Mohon tunggu...
Arofiah Afifi
Arofiah Afifi Mohon Tunggu... Guru - Guru Paud.

Hobi membaca, menulis blog. Penulis artikel, sedang mendalami fiksi dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Akhir Tahun: Menyemai Cinta Bersama Bunda

3 Desember 2024   07:13 Diperbarui: 3 Desember 2024   07:14 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang ibu menggendong anaknya berhias latar senja. Sumber gambar:pixel.id

 Akhir Tahun: Menyemai Cinta Bersama Bunda

Kata mereka, diriku s'lalu dimanja
Kata mereka, diriku s'lalu ditimang

Kudengarkan bait-bait lagu Melly Goeslaw itu sepenuh emosi, diiringi semilir angin menerobos dari jendela dan mentari menapaki sinarnya, di ufuk timur saat langit belum begitu membiru. 

Pandanganku sejurus menikmati polah lebah dan kupu-kupu, saling menyikut untuk mendahului menyesap manisnya putik sari di pelataran taman bunga yang kutanam. Menambah kuat kerinduan hatiku pada Bunda yang suka sekali menanam. Kata orang, bunda bertangan dingin, apapun yang ditanam pasti jadi.

Aku menandaskan  teh jahe tegukan  terakhir.  Lalu bergegas beranjak mengantarkan suami yang bersiap pergi bekerja. Aku juga harus berkemas, mempersiapkan kepulanganku menuju kampung halaman, karena Desember adalah jatahku ada di rumah menemani bunda yang sudah semakin senja. Adikku sudah memesankan tiket kereta sejak satu bulan yang lalu.

 Selama ini, bunda bersama adikku Sekar, dan anak-anaknya, bersyukur dia bersuamikan orang Jakarta dan mengizinkan Sekar untuk tetap bersama. Jadi dialah yang selama ini disibukkan dengan tugas merawat Bunda. Dan tiap akhir tahun, adalah waktu untuk Sekar bersama keluarganya ke Jakarta. Sehingga tugas menemani bunda, aku ambil alih.

Ting!

Gawaiku berbunyi, sebuah panggilan masuk di aplikasi hijau. Kuterima panggilan  dari Sekar.

"Teh. Nanti malam berangkat kan?"

Keningku berkerut, "Bukan nanti malam tapi besok,  malam Jum'at!" seruku dengan sedikit rasa gusar.

"Bukan, Teeeh ...! Jadwal kereta nanti malam. 28 November. Pukul 00.14 itu artinya hari Kamis bukan malam Jum'at." tegas Sekar gemas.

"Astagfirullah!" Kok bisa aku salah lihat tanggal selama ini. Aku segera melihat E-tiket, dan ternyata benar.

"Jadi gimana, Teh?"suara Sekar lagi.

"Terpaksa beli tiket baru, nanti malam suami belum pulang, karena jauh-jauh hari aku kabari jadwal tiket Kamis malam bukan Kamis  dini hari, hehe ...!" Aku nyengir menetralisir rasa bersalah.

"Hemeeh ...!" Sekar menghela nafas kecewa. "Bunda lagi tantrum tuh, aduh susah dibujuknya." keluhnya.

"Yang sabar yaaa ...!" Aku hanya bisa prihatin dari jauh, karena tidak ada yang bisa kuperbuat. Akhirnya, percakapan pun berakhir.   

Ting ...  ting ... ting!

"Gimana niiih? Bunda, lagi ngambek niiih! Watir minggat doaaang...!"

Berderet pesan masuk pada grup watshapp keluarga, Sekar mengirimkan video bunda yang lagi uring-uringan. Duh makin resah saja jiwaku, namun aku tidak mungkin memaksa pulang ke Banten nanti malam, tidak mungkin aku pergi sendiri di saat suami belum pulang.  Pada dini hari pula. Hati yang tadi masih tenang, kini semakin gusar dan panik. Sementara suami, dia tidak bisa dihubungi karena memang sedang tidak punya handphone.

Suasana di grup masih ramai, keempat  kakak lelaki kami saling memberikan beberapa solusi. Pepatah memang benar, "Satu ibu bisa mengurusi sepuluh anak, namun sepuluh anak tidak mampu mengurus satu ibu" Iya kami akui itu; kami,  enam bersaudara, empat laki-laki dua perempuan, hidup terpisah bersama keluarga masing-masing dan kami tidak bisa menjaga seorang ibu dengan baik. Terlebih pada saat tantrum begini, yang kami khawatirkan adalah, bunda pergi keluar rumah sendirian.

Pernah tahun lalu, Bunda pergi dari rumah tanpa sepengetahuan kami semua. Aku masih di Jawa bersama suami. Kebetulan saat itu aku melakukan sambungan telefon dengan Sekar,

"Sekar. Bunda sehat? Mau ke Bunda dong," pintaku

"Sehat.  Ada di kamar lagi tiduran," jawabnya sambil pergi menuju kamar Bunda, namun ternyata, dia tidak menemukan keberadaan bunda di kamar.

"Loh, Teh. Bunda ke mana ya?" tanyanya dari balik sambungan.

"Coba cari ke dapur dan kamar mandi!" balasku. Aku pun ikut panik. Setelah dicari, Sekar tidak menemukan keberadaan Bunda, baik di dapur, kamar mandi, belakang rumah maupun halaman. Aku yang jauh dari rumah tentu saja tidak kalah panik, cemas dan khawatir ke mana Bunda pergi. Sekar dan anak-anaknya sudah dilanda kepanikan luar biasa, karena tidak satu pun tetangga tahu ke mana bunda.

"Ya Allah Astagfirullah ..." Hatiku terus berzikir memohon perlindungan dan keselamatan untuk Bunda. Rasanya ingin terbang saja segera, atau berteleportasi ikut mencari bunda.

Dalam kepanikan, tiba-tiba suamiku menelepon. Aku yang sedang kalut langsung mengangkat telefon ingin segera mengadu.

 "Dik.  Tadi Abang telepon Bunda, kelihatannya bahagiaaa banget ditelepon Abang!" serunya dengan semringah. "Abang ngobrol sama Akang Nasih juga," lanjutnya lagi.

Aku yang sedang panik terbit harapan, mendengar Bunda disebut.

Rupanya suamiku yang sedang bekerja, entah iseng atau sengaja menelefon Bunda.

Segera aku bertanya lebih jelas, dengan kepanikan yang sedikit berkurang.

 "Abang telepon Bunda? Barusan? Ngobrol sama Akang juga? Bunda ada di mana sekarang?"  Kubrondong suamiku dengan pertanyaan.

"Iya, Adik. Barusan, Bunda sama Kang Nasih."

Nyeess ...! Hati ini terasa sedikit lega.

"Abaaang ...!  Serius Abang. Bunda di rumah Kang Nasih?" Aku memastikan.

Segera aku hubungi Sekar, terbayang betapa paniknya dia. Kukabarkan bahwa Bunda ada di rumah Kakang.

Selesai menghubungi Sekar, aku lanjut menelefon ke gawai bunda, dan benar saja, yang mengangkat telepon adalah teteh ipar.

Rasa panik, was-was, bahagia dan lega menjadi satu. Bahagia karena Bunda sampai ke rumah kakang dengan selamat, panik karena Bunda pergi tanpa satu pun anaknya yang tahu.

Pasalnya rumah, Kang Nasih ada di kota Serang sementara rumah Bunda ada di Kabupaten, dengan jarak kurang lebih 20km.

Usut punya usut, ternyata Bunda pergi dari rumah, di saat Sekar dan anak-anaknya sedang fokus di kamar.  Sekar  punya kamar tersendiri, masih dalam satu atap namun terpisah ruang. Akses keluar masuk Sekar menuju rumah utama dan kamar bunda, dilalui dari pintu depan atau pintu dapur. Jadi kamar sekar terpisah dan punya bangunan sendiri agar lebih privasi, dengan dapur bersama.

Untungnya Bunda, pergi menuju rumah kakak iparnya yang berjarak 15 meter dari rumah, meminta sepupu kami mengantarkan ke kota menuju rumah Kang Nasih.

Alhamdulillah Allah melindungi orang tua kami. Sejak saat itu, kami jadi trauma dan melakukan pengawasan lebih ketat, dengan tidak membiarkan bunda sendirian, terlebih di saat emosinya kurang stabil.

Di usia bunda yang semakin senja, kami harus belajar bagaimana merawat orang tua, memberikan pemakluman dan pengertian, sebisa mungkin meminimalisir interaksi yang berbuntut kesalahpahaman. Bunda sudah tidak bisa lagi mengatur emosi, dan tidak bisa mengerti jika sudah salah paham. Kini bunda semakin seperti anak kecil.  Tentu saja yang merasakan beratnya  adalah Sekar, selain harus mengurusi anak-anak yang masih kecil, dia juga harus fokus dengan Bunda. Di antara kami berenam, dialah yang banyak memikul tanggung jawab.

***

Kamis jam sepuluh, suamiku pulang. Tanpa sambutan terlebih dulu, aku langsung mengadu bahwa tiket kereta telah hangus dan menjelaskan kekeliruan.

Suamiku geleng-geleng dan ngomel singkat, namun begitu dia mengakhiri  kritikannya dengan menghiburku yang sedang cemberut. Dia berjanji mengurus tiket segera.

Meski hari dalam cuaca hujan deras, setelah makan, suami pergi ke mini market untuk memesan tiket. Alhamdulillah didapatkan tiket kereta untuk hari Minggu.

"Jangan keliru lagi, lihat baik-baik," ucapnya sambil menarik hidungku. Ia simpan e-tiket pada galeri hp.

Hari kepulangan, Alhamdulillah berjalan lancar. Setelah menempuh tiga kali mode transportasi, aku tiba di rumah Bunda, menjelang magrib.

Rumah, terlihat sepi, tentu saja jam segini, semua sedang salat dan mengaji. Sambil membuka pintu kuucap salam, "Assalamualaikum!"

Tampak ruangan lenggang, anak-anak dan Sekar pasti di kamar, begitu juga Bunda.

Kugeret masuk koper, kusimpan asal; segera aku menuju dapur dengan tujuan kamar mandi, membasuh muka dan cuci tangan; berlanjut ke kamar Bunda.

Bunda baru selesai salat. Tepekur dalam doa dengan lirih dan khidmat. Meski bunda sudah memasuki gejala pikin, Allah menjaga beliau  tetap ingat salat dan tadarusnya.

Aku duduk bersimpuh di sampingnya, kurengkuh tangan kurusnya dan kucium.

"Assalamualaikum! Sehat Bunda?"

"Eh ... Alhamdulillah! Sofie pulang kamu?" Aku peluk tubuh mungil itu dan kucium kedua pipinya. Badannya hangat, kurasa bunda sedang demam. Aku izin pamit ke dapur, mengambilkan air hangat dan sesendok madu. Juga kurma azwa yang biasa tersedia di dalam kulkas.

Lirih suara tadarus bunda, membuncahkan dada. Menghantam pertahanan air mataku. Aku kembali masuk ke kamar Bunda, meletakkan gelas  dan memeluknya erat. Tangan bunda yang lembut, membelai kepalaku. Ah betapa damai bersimpuh di pelukannya.

  Ya Allah, aku bersyukur masih diberi kesempatan membersamai bunda di usia senjanya, meski dengan seluruh keterbatasan, kesabaran yang setipis kulit bawang, keilmuan yang minim dan kekurangan dalam banyak hal. Bunda jasamu tak kan pernah terbalas.  

***

Selamat hari Ibu Desember 2024.

Penulis adalah alumni S1 PG PAUD, aktif di dunia literasi sejak Awal 2022, dan aktif di platform Kompasiana sejak Oktober 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun