Mohon tunggu...
Maximus Ali Perajaka
Maximus Ali Perajaka Mohon Tunggu... Dosen - Dosen; Penulis

Alumnus STFK Ledalero, Maumere-Flores, Asian Social Institute Manila, Philippines, CCFA Program, Des Moines, Seattle, WA

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Penuh Ketakutan

29 Juni 2020   17:36 Diperbarui: 29 Juni 2020   17:35 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika berbicara tentang ketakutan, 'Santo' Achyuta Nada mengatakan, 'Kematian adalah sumber ketakutan. Karena itu, manusia berjuang demi kebebasan dari ketakuan akan kematian itu. Menurut dia, alasan utama manusia beragama dan beriman akan Tuhan adalah untuk mengatasi ketakutan itu."

Dalam sebuah diskursus, Bentrad Russel menulis, "Orang menyadari bahwa dirinya ditindas oleh kekuatan eksternal yaitu ketakutan akan kematian."

Nah, kalau ketakutan itu sudah melekat dalam kehidupan manusia, mengapa pendidikan yang mengklain dirinya sebagai agen perubahan dan peningkatan kualitas kehidupan, justru terus menebarkan ketakutan?

Mengapa pihak otoritas pendidikan selalu saja menerbitkan kebijakan yang membuat pengelola pendidikan merasa ketakutan? Tidakkah mereka menyadari bahwa ketika ada monev dan akreditasi misalnya, para pengelola pendidikan ketakutan setengah mati? Akibatnya, demi 'lolos' dari  monev dan akreditasi, pihak pengelola pendidikan  terpaksa merekayasa data/dokumen terkait monev dan akreditasi itu.

Tidakkah otoritas pendidikan mengerti bahwa para pendidik selalu  kelabakan dalam memenuhi standar pendidikan atau Tridharma Pergurutan Tinggi? Dan demi memenuhi tuntutan itu mereka terpaksa  merogoh kocek yang tipis, demi membayar agen yang bisa menyulap 'karya ilmiah' mereka  supaya layak masuk jurnal ilmiah berskala internasional, seperti scopus?

Mengapa BPH pun menindas para pendidiknya dengan memberikan gaji yang ala kadar, misalnya? Tidakkah mereka tahu bahwa untuk menjadi pendidik berkualitas, para pendidik harus sehat, tidak kuatir dengan urusan keluarga,  dan tetap update?  Bukankah untuk tetap sehat dan bugas  mereka  perlu mengasup makanan bergizi? Bukankah, gaji yang kecil membuat para pendidik stres memikirkan kehidupan keluarganya? Dan, bukakan supaya tetap 'up to date' mereka perlu  memiliki dan membaca banyak buku, dan selalu punya kuota untuk bisa mengakses internet?

Mengapa para pendidik menindas para peserta didiknya dengan teori-teori ilmiah jelimet, yang tak jarang tidak relevan lagi? Tidakkah mereka menyadari kalau tak semua peserta didik mampu mencerna teori-teori ilmiah yang jelimet? Mengapa mereka masih saja menutup mata kalau untuk menjawab soal-soal ujian berkenaan pemikiran ilmiah para teoritisi masa lalu, para peserta didik nekad menyontek?

Mengapa para pendidik suka menghardik ketika peserta didiknya mengajukan pertanyaan yang kritis? Tidakkah mereka menyadari bahwa dengan menghardik, peserta didik akan ketakutan untuk mengemukakan pendapatnya lagi?

Mengapa para pendidik mewajibkan peserta didik menetapkan 'karya ilmiah' sebagai persyaratan kelulusan dan meraih gelar akademis? Padahal, selama proses belajar peserta didik tidak dibiasakan untuk menulis dengan standar ilmiah. Tidakkah para pendidik menyadari bahwa untuk menuntaskan 'tugas akhir' banyak peserta didik  memakai jalan pintas:  menjiplak karya ilmiah orang lain?

Mengapa perguruan tinggi gemar menyelenggarakan  ujian seleksi masuk dengan soal-soal yang dikompilasi dari arsip soal-soal ujian beberapa tahun sebelumnya? Tidakkah mereka menyadari bahwa untuk bisa mejawab soal-soal yang pada umumnya konyol itu, para lulusan SLTA harus menghabiskan waktu berminggu-minggu mengerjakan soal-soal try out.

Mirisnya lagi, untuk meredam ketakutan para calon mahasiswa, perguruan tinggi tanpa rasa berdosa, 'berkolaborasi' dengan Lembaga Bimbel asuhannya sendiri. Makanya, masuk akal kalau ada yang bertanya: "Mengapa  para calon mahasiswa yang rajin mengikuti Bimbel, paling potensial lulus ujian seleksi perguruan tinggi? Secara akal sehat, pertanyaan seperti  sesungguhnya  mudah dijawab. Namun, karena belum ada studi empiris tentang hal itu, kita harus menahan diri, dan cukup mengatakan: Wallahu a'lam!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun