Mohon tunggu...
Maximus Ali Perajaka
Maximus Ali Perajaka Mohon Tunggu... Dosen - Dosen; Penulis

Alumnus STFK Ledalero, Maumere-Flores, Asian Social Institute Manila, Philippines, CCFA Program, Des Moines, Seattle, WA

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Penuh Ketakutan

29 Juni 2020   17:36 Diperbarui: 29 Juni 2020   17:35 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Paradoks memang, di satu pendidikan telah  dimuliakan sedemikan rupa  sebagai sumber ilmu pengetahuan, agen  perubahan dan pembebasan, dan jalan menuju kehidupan yang berkualitas. Namun, faktanya, sebagaimana dikemukakan Paulo Freire, pendidikan itu alat penindasan di tangan penguasa/otoritas, pendidik, dan masyarakat.

Masyarakat mengharapkan agar pemerintah (otoritas pendidikan) menjadi pemandu arah pendidikan. Namun yang terjadi mereka  lebih sering menciptakan kebijakan yang cenderung menindas para pelaku pendidikan. 

Para pendidik di sekolah/perguruan tinggi swata mengandalkan Badan Hukum Pendidikan (BHP) --Pemerintah, Pemda dan Masyarakat-  supaya penyelenggaraan pendidikan berjalan efektif. Tapi, hampir selalu terjadi, banyak BHP  memanipulasi dan memeras tenaga para pendidik di lingkungan.

Pada umumnya para peserta didik mengharapkan sekolah/kampus menjadi lingkungan yang nyaman dan menyenangkan. Mereka pun percaya bahwa  para pendidik tulus dan mampu mendampinginya agar bertumbuh menjadi pribadi yang utuh, cerdas intelektual, emosional dan spiritual.

Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Sekarang ini skolah/kampus dijejali dengan berbagai peraturan tatatertib dan dilengkapi dengan teknologi pengawaan keamanan sehingga suasana yang tercipta menjadi seperti penjara. Sementara itu, para pendidiknya justru lebih gemar menggurui dan cenderung bersikap arogan serta menyepelekan. (Bdk. Lyn A. Bryan & kenneth Tobin, 2019: 88-190)

Keluarga dan masyarakat pun tidak ketinggalan berkontribusi menguatkan pendidikan yang bernuansa penindasan. Bukan rahasia lagi, kebanyakan orangtua suka mendikte anak-anaknya untuk memilih sekolah atau  jurusan yang menurutnya terbaik. Bukan, sekolah dan jurusan yang terbaik menurut anak-anak.

Jones Irwin (2012:35) mengatakan dalam pendidikan yang menindas (the oprresed education), pihak penindas menyebabkan pihak yang tertindas mengalami apa yang disebut ketakutan akan kebebasan (fear of reedom), sebuah istilah yang dipinjan Paul Freire dari Erich Fromm. Bahkan, 'ketakutan akan kebebasan' itu diinternasilisasi sedemikian rupa sehingga pihak yang tertindas pun memiliki kerinduan agar suatu saat dia pun untuk memain peran sebagai penindas juga.

Sayangnya, pada umumnya manusia tidak menyadari 'ketakutan' seperti itu. Sebab,  kesadaran manusia, lebih banyak berada di wilayah laten dan tertidur, daripada  di wilayah terjaga.

Mengapa Mempertebal Ketakutan?

Merujuk ke buku 'Khoj (Search)' yang ditulis Karna Sakya, Desh Subba (2014:97) menulis bahwa semua orang dimuka bumi ini sibuk  saban hari. Seperti binatang, manusia sibuk makan, minum dan beristirahat setiap hari. Mereka juga sibuk bekerja dan mencari sesuatu. Setelah menemukan sesuatu, mereka  mencari sesuatu yang lain lagi. Begitu seterusnya, proses mencari terus mengalir dan baru berakhir ketika mereka menemui ajal.

Kesibukan mencari itu ternyata berkaitan dengan ketakutan. Dan, sumber terdalam dari ketakutan itu adalah kematian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun