Â
Kita tahu, cinta wujudi adalah satu dari sekian banyak dimensi pandangan teofanik para sufi. Cinta dan kasmaran yang dikorelasikan denga wujud semakin mengukuhkan eksistensi sebagai faktor yang urgen untuk diperhatikan, seperti dalam tradisi filsafat eksistenlisme.
Para sufi zaman dulu telah menggagas pandangan tentang wujud---dengan begitu kaya kompeks---yang berbeda jauh dari pandangan generasi setelahnya. Para filsuf Barat modern dan kontemporer, misalnya, memberitahu kita bahwa wujud, dalam eksistensi asasinya, berpijak di atas cinta. Kita hanya tersenyum menyimak statemen mereka tanpa berniat melecehkan. Sebab, upaya mengkorelasikan aliran rasionalis, eksperimentasi dan cinta sebenarnya telah lama ada dan kita ketahui dalam dasar-dasar pemikiran dan pandangan para sufi Muslim klasik. Korelasi eksperimentasi dan cinta dapat kita temukan di dalam al-Hikmah al-'Atiqah yang digagas oleh Suhrawardi. Demikian juga dalam karya-karya Mulla Shadra, yang mempresentasikan setian inci dan pori-pori wujud. Tentu pandanfan Shanda berbeda dengan pendapat para filsuf kontemporer yang menegaskan urgensi memprioritaskan akal. Mereka berasumsi, akal harus diletakkan sebagai lawan dari cinta. Cinta adalah suatu bagian dari emosi atau perasaan, bukan bagian dari akal.
Sebetulnya, akal yang mengingkari bahwa cinta telah mengalir pada setiap maujud ialah al-'aqlal-juz'i (akal partikular). Sedangkan akal yang  seirama dengan cinta ialah al-'aql al-kulli (akal universal). Demikianlah yang dikatakan oleh Rumi.
Serasi dengan itu, Shadra membahas secara detail relasi cinta dan wujud. Di sini ada perbedaan mencolok antara Shadra dan Plato dalam menyikapi cinta. Plato mendudukkan cinta sebagai objek dalam aliran kognitif murni. Sedangkan Shadra mencucukkan cinta sebagai subjek dengan eksistensi dirinya sendiri. Karenanya, cinta bisa jadi adalah sumber kognitif.
Setidaknya ada tiga dalil burhani dalam mengukuhkan tesis Shadra tersebut. Dalil pertama, wujud adalah kebaikan murni, berpengaruh, dan lezat. Dan lawannya adalah ketiadaan (al-'adam) dan buruk. Dalil ini berporos pada tiga premis:
Wujud adalah kebaikan murni. Para filsuf menggunakan terma "baik" dengan makna kesempurnaan yang nir-batas (alla mutanahi), atau diistilahkan Shadra dengan 'nirbatas dari segi kesiapan, masa dan kedahsyatan'. Maksudnya, kebaikan bermetamorfosis menjadi kesempurnaan tanpa batas; tidak ada kesempurnaan mana pun yang bisa melampauinya. Cinta sendiri pada hakikatnya adalah salah satu dari kesempurnaan. Jika kebaikan menghilang dari kesempurnaan itu, maka ia tidak bisa disebut dengan kesempurnaan.
Wujud adalah entitas yang berpengaruh. Wujud adalah kausa ('illah) yang berpengaruh dalam tingkatan-tingkatan. Kesempurnaan yang nir-batas mengalir di setiap wujud sebagai sesuatu yang memiliki pengaruh.
Wujud adalah lezat (ladzidz). Term "ladzidz" merupakan sinonim dari kata dalam bahasa Yunani, yaitu "kalus" yang bermakna indah (al-jamil). Setiap kesempurnaan adalah keindahan, dan setiap keindahan adalah kesempurnaan. Kesempurnaan direpresentasikan sebagai dimensi batin bagi wujud, sedangkan keindahan adalah dimensi lahirnya. Dan al-Quran menjelaskan tentang kesempurnaan dan keindahan dengan kata "al-hasan" yang mencakup dimensi batin yaitu kesempurnaan dan dimensi lahir yaitu keindahan. Jadi, wujud adalah baik, berpengaruh dan indah; ia adalah sesuatu yang dicari dan dicintai yang berkelindan dengan cinta.
Dalil kedua, berpijak pada al-ashalah al-wujud. Hakikat wujud pada eksistensi yang kita saksikan di alam eksternal memiliki gradasi dan tingkatan---dari yang 'lemah', yang 'kuat' sampai pada yang 'mahabesar' yang mencakup seluruh kesempurnaan. Shadra mengaitkan gradasi wujud dan gradasi cinta Ilahi. Gradasi cinta Ilahi adalah pendakian al-'asyiq (orang yang kasmaran) menuju entitas al-Ma'syuq (sang kekasih), yaitu Allah.
Keberadaan wujud bergradasi dengan potensi lebih sempurna dan lebih timpang, atau lebih kuat atau lebih lemah. Puncak kesempurnaan adalah wajib al-haqq yang kesempurnaannya tanpa batas. Setiap maujud yang ma'lil---atau yang bukan sebagai akibat---mendapatkan alokasi bagian kelemahannya selaras dengan batasan dalam ma'lulliyyah. Wujud yang sejati adalah entitas yang tak mengenal kurang, batas, dan pembaruan. Wujud sejenis itu merupakan wujud yang wajib ada (wajib al-wujud). Artinya, setiap entitas yang bukan ma'lil, seperti al-wajib, tidak mempunyai kekurangan sama sekali, karena ia murni hakikat wujud dan kebaikan. Ia adalah entiitas yang paling besar kebanggaan dan kecintaannya terhadap dirinya sendiri.9 Â