"Iya, Adik. Barusan, Bunda sama Kang Nasih."
Nyeess ...! Hati ini terasa sedikit lega.
"Abaaang ...! Â Serius Abang. Bunda di rumah Kang Nasih?" Aku memastikan.
Segera aku hubungi Sekar, terbayang betapa paniknya dia. Kukabarkan bahwa Bunda ada di rumah Kakang.
Selesai menghubungi Sekar, aku lanjut menelefon ke gawai bunda, dan benar saja, yang mengangkat telepon adalah teteh ipar.
Rasa panik, was-was, bahagia dan lega menjadi satu. Bahagia karena Bunda sampai ke rumah kakang dengan selamat, panik karena Bunda pergi tanpa satu pun anaknya yang tahu.
Pasalnya rumah, Kang Nasih ada di kota Serang sementara rumah Bunda ada di Kabupaten, dengan jarak kurang lebih 20km.
Usut punya usut, ternyata Bunda pergi dari rumah, di saat Sekar dan anak-anaknya sedang fokus di kamar.  Sekar  punya kamar tersendiri, masih dalam satu atap namun terpisah ruang. Akses keluar masuk Sekar menuju rumah utama dan kamar bunda, dilalui dari pintu depan atau pintu dapur. Jadi kamar sekar terpisah dan punya bangunan sendiri agar lebih privasi, dengan dapur bersama.
Untungnya Bunda, pergi menuju rumah kakak iparnya yang berjarak 15 meter dari rumah, meminta sepupu kami mengantarkan ke kota menuju rumah Kang Nasih.
Alhamdulillah Allah melindungi orang tua kami. Sejak saat itu, kami jadi trauma dan melakukan pengawasan lebih ketat, dengan tidak membiarkan bunda sendirian, terlebih di saat emosinya kurang stabil.
Di usia bunda yang semakin senja, kami harus belajar bagaimana merawat orang tua, memberikan pemakluman dan pengertian, sebisa mungkin meminimalisir interaksi yang berbuntut kesalahpahaman. Bunda sudah tidak bisa lagi mengatur emosi, dan tidak bisa mengerti jika sudah salah paham. Kini bunda semakin seperti anak kecil.  Tentu saja yang merasakan beratnya  adalah Sekar, selain harus mengurusi anak-anak yang masih kecil, dia juga harus fokus dengan Bunda. Di antara kami berenam, dialah yang banyak memikul tanggung jawab.