'Berbuah Pahit'
Pendidikan dalam ketakutan selalu menimbulkan dampak buruk. Dampaknya memang tidak selalu kasat mata seperti kita memasukkan singkong ke dalam perapian: segera menjadi gosong. Sebaliknya, dampaknya begitu tersamar sehingga sulit diidentifikasikan.
Sebab, defakto sistem pendidikan (dalam ketakutan) melahirkan lulusan berijazah dengan daftar nilai yang bisa saja sangat hebat. Apakah, nilai yang hebat mencerminkan kepribadian yang unggul? Belum tentu! Korelasi antara nilai akademis dan kepribadian baru akan dibuktikan ketika lulusan tersebut menjalani profesinya.
Alexander Inglis (1918) menyatakan, model pendidikan dalam ketakuan membuat para peserta didik  tak terbiasa berpikir otonom dan kreatif serta sulit beradaptasi. Setelah menjadi lulusan dan menjalani profesi, mereka cenderung sulit beradaptasi dan berbagi. Mereka cenderung bersikap apatis, dingin, suka  menyendiri, pendiam,  emosional,  dan selalu bergantung pada orang lain.
Pendidikan dalam ketakutan menghasilkan insan yang kurang berintegritas. Dalam hidup beragama, Â mereka adalah orang yang cenderung membaca Kitab Suci dan memaknainya seturut keinginan hatinya sendiri. Akibatnya, mereka bertumbuh menjadi manusia yang hipokratis. Ibarat serigala berbulu domba, mereka berpenampilan 'saleh', Â namun hatinya penuh kedengkian.Â
Mereka juga bisa sangat manipulatif. Apa yang menjadi kemauan pribadi atau golongan, diklaim sebagai kehendak dari Yang Ilahi. Kenistaan dan kesalehan dicampuradukkan sehingga sulit dibedakan lagi.Â
Pendidikan dalam ketakutan menghasilkan pebisnis dan pelaku ekonomi serta pejabat publik yang cenderung tricky dan koruptif. Mereka merasa enteng saja untuk merekayasa angka/data keuangan, dan mengikari kesepakatan. Di mata mereka, kejujuran dan kepercayaan tak bermakna apa-apa.
Singkat kata, pendidikan dalam ketakutan membentuk generasi manusia yang paradoks. Mereka mengimani Tuhan, tapi mengabaikan perintah cinta kasihNya. Mereka menguasai paham tentang HAM dan martabat manusia, tapi gemar melakukan KDRT dan main hakim sendiri. Mereka mengaku cinta damai dan persatuan, tapi setiap hari menebar kebencian dan merongrong kerharmonisan. Mereka menganut  demokrasi, tapi suka dengan politik uang dan politik identitas. Mereka meneriakan keadilan sosial, tapi gemar menindas dan memeras orang lain. (Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H