Pandemi Covid-19 'merongrong' bumi pertiwi, ketika para pemangku kepentingan pendidikan tengah berusaha membumikan konsep 'merdeka belajar' yang dicanangkan Menteri Pendidikan Nasional, Nadiem Makarim, akhir 2019 lalu.
Tak tanggung-tanggung, pandemi itu membuat para pemangku kepentingan dunia pendidikan, ketakutan dan mendekam di rumah. Sebelum pandemi Covid-19, dunia pendidikan  memuliakan model interaksi dan komunikasi langsung, karena dianggap lebih personal dan manusiawi. Sekarang, kita justru menghindarinya sedapat mungkin. Kita memilih melakukan proses pembelajaran secara daring. Mengapa? Ya, karena kita takut terjangkiti Covid-19.
Anda mungkin berpikir bahwa judul di atas bertalian dengan pembelajaran/pendidikan secara daring karena takut  Covid-19. Maaf,  itu bukanlah yang saya maksudkan. Karena pembelajaran daring karena takut Covid-19 adalah pendidikan penuh ketakutan yang  temprorer.
Yang saya maksudkan di sini adalah ketakutan  konstan, yang menyertai proses  pendidikan, baik  secara tatap muka, maupun daring. Pendidikan dalam ketakutan lebih terkait dengan konsep 'merdeka belajar'.
Semenjak Nadiem melontarkan konsep tersebut, sebagian besar pendidik merasa legah. Karena merasa akan erhindar dari bebagai tekanan, mulai dari tekanan administrasi, penguasaan bahan ajar yang terlalu banyak, dan tekanan kebijakan lainnya. Dengan begitu, mereka lebih fokus mengembangkan potensi peserta didik.
Jadi, dengan mencanangkan konsep 'merdeka beljar', Nadiem sesungguhnya secara tersirat membenarkan bahwa sejauh ini Indnesia mempraktikkan pendidikan dalam tekanan. Dalam bahasa Paulo Freire (1968) Pedagogia do Oprimido (Portugis) atau Pedagogy of the Oppressed: Pendidikan Kaum Tertindas. Â Oleh karena penindasan atau tekanan dalam dunia pendidikan selalu menimbulkan ketakutan, maka saya menyebutnya sebagai pendidikan penuh ketakutan.
Ketakutan adalah hal yang alami terjadi pada setiap manusia. Dalam pandangan trandisional, ketakutan dimaknai respons biokimia universal serta respons emosional individu yang tinggi. Ketakutan mengingatkan kita akan adanya bahaya atau ancaman bahaya, apakah bahaya itu fisik atau psikologis. Ketakutan merupakan  suatu mekanisme pertahanan diri manusia.
Meski sepakat dengan pandangan tradisional, masyarakat  kontemporer lebih suka memahami  ketakutan  sebagai emosif negatif yang melumpuhkan manusia. Ketakutan menciptakan stres, kecemasan dan kegelisahan.
Mereka membedakan bahaya dan ketakutan. Jika bahaya itu sesuatu yang nyata, maka ketakutan adalah sesuatu yang imajinatif. Dan, ketika ketakutan terbentuk dalam diri seseorang, itu akan tetap menyertai dia sepanjang hidup. Singkat kata, ketakutan adalah harapan palsu yang muncul sebagai kenyataan (FEAR = False Expectations Appearing Real). (Bdk.Air Institute of Realization/Air, 2020: 31).
Mahatma Gandhi pernah berkata, "More people die of the fear of disease than of disease itself." Kata-kata Gandhi itu terbukti kebenarannya  selama pandemi Covid-19. (Air, 2020:32)
Ironi Pendidikan
Paradoks memang, di satu pendidikan telah  dimuliakan sedemikan rupa  sebagai sumber ilmu pengetahuan, agen  perubahan dan pembebasan, dan jalan menuju kehidupan yang berkualitas. Namun, faktanya, sebagaimana dikemukakan Paulo Freire, pendidikan itu alat penindasan di tangan penguasa/otoritas, pendidik, dan masyarakat.
Masyarakat mengharapkan agar pemerintah (otoritas pendidikan) menjadi pemandu arah pendidikan. Namun yang terjadi mereka  lebih sering menciptakan kebijakan yang cenderung menindas para pelaku pendidikan.Â
Para pendidik di sekolah/perguruan tinggi swata mengandalkan Badan Hukum Pendidikan (BHP) --Pemerintah, Pemda dan Masyarakat- Â supaya penyelenggaraan pendidikan berjalan efektif. Tapi, hampir selalu terjadi, banyak BHP Â memanipulasi dan memeras tenaga para pendidik di lingkungan.
Pada umumnya para peserta didik mengharapkan sekolah/kampus menjadi lingkungan yang nyaman dan menyenangkan. Mereka pun percaya bahwa  para pendidik tulus dan mampu mendampinginya agar bertumbuh menjadi pribadi yang utuh, cerdas intelektual, emosional dan spiritual.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Sekarang ini skolah/kampus dijejali dengan berbagai peraturan tatatertib dan dilengkapi dengan teknologi pengawaan keamanan sehingga suasana yang tercipta menjadi seperti penjara. Sementara itu, para pendidiknya justru lebih gemar menggurui dan cenderung bersikap arogan serta menyepelekan. (Bdk. Lyn A. Bryan & kenneth Tobin, 2019: 88-190)
Keluarga dan masyarakat pun tidak ketinggalan berkontribusi menguatkan pendidikan yang bernuansa penindasan. Bukan rahasia lagi, kebanyakan orangtua suka mendikte anak-anaknya untuk memilih sekolah atau  jurusan yang menurutnya terbaik. Bukan, sekolah dan jurusan yang terbaik menurut anak-anak.
Jones Irwin (2012:35) mengatakan dalam pendidikan yang menindas (the oprresed education), pihak penindas menyebabkan pihak yang tertindas mengalami apa yang disebut ketakutan akan kebebasan (fear of reedom), sebuah istilah yang dipinjan Paul Freire dari Erich Fromm. Bahkan, 'ketakutan akan kebebasan' itu diinternasilisasi sedemikian rupa sehingga pihak yang tertindas pun memiliki kerinduan agar suatu saat dia pun untuk memain peran sebagai penindas juga.
Sayangnya, pada umumnya manusia tidak menyadari 'ketakutan' seperti itu. Sebab,  kesadaran manusia, lebih banyak berada di wilayah laten dan tertidur, daripada  di wilayah terjaga.
Mengapa Mempertebal Ketakutan?
Merujuk ke buku 'Khoj (Search)' yang ditulis Karna Sakya, Desh Subba (2014:97) menulis bahwa semua orang dimuka bumi ini sibuk  saban hari. Seperti binatang, manusia sibuk makan, minum dan beristirahat setiap hari. Mereka juga sibuk bekerja dan mencari sesuatu. Setelah menemukan sesuatu, mereka  mencari sesuatu yang lain lagi. Begitu seterusnya, proses mencari terus mengalir dan baru berakhir ketika mereka menemui ajal.
Kesibukan mencari itu ternyata berkaitan dengan ketakutan. Dan, sumber terdalam dari ketakutan itu adalah kematian.
Ketika berbicara tentang ketakutan, 'Santo' Achyuta Nada mengatakan, 'Kematian adalah sumber ketakutan. Karena itu, manusia berjuang demi kebebasan dari ketakuan akan kematian itu. Menurut dia, alasan utama manusia beragama dan beriman akan Tuhan adalah untuk mengatasi ketakutan itu."
Dalam sebuah diskursus, Bentrad Russel menulis, "Orang menyadari bahwa dirinya ditindas oleh kekuatan eksternal yaitu ketakutan akan kematian."
Nah, kalau ketakutan itu sudah melekat dalam kehidupan manusia, mengapa pendidikan yang mengklain dirinya sebagai agen perubahan dan peningkatan kualitas kehidupan, justru terus menebarkan ketakutan?
Mengapa pihak otoritas pendidikan selalu saja menerbitkan kebijakan yang membuat pengelola pendidikan merasa ketakutan? Tidakkah mereka menyadari bahwa ketika ada monev dan akreditasi misalnya, para pengelola pendidikan ketakutan setengah mati? Akibatnya, demi 'lolos' dari  monev dan akreditasi, pihak pengelola pendidikan  terpaksa merekayasa data/dokumen terkait monev dan akreditasi itu.
Tidakkah otoritas pendidikan mengerti bahwa para pendidik selalu  kelabakan dalam memenuhi standar pendidikan atau Tridharma Pergurutan Tinggi? Dan demi memenuhi tuntutan itu mereka terpaksa  merogoh kocek yang tipis, demi membayar agen yang bisa menyulap 'karya ilmiah' mereka  supaya layak masuk jurnal ilmiah berskala internasional, seperti scopus?
Mengapa BPH pun menindas para pendidiknya dengan memberikan gaji yang ala kadar, misalnya? Tidakkah mereka tahu bahwa untuk menjadi pendidik berkualitas, para pendidik harus sehat, tidak kuatir dengan urusan keluarga,  dan tetap update?  Bukankah untuk tetap sehat dan bugas  mereka  perlu mengasup makanan bergizi? Bukankah, gaji yang kecil membuat para pendidik stres memikirkan kehidupan keluarganya? Dan, bukakan supaya tetap 'up to date' mereka perlu  memiliki dan membaca banyak buku, dan selalu punya kuota untuk bisa mengakses internet?
Mengapa para pendidik menindas para peserta didiknya dengan teori-teori ilmiah jelimet, yang tak jarang tidak relevan lagi? Tidakkah mereka menyadari kalau tak semua peserta didik mampu mencerna teori-teori ilmiah yang jelimet? Mengapa mereka masih saja menutup mata kalau untuk menjawab soal-soal ujian berkenaan pemikiran ilmiah para teoritisi masa lalu, para peserta didik nekad menyontek?
Mengapa para pendidik suka menghardik ketika peserta didiknya mengajukan pertanyaan yang kritis? Tidakkah mereka menyadari bahwa dengan menghardik, peserta didik akan ketakutan untuk mengemukakan pendapatnya lagi?
Mengapa para pendidik mewajibkan peserta didik menetapkan 'karya ilmiah' sebagai persyaratan kelulusan dan meraih gelar akademis? Padahal, selama proses belajar peserta didik tidak dibiasakan untuk menulis dengan standar ilmiah. Tidakkah para pendidik menyadari bahwa untuk menuntaskan 'tugas akhir' banyak peserta didik  memakai jalan pintas:  menjiplak karya ilmiah orang lain?
Mengapa perguruan tinggi gemar menyelenggarakan  ujian seleksi masuk dengan soal-soal yang dikompilasi dari arsip soal-soal ujian beberapa tahun sebelumnya? Tidakkah mereka menyadari bahwa untuk bisa mejawab soal-soal yang pada umumnya konyol itu, para lulusan SLTA harus menghabiskan waktu berminggu-minggu mengerjakan soal-soal try out.
Mirisnya lagi, untuk meredam ketakutan para calon mahasiswa, perguruan tinggi tanpa rasa berdosa, 'berkolaborasi' dengan Lembaga Bimbel asuhannya sendiri. Makanya, masuk akal kalau ada yang bertanya: "Mengapa  para calon mahasiswa yang rajin mengikuti Bimbel, paling potensial lulus ujian seleksi perguruan tinggi? Secara akal sehat, pertanyaan seperti  sesungguhnya  mudah dijawab. Namun, karena belum ada studi empiris tentang hal itu, kita harus menahan diri, dan cukup mengatakan: Wallahu a'lam!
'Berbuah Pahit'
Pendidikan dalam ketakutan selalu menimbulkan dampak buruk. Dampaknya memang tidak selalu kasat mata seperti kita memasukkan singkong ke dalam perapian: segera menjadi gosong. Sebaliknya, dampaknya begitu tersamar sehingga sulit diidentifikasikan.
Sebab, defakto sistem pendidikan (dalam ketakutan) melahirkan lulusan berijazah dengan daftar nilai yang bisa saja sangat hebat. Apakah, nilai yang hebat mencerminkan kepribadian yang unggul? Belum tentu! Korelasi antara nilai akademis dan kepribadian baru akan dibuktikan ketika lulusan tersebut menjalani profesinya.
Alexander Inglis (1918) menyatakan, model pendidikan dalam ketakuan membuat para peserta didik  tak terbiasa berpikir otonom dan kreatif serta sulit beradaptasi. Setelah menjadi lulusan dan menjalani profesi, mereka cenderung sulit beradaptasi dan berbagi. Mereka cenderung bersikap apatis, dingin, suka  menyendiri, pendiam,  emosional,  dan selalu bergantung pada orang lain.
Pendidikan dalam ketakutan menghasilkan insan yang kurang berintegritas. Dalam hidup beragama, Â mereka adalah orang yang cenderung membaca Kitab Suci dan memaknainya seturut keinginan hatinya sendiri. Akibatnya, mereka bertumbuh menjadi manusia yang hipokratis. Ibarat serigala berbulu domba, mereka berpenampilan 'saleh', Â namun hatinya penuh kedengkian.Â
Mereka juga bisa sangat manipulatif. Apa yang menjadi kemauan pribadi atau golongan, diklaim sebagai kehendak dari Yang Ilahi. Kenistaan dan kesalehan dicampuradukkan sehingga sulit dibedakan lagi.Â
Pendidikan dalam ketakutan menghasilkan pebisnis dan pelaku ekonomi serta pejabat publik yang cenderung tricky dan koruptif. Mereka merasa enteng saja untuk merekayasa angka/data keuangan, dan mengikari kesepakatan. Di mata mereka, kejujuran dan kepercayaan tak bermakna apa-apa.
Singkat kata, pendidikan dalam ketakutan membentuk generasi manusia yang paradoks. Mereka mengimani Tuhan, tapi mengabaikan perintah cinta kasihNya. Mereka menguasai paham tentang HAM dan martabat manusia, tapi gemar melakukan KDRT dan main hakim sendiri. Mereka mengaku cinta damai dan persatuan, tapi setiap hari menebar kebencian dan merongrong kerharmonisan. Mereka menganut  demokrasi, tapi suka dengan politik uang dan politik identitas. Mereka meneriakan keadilan sosial, tapi gemar menindas dan memeras orang lain. (Bersambung)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI