nah, cinta manusia terhadap Tuhan tidak hanya dapat diwujudkan dengan mengadakan dialog rahasia dan bermunajat secara dalam dengan zat Ilahi, tetapi juga perlu diejawentahkan dengan aktivitas konkrit di area atau kawasan ilahi, yaitu dunia Tuhan atau alam semesta. Inilah sebenarnya bentuk relasi antara manusia, Tuhan dan alam semesta yang diikat oleh sesuatu bernama cinta.3
Apa yang dikatakan Buber---cinta  terhadap alam semesta berarti juga cinta terhadap Tuhan---selaras dengan pandangan sufistik Ibn ;Arabi yang menyatakan bahwa Tuhan mencintai keindahan (al-jamal). Allah menyebut diri-Nya "Sang Mahaindah (al-Jamil)", sebagaimana ditegaskan dalam sabda Nabi Muhammad Saw, "Sesungguhnya Allah adalah indah dan mencintai keindahan." Dalam hadis ini, secara tegas Tuhan dinyatakan Indah, dan keindahan-Nya itulah yang membuat manusia mencintai-Nya. Menurut Ibn 'Arabi, manusia mencintai Tuhan tidak hanya karena keindahan zat-Nya, tetapi juga mencintai keindahan manifestasi-menifestasi-Nya yang terbentang di alam semesta. Karena manifestasi-menifestasi itu merupakan entitasentitas yang diciptakan keindahan dari wujud al-Haqq sendiri. Hal ini bermakna, orang yang mencintai keindahan manifestasi-menifestasi itu berarti ia mencintai Tuhan. Keindahan alam semesta dan semua makhluk adalah keindahan Tuhan. Alam semesta merupakan penampakan dari keindahan-Nya. Dengan begitu, orang yang mencintai alam semesta berarti ia telah mencintai Tuhan.4