Obrolan Bapak dan Anak (Mendatangi Tepi Malam)
Mbah Har
Hari-hari berikutnya kembali itu bisa terjadi. Penuh dengarkan, jalan mungkin berliku. Semua itu jelas terlihat dari pintu rumah yang tak pernah berhenti terbuka, kecuali bagi mereka yang berubah sedikit dengan menutup pintunya merasa takkan pernah ditemukan.
Begitulah...pintu demi pintu akan selalu dibukakan untuk waktu-waktu tertentu. Dari yang tertentu itulah Bapak Nur terus tak berubah sedikitpun di dalam cintanya pada anak sulungnya, tidak lain dan tidak bukan Nur.
Pada saat tertentu, saat ini yang ditentukan menurut Bapak Nur, saat yang tepat dan saat yang terbaik. Malam datang dengan cerah, lebih cerah dari hari-hari kemarin yang nyaris teriris bintang-bintangnya. Tersedia pula malam ini bintang-bintang menjadi pilihan utama mata memandang melambungkan angan yang ada.
Tak ada yang dipertentangkan, cari udara segar di malam tidaklah harus dengan alasan lain-lain takut sama gelap. Bapak Nur mengajak Nur selaras ditunjuk beranjak dari rumah. Saat di sini, di jalanan seperti bintang-bintang yang di langit sana dengan senyum-senyum yang lepaskan dari derita tak berakhir, saat kau punya derita, saat kau di sini.
Nikmati sendiri tak terhitung waktu. Waktu berjalan, kakipun melangkah. Seperti itulah berjatuhan dalam deburan ombak bulan yang lepaskan sinarnya. Saat itu pula bulan adalah utuh dalam setengahnya.
 Untuk sampai di suatu tempat, Nur diajak. Tak ke mana-mana, melainkan ke sana untuk dapat berdialog dengan bebasnya. Bicara apa saja, tentang kita baik yang ada maupun belum ada, termasuk yang sedang dibebaskan ataupun dalam tahap pembebasan.
Kita, Bapak Nur dan Nur berjalan utuh. Sejajar dalam keteraturan, ayunkan kaki kanan-kiri. Kiri-kanan seiring sejalan, tangan kanan melangkah ke depan, tangan kiri melangkah ke belakang. Begitupula sebaliknya, dengan kaki sepasang yang saling mengisyaratkan gerak langkahnya.
Berakhir pula dengan tele wicara jauh antara kaki dan tangan. Mereka ketemu jalan bertentangan, tpai itulah tunggang keserasian. Tapi begitu mereka akan saling berebut, mereka akan saling hantam bilamana sesungguhnya itu kebohongan belaka.
Begitulah pertama Bapak Nur usapkan pada kepala putra sulungnya lembut di kepala agar segera meresap dan berkesan. Bilamana kelak dewasa nanti, sudah bisa lebih tegak berdiri dengan bintang-bintang tetap di langit.
Mereka, sijoli Bapak dan Anak begitulah terus lanjut dan melanjutkan perjalanan. Sekeliling agaknya berkedip, bicara saling bicara saling membisikkan begitu damainya sijoli ini. Bawalah mereka turut serta, begitu pinta mereka yang menyaksikan sebagaimana penonton dari atas pepohon di tepian jalan.
Dan cahaya rembulan tatap jendela dunia dengan terang sapa. Begitulah makin jelas keindahannya, sedamainya surga dekap rangkaikan laju begitu mereka tangkap kerumunan cahaya yang datang.
Mereka sampai disaat mereka mengenali tempat di mana mereka bisa bersiul. Mereka telah mengujinya begitu mereka telah menitipkan kata hatinya. Mereka telah bicara dan berbincang setelah mereka sandarkan kaki dengan santainya.
Mereka pula mulai dengarkan begitu mereka diterima. Mereka pula mereka mulai berbisik mesra begitu mereka menyuguhkan senyum. Mereka telah bincang begitu mereka dipersilahkan untuk saling bicara. Mereka kini telah benar-benar memilikinya, mereka pula memulainya tanpa dipertanyakan lagi. Mereka kini telah benar-benar ada di sini mewakili hayat rindu mereka.
Di sini mewakili dari mereka yang saling ingin bertemu. Bukannya mereka ingin bikin repot, tapi mereka telah yakin dengan begini mereka lebih dari berbincang serta bicara dengan leluasa.
Bapak Nur menunjuk satu bintang di atas sana. Satu bintang diantaranya berkibar bintang yang wajahnya saling mirip. Satu bintang yang paling jauh letaknya untuk lebih mudah dikenali dan dibedakan.
Beberapa menit lamanya Nur diminta amati. Diminta mengapungkan sepasang matanya tanpa putus. Terus memandang dengan tetap tak lupa untuk berkedip dan mengecap cerahnya ditujukan pada kita. Cobalah hayati, jangan tinggalkan penghayatan.
Sama kemudian, pandangi rumput yang lembut nampak tetap hijau, begitupula pastikan daun-daun juga hijau. Juga ranting-ranting yang menjaga senyumnya dekatkan pada kita.
Dimana perasaanmu? Andaikata bisa merasakannya, artinya kerelaan kecermatan masih bisa dilanjutkan. Ada pertemuan yang memuat sibiduk penyentera-penyentera dalam hidup ini.
Temukan dan lalu tangkap. Lalu lepaskan lagi ke langit, coba bayangkan awan-awan bilamana malam ini penuh awan, coba bayangkan pula bila malam ini tanpa bintang. Coba bayangkan juga bila malam ini tanpa tersimpan bulan, lantas sejuta benak dalam beraturan mengingat apa yang telah diberi dan berikan selama kita masih duduk di sini lambat mengiring.
Cukup sudah menahannya, coba untuk melawan getir yang terkekang. Coba bayangkan dengan singkirkan aroma nafas tubuh yang mengiring laju darah. Sentuh dan kecup dengan hangat peluk,lambailkan dengan selembut kecupan pertama yang apalah artinya memapah dalam ketiadaan.
Coba aja kita tak bersandar. Coba bayangkan mengganti dengan diri kita, apa yang dapatkan dengan meresapi dengan singkirkan mereka? Setelah sekarang sentuh kembali, kecup kembali dan kembalikan tanpa ada satupun yang kita ambil.
Memang saaat itu juga Nur belum menemukan apa yang dimaksudkan Bapaknya. Seperti mereka yang belum bisa mengerti, tapi punya pengertian suara tak lagi bertindak, tanyalah yang bertindak. Dicatat dalam lembar-lembar kertas tulisan telapak tangan untuk kemudian di kemudian hari dibuka dan dibaca untuk pahami dengan sejlas-jelasnya.
Jelas lagi, Nur dan Bapak Nur beranjak dari tempatnya sekarang. Mereka bertindak bukannya bertingkah laku. Mereka bergerak dari satu tempat ini ke tempat yang lain. Hanya mereka yang tengah berdua, kecuali ditemani tebaran malam yang tak kendat membisiku. Lain daripada itu adalah penggalan lain yang tak ingin diangkat ke permukaan. Mungkin lain kali, lain waktu dan lain kesempatan bilamana diberi waktu untuk kelain waktu itu.
Mereka, Bapak dan Anak tak lagi berjalan menyisir pematang sawah. Demikian pula melintasi bukit terjal ketinggian yang tak purna hanya dengan sekilas pandang. Begitupula rampung sekejab, sekejab berjalan menysir sepanjang pantai dengan pasir putih yang membutir sepanjang mata menelaah perpanjangannya.
Kini...mereka kembali di sini berdua. Sabar di sini, sabar pula di situ. Di situ mereka hendak menguji kesabaran untuk lebih tahu apa yang diundang dalam salam rindunya ini malam. Ini malam yang disuka karena makin larut yang menuntut selekasnya dibalikin, ndak bisa ditunda-tunda lagi.
Sebelum melangkah, cobalah bercermin. Bilamana merasa takut bercermin, hentikan sampai di sini. Ingat, bercemin tanpa cahaya lampu, melainkan bercermin dengan tambatan hati. Matikan cahaya lampu sekelilingmu, hidupkan dalam kegelapan untuk temukan cahaya terang hempaskan segenap dan secerca halang rintang. Bila semua telah berlalu, maka berlaku segala beban di kandung badan.
Jangan bilang tertawan hatimu, bilamana demikian tegas-tegas masih belum saat. Tertanam dalam-dalam sudah, melayang bukannya untuk dipetik, melainkan ditarikan angin yang tertawa heboh meledek tak kunjung putus-putusnya mempermainkan.
Baik...Bapak Nur dan Nur, khususnya Nur berdebar-debar degup dada kiri. Senyum menari seutuhnya dengan kecemasan. Apa mau dimana di Bapak mengajak halang rintang di tengahnya rel kereta api. Apa mau dimau, mau bunuh dirikah?
Salah besar itu jawab Bapak Nur. Lihat saja dimana sesungguhnya masih haus kebimbangan. Apakah telah seimbang atau lepas dari itu belum bisa sepenuhnya berbincang dan berbicara.
Terus saja melangkah, langkahi bengkalai-bengkalai batu berserakan, juga bongkahan kayu. Hati-hati jaga pandangna jangan sampai terseret atau tersandung yang akhirnya terjatuh, yang pada akhirnya lagi luka serta terluka bersanding darah dan nanah.
Sekali lagi, jaga pandang. Hati-hati pula bila tiba-tiba datang dari arah depan, bahkan belakang kereta malam yang melaju. Awas jangan lupa itu, sedikit lupa artinya jauh untuk berkembang.
Terus melangkah, ikuti trend yang ada. Berjalanlah menyesuaikan garis lintasan sepasang rel kereta api ini yang memanjang. Tak usah bertanya dari arah mana dan ke mana kiblatnya kita menatap. Bakal cikal bakalnya hanya membeka begitu saja dan meninggalkan wadah kosong.
Terus saja melangkah. Melangkah tanpa henti, jika berhenti sampai di sini, lantas disinikah sampai di ujung? Tidak demikian pada akhirnya ndak bakalan menemukan ujung. Terlalu komplek dijawab tanpa mengesampingkan sebagai tantangan. Kesankan sebagai identitas sebagai warna tersendiri yang berkarakter.
"Awas Pak...ada sepur!"
Sepur...memang dari jauh sana jes...jes...jes...pur. Lampu sorot silang kian silau saja. mulanya kecil kian membesar kian gede. Mulanya tak kedengeran raungannya, kini kentara. Mulanya tak dapat letupan gagah goncangkan tanah, lambat tapi pasti bergetar. Mulai juga tak renungkan hitamnya asap pembakaran, sekarang kita lihat bukan?
"Kita nanti bisa mati, Pak!"
Malah tanggapi dengan senyum, jawab Sang Bapak dengan mudahnya. Mari sebelum menyingkir, kita berandai-andai dulu. Kita misalkan dan katakan dengan lain hal sebagaimana banyak hal bisa terjadi. Sesuatu yang tidak mungkin ternyata bisa menjadi mungkin, itu adalah penggalan cerita sering sudah kita dengar.
"Kita menyingkir Pak!"
Tenangkan dulu dirimu, pinta Bapak Nur. Selama tetap tenang, segala hal akan dapat dikendalikan. Lupakan dulu percikan lampu, di sana itu masih jauh di seberang lintasan. Hanya karena sudut pandangnya pancarkan sesuatu yang lebih hanya karena rasa yang tak ada pada kita, kita tidak bisa mengambil tempat di atas tempat yang lain di mana kita berada. Itulah sebagian kelemahan kita yang masih gagal untuk menggapai dengan terang.
Tetap jaga langkah, persiapkan saja segala sesuatunya selama itu masih jauh dan mari kita bercerita. Dengan segala seluk dan beluknya bakar pandangan bagaimana dan misalkan serta seandainya.
Bilamana dan bilamana ada pertanyaan yang agaknya kita lantunkan tiada salahnya. Bilamana ada seribu orang yang hendak menghentikan laju kereta malam itu dengan kekuatannya sendiri, apa yang sekarang ada?
Nah...saat menyingkir. Saatnya undur diri berhubung dengan kereta malam kian mendekat. Saatnya berpikir jernih, bukannya berpikir bicik.
Saatnya ini juga turun. Bisa nggak bisa harus sekarang, artinya bila terlalu lama ditunda-tunda kita hanya akan mengundang penyakit, antara yaa dan tidak atau sebaliknya.
Waktunya jelang menunggu di luar lintasan kereta api. Kita lihat dan kita saksikan berlalunya. Coba bayangkan dengan sepasang tangan ini memotong laju kereta, coba bayangkan pula sekarang kita di tepian yang telah rata!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H