Mohon tunggu...
WAHYU AW
WAHYU AW Mohon Tunggu... Sales - KARYAWAN SWASTA

TRAVELING DAN MENULIS

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Obrolan Bapak dan Anak (Mendatangi Tepi Malam)

23 Januari 2024   18:03 Diperbarui: 23 Januari 2024   18:08 1380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Coba aja kita tak bersandar. Coba bayangkan mengganti dengan diri kita, apa yang dapatkan dengan meresapi dengan singkirkan mereka? Setelah sekarang sentuh kembali, kecup kembali dan kembalikan tanpa ada satupun yang kita ambil.

Memang saaat itu juga Nur belum menemukan apa yang dimaksudkan Bapaknya. Seperti mereka yang belum bisa mengerti, tapi punya pengertian suara tak lagi bertindak, tanyalah yang bertindak. Dicatat dalam lembar-lembar kertas tulisan telapak tangan untuk kemudian di kemudian hari dibuka dan dibaca untuk pahami dengan sejlas-jelasnya.

Jelas lagi, Nur dan Bapak Nur beranjak dari tempatnya sekarang. Mereka bertindak bukannya bertingkah laku. Mereka bergerak dari satu tempat ini ke tempat yang lain. Hanya mereka yang tengah berdua, kecuali ditemani tebaran malam yang tak kendat membisiku. Lain daripada itu adalah penggalan lain yang tak ingin diangkat ke permukaan. Mungkin lain kali, lain waktu dan lain kesempatan bilamana diberi waktu untuk kelain waktu itu.

Mereka, Bapak dan Anak tak lagi berjalan menyisir pematang sawah. Demikian pula melintasi bukit terjal ketinggian yang tak purna hanya dengan sekilas pandang. Begitupula rampung sekejab, sekejab berjalan menysir sepanjang pantai dengan pasir putih yang membutir sepanjang mata menelaah perpanjangannya.

Kini...mereka kembali di sini berdua. Sabar di sini, sabar pula di situ. Di situ mereka hendak menguji kesabaran untuk lebih tahu apa yang diundang dalam salam rindunya ini malam. Ini malam yang disuka karena makin larut yang menuntut selekasnya dibalikin, ndak bisa ditunda-tunda lagi.

Sebelum melangkah, cobalah bercermin. Bilamana merasa takut bercermin, hentikan sampai di sini. Ingat, bercemin tanpa cahaya lampu, melainkan bercermin dengan tambatan hati. Matikan cahaya lampu sekelilingmu, hidupkan dalam kegelapan untuk temukan cahaya terang hempaskan segenap dan secerca halang rintang. Bila semua telah berlalu, maka berlaku segala beban di kandung badan.

Jangan bilang tertawan hatimu, bilamana demikian tegas-tegas masih belum saat. Tertanam dalam-dalam sudah, melayang bukannya untuk dipetik, melainkan ditarikan angin yang tertawa heboh meledek tak kunjung putus-putusnya mempermainkan.

Baik...Bapak Nur dan Nur, khususnya Nur berdebar-debar degup dada kiri. Senyum menari seutuhnya dengan kecemasan. Apa mau dimana di Bapak mengajak halang rintang di tengahnya rel kereta api. Apa mau dimau, mau bunuh dirikah?

Salah besar itu jawab Bapak Nur. Lihat saja dimana sesungguhnya masih haus kebimbangan. Apakah telah seimbang atau lepas dari itu belum bisa sepenuhnya berbincang dan berbicara.

Terus saja melangkah, langkahi bengkalai-bengkalai batu berserakan, juga bongkahan kayu. Hati-hati jaga pandangna jangan sampai terseret atau tersandung yang akhirnya terjatuh, yang pada akhirnya lagi luka serta terluka bersanding darah dan nanah.

Sekali lagi, jaga pandang. Hati-hati pula bila tiba-tiba datang dari arah depan, bahkan belakang kereta malam yang melaju. Awas jangan lupa itu, sedikit lupa artinya jauh untuk berkembang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun