Mohon tunggu...
Maximus Ali Perajaka
Maximus Ali Perajaka Mohon Tunggu... Dosen - Dosen; Penulis

Alumnus STFK Ledalero, Maumere-Flores, Asian Social Institute Manila, Philippines, CCFA Program, Des Moines, Seattle, WA

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Penuh Ketakutan

29 Juni 2020   17:36 Diperbarui: 29 Juni 2020   17:35 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pandemi Covid-19 'merongrong' bumi pertiwi, ketika para pemangku kepentingan pendidikan tengah berusaha membumikan konsep 'merdeka belajar' yang dicanangkan Menteri Pendidikan Nasional, Nadiem Makarim, akhir 2019 lalu.

Tak tanggung-tanggung, pandemi itu membuat para pemangku kepentingan dunia pendidikan, ketakutan dan mendekam di rumah. Sebelum pandemi Covid-19, dunia pendidikan  memuliakan model interaksi dan komunikasi langsung, karena dianggap lebih personal dan manusiawi. Sekarang, kita justru menghindarinya sedapat mungkin. Kita memilih melakukan proses pembelajaran secara daring. Mengapa? Ya, karena kita takut terjangkiti Covid-19.

Anda mungkin berpikir bahwa judul di atas bertalian dengan pembelajaran/pendidikan secara daring karena takut  Covid-19. Maaf,  itu bukanlah yang saya maksudkan. Karena pembelajaran daring karena takut Covid-19 adalah pendidikan penuh ketakutan yang  temprorer.

Yang saya maksudkan di sini adalah ketakutan  konstan, yang menyertai proses  pendidikan, baik  secara tatap muka, maupun daring. Pendidikan dalam ketakutan lebih terkait dengan konsep 'merdeka belajar'.

Semenjak Nadiem melontarkan konsep tersebut, sebagian besar pendidik merasa legah. Karena merasa akan erhindar dari bebagai tekanan, mulai dari tekanan administrasi, penguasaan bahan ajar yang terlalu banyak, dan tekanan kebijakan lainnya. Dengan begitu, mereka lebih fokus mengembangkan potensi peserta didik.

Jadi, dengan mencanangkan konsep 'merdeka beljar', Nadiem sesungguhnya secara tersirat membenarkan bahwa sejauh ini Indnesia mempraktikkan pendidikan dalam tekanan. Dalam bahasa Paulo Freire (1968) Pedagogia do Oprimido (Portugis) atau Pedagogy of the Oppressed: Pendidikan Kaum Tertindas.  Oleh karena penindasan atau tekanan dalam dunia pendidikan selalu menimbulkan ketakutan, maka saya menyebutnya sebagai pendidikan penuh ketakutan.

Ketakutan adalah hal yang alami terjadi pada setiap manusia. Dalam pandangan trandisional, ketakutan dimaknai respons biokimia universal serta respons emosional individu yang tinggi. Ketakutan mengingatkan kita akan adanya bahaya atau ancaman bahaya, apakah bahaya itu fisik atau psikologis. Ketakutan merupakan  suatu mekanisme pertahanan diri manusia.

Meski sepakat dengan pandangan tradisional, masyarakat  kontemporer lebih suka memahami  ketakutan  sebagai emosif negatif yang melumpuhkan manusia. Ketakutan menciptakan stres, kecemasan dan kegelisahan.

Mereka membedakan bahaya dan ketakutan. Jika bahaya itu sesuatu yang nyata, maka ketakutan adalah sesuatu yang imajinatif. Dan, ketika ketakutan terbentuk dalam diri seseorang, itu akan tetap menyertai dia sepanjang hidup. Singkat kata, ketakutan adalah harapan palsu yang muncul sebagai kenyataan (FEAR = False Expectations Appearing Real). (Bdk.Air Institute of Realization/Air, 2020: 31).

Mahatma Gandhi pernah berkata, "More people die of the fear of disease than of disease itself." Kata-kata Gandhi itu terbukti kebenarannya  selama pandemi Covid-19. (Air, 2020:32)

Ironi Pendidikan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun