Mohon tunggu...
Arofiah Afifi
Arofiah Afifi Mohon Tunggu... Guru - Guru Paud.

Hobi membaca, menulis blog. Penulis artikel, sedang mendalami fiksi dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

KKN Bermula Luka dan Cinta Menyapa

1 Juni 2024   10:25 Diperbarui: 1 Juni 2024   10:39 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Usiaku empat puluh lima tahun kini. Kesibukan sebagai ibu rumah tangga dan guru SD, Alhamdulillah telah dikaruniai tiga anak yang beranjak dewasa.

Malam hari menjelang waktunya istirahat. Gawaiku berbunyi.

Ting!

Segera kulihat siapa gerangan yang menganggukku  malam begini. Tertera sebuah pesan dengan nomor tanpa identitas. Biasanya aku malas sekali jika ada pesan tak dikenal. Namun kubaca juga chat tersebut.

[Assalamualaikum Maharani. Ini aku Raja. Pujaan hatimu sejak KKN dulu.]

"Raja? KKN?" Aku bermonolog.
Mengingat namanya, hatiku seketika berdesir. Sebuah nama yang pernah bertakhta indah dalam singgasana hati. Memoriku berlari pada masa dua puluh tiga tahun silam.

Kisah kami berawal dari saat KKN, Kuliah Kerja Nyata. Seperti kebanyakan kampus, mahasiswa KKN ditugaskan di daerah-daerah pelosok. Begitu juga kami bersama dua puluh mahasiswa. Kebetulan ketua kelompok adalah seorang pemuda yang cukup ganteng pada masanya. Berkulit putih mulus tanpa jerawat, bermata tajam bagai elang, perawakan tinggi, ditambah karakter tegas dan baik hati. Lengkap sudah ketua KKN  betul-betul menjadi impian para gadis. Namanya Raja dan namaku Rani. Raja dan Rani sungguh nama yang serasi bukan?

Interaksi kami biasa saja antar ketua dan anggota pada umumnya. Suatu hari, kelompok KKN mengadakan kerja bakti membersihkan selokan, parit dan sungai-sungai desa. Raja pulang dalam keadaan penuh darah di tangan dan menodai bajunya. Mereka para perempuan menyambut dengan panik. Mendengar keributan di luar, aku yang di dapur berusaha mencari tahu ada apa gerangan.

"Ukh!" Melihat ketua tidak baik-baik saja, segera aku mengambil kotak P3K dari tempatnya.  Segera aku terobos kerumunan anak-anak. Dengan cekatan aku memberikan pertolongan pertama pada Raja. Dibersihkannya luka di tangan kanan sang ketua, yang berdarah dengan air bersih. Diberi obat merah dan dibalut dengan kain kasa.

"Aduh sakit!" Raja meringis saat kubalut lukanya mungkin terlalu keras.

"Oh! Maaf." Tanpa sengaja mata kami beradu pandang. Desir hangat di dada membuat mukaku terasa panas. Khawatir akan suasana hatiku Tak menetu, segera kuselesaikan aktivitas pertolongan pertama pada ketua. Segera aku pergi dan membawa kotak P3K  kembali.

"Hei ..., terima kasih," ucapnya. Aku mengangguk dan segera masuk ke dalam posko mahasiswi.
Posko kami memang jadi satu, di rumah ketua RW yang memiliki dua rumah tak terpakai. Ruangan mahasiswa ada di bagian depan dan mahasiswi di ruang belakang. Kami memiliki dapur dan kamar mandi masing-masing.
 Sejak peristiwa itu, interaksiku dan Raja semakin intens, santai dan hangat.

Pada satu hari rombongan mahasiswa KKN kami melakukan kunjungan dusun-dusun yang agak terpencil, perjalanan melewati bukit dan curug, sehingga membuat para mahasiswa kelelahan. Dalam perjalanan pulang kembali ke posko, kakiku terasa keram dan  tak sanggup lagi untuk berjalan. Tanpa disangka  Raja berinisiasi menawarkan bantuan, untuk menggendongku sampai posko.  

Dengan rasa sungkan, aku menerima tawaran pertolongannya, karena kakiku terasa perih. 

Berada di punggung Raja,  rasanya jantungku bertalu dengan begitu kencang. Aku khawatir jika Raja mendengar detak jantungku.

"Raja turunkan aku. Kakiku sudah baikkan." ucapku. Rasanya bahaya untuk jantung dan hatiku jika aku masih di punggungnya.

"Diamlah, Rani. Sebentar lagi sampai.

"Cie... cie...!"

"Wah ..., ada aroma-aroma cinta nih" Ledekan teman-teman membuatku malu dan sepertinya mukaku sudah entah berwarna apa. Begitu sampai di posko aku langsung turun dari gendongan Raja, berlari ke dalam kamar dengan rasa malu namun aku suka. Ea...! Ya aku memang menyukainya sejak insiden membalut lukanya waktu itu.  

 Getar-getar halus di hatiku semakin bertumbuh dan rupanya gayung bersambut. Hal yang sama dirasakan oleh Raja. Ooh rasanya hatiku begitu berbunga. Kami berdua menjalin hubungan lebih dekat lagi.

Selama KKN, aku dan dua mahasiswa  yang berasal dari fakultas pendidikan punya program  yaitu membuka PAUD binaan, memberikan pelatihan tutor, pengarahan dan pendampingan agar PAUD bisa mandiri. Selama program itu berlangsung, Raja selalu saja setia mendampingiku.
Bersama Raja, aktivitas KKN menjadi sangat indah dan menyenangkan, semua pengalaman menjadi manis bak madu, hingga waktu serasa begitu cepat berlalu. Kedekatan kami membuahkan satu keputusan untuk melangkah ke jenjang yang serius yaitu pernikahan.

Setelah KKN berakhir Raja membawa aku untuk diperkenalkan kepada kedua orang tuanya. Namun rupanya mereka yang status sosial tinggi,  tidak menyukaiku. Aku dipandang sebelah mata.

"Raja kamu itu anak sulung Papa Mama. Pewaris perusahaan. Masa mau nikah sama gadis macam ini? Mama sudah jodohkan kamu dengan anak rekan bisnis Papamu. Sudah kamu jangan membantah." ucap mamanya Raja tanpa memedulikan perasaanku  yang pastinya terluka.

"Rani maafkan Mamaku, dia ga maksud ...."

"Rani, sebaiknya kamu pulang." Mamahnya Raja mengusirku.
Tanpa menunggu diusir untuk kedua kalinya. Aku segera beranjak pergi.

"Rani tunggu. Aku antar"
Perjalanan kami lalui dengan saling diam. Air mataku terus menetes tak mau berhenti. Rasanya hatiku sakit sekali mendapatkan penolakan ini. Kami harus berpisah saat hatiku menaruh harapan begitu besar.

"Raja, berhenti di sini. Aku bisa pulang sendiri." Sampai pangkalan angkot menuju rumahku, aku minta turun. Tanpa membantah, Raja menghentikan motornya.

"Rani maafkan aku. aku akan memberikan pengertian pada orang tuaku. Aku akan perjuangan cinta kita. Percayalah padaku Rani. Aku mencintaimu." Aku mengangguk berharap apa yang dijanjikan Raja adalah nyata.
Di dalam angkot, air mata ini terus menetes. Ucapan mamanya Raja terus terngiang.  Tiba di rumah. Aku langsung masuk kamar, tak perduli dengan wajah keheranan ayah dan ibuku.

Satu bulan, dua bulan tidak ada kabar sedikit pun dari Raja. Harapku yang tinggi semakin pupus. Hingga satu hari datang sebuah undangan pernikahan dan tertera sebuah nama yang membuat hatiku hancur berkeping-keping.  

"Menikah Raja Aditiya dan Puspita Dewi." kubaca surat itu dengan hati remuk redam.

"Raja ...."  Aku teriakan namanya berharap sesak di dada ini berkurang.
Aku menangis histeris menerima kenyataan dia meninggalkanku, mengingkari janji untuk memperjuangkan. Aku bak wanita bodoh yang terbang tinggi dengan janji palsu dan dihempas begitu keras. Sakit.
Hari-hari aku lalui tanpa gairah. Dunia rasanya hampa dan gelap. Kuliahku berantakan, berbulan-bulan mengurung diri di rumah dan terpaksa aku mengambil cuti kuliah.  Ayah ibu melihatku prihatin.
Satu tahun berlalu aku mulai bangkit. Kembali melanjutkan hidup, melanjutkan kuliah dan lulus. Atas pilihan orang tua akhirnya aku menikah dengan seorang pemuda yang baik dan kami dikaruniai tiga anak, namun sayang usia suamiku tidaklah lama.
***


"Bunda ..., berisik banget sih itu handphone! Angkatan Bun. Siapa tahu itu telepon penting." Lamunanku buyar mendengar teguran Gadis,  putri bungsuku. Rupanya gawaiku terus berbunyi dan aku abaikan.

"Bunda ngelamun apa sih?"

"Eh enggak, Bunda udah ngantuk makanya ga ngeh sama hape." Aku beralasan.

"Udah sana bobo, udah jam dua belas ini." Kulirik jam dinding yang menunaikan waktu dini hari. Dan aku memilih untuk mengabaikan pesan-pesan dan panggilan  Raja di whatsapp, aku memilih tidur.

[Maharaniku. Aku minta maaf atas dosa-dosaku dulu, kini aku telah menduda dan aku tahu kamu pun telah janda. Allah menghendaki kita bersama.]

[Tolong kirimkan alamatmu aku akan datang melamarmu.]
Pagi hari setelah urusan rumah selesai, kubaca chat Raja yang kuabaikan semalam.

"Ish ..., udah tuir, masih aja gombal. Buaya darat kau." rutukku bicara sendiri.

"Kenapa Bun, pagi-pagi udah misuh-misuh?" Dara putri tengahku bertanya.

"Ini ada orang iseng salah alamat kirim whatsapp," jawabku asal.

"Cie cie Bunda ..., digodain cowok nih." Ketiga putriku nimrung.

"Apaan sih kalian, sudah sana sarapan dan segera berangkat."

"Bun. Kami udah baca chat yang dari Om Raja itu loh. Pacar bunda waktu KKN. Cie .... Bunda ...!"

"Astagfirullah. Kalian buka handphone  Bunda?" Mataku mendelik. Aku elus dada karena shok.

"Cie muka Bunda Merah ...."
Ketiga anakku terkikik. Dasar anak jaman sekarang, ibu sendiri malah digodain.
Di antara rasa kesal dan jengah, ada rasa hangat menyelinap, dan hatiku kembali  berbunga, rasanya waktu kembali ke masa muda.

Satu minggu berlalu kami dikagetkan dengan kiriman satu unit motor metic keluaran terbaru, dengan taksiran harga di atas dua puluh juta.

"Maaf ini Bu surat tanda terimanya," Seorang kurir dari deler motor  menyodorkan kertas tanda terima.

"Maaf, Mas. Tapi ini motornya dari siapa ya?"

"Atas nama Ibu Maharani betul?"

"Iya betul itu nama saya, tapi saya ga pernah pesan atau beli, Mas."

"Oh Maaf Bu. Kami hanya menjalankan tugas. Permisi." pamit para  petugas deler.

Dalam kondisi masih bingung, sebuah mobil putih berhenti tidak jauh dari halaman rumah kami. Seorang pria keluar dan spontan perhatianku dan anak-anak tertuju padanya.
Seketika mataku bertumbuk pada wajah yang tak asing. Waktu serasa berhenti berputar, begitu pun dengan jantungku. Sorot matanya yang tajam bagai elang.  Wajahnya yang masih rupawan dan terkesan begitu dewasa dengan usia yang sangat matang. Desiran rasa yang pernah hilang kini kembali datang.

"Raja Aditiya" bisikku.

"Aku menemukan kamu Maharani. Semudah aku mendapatkan nomormu, semudah itu aku menemukan alamatmu. Oiya kamu suka motornya?"

"Oh ...! Jadi Om ini yang beliin  Bunda motor. Keren Om kami suka."
Aku masih diam terpaku dan bingung, malah putri-putriku yang heboh.

"Om. Ayo masuk."
Raja digiring masuk oleh ketiga putriku. Kami duduk di ruang keluarga, kebetulan di rumah sedang ada kakak. Raja berkisah tentang masa muda saat KKN dan tentu saja tentang kisah cinta kami. Kisah ia tutup dengan mengutarakan niatnya untuk melamarku.

"Rani. Allah mempertemukan kita kembali.  Artinya kita berjodoh dunia akhirat. Terima ya aku melamarmu?"
Sebuah kotak beludru berwarna merah berisi cincin ia berikan padaku.

"Kita ini sudah tua, Raja. Jangan aneh-aneh deh. Malu sama anak-anak."

"Enggak ah. Bunda dan Om Raja masih muda kok. Buktinya tuh, Om Raja masih Ganteng loh. Bunda juga."

"He'em" Ketiga putriku menimpali.
Raja memainkan alisnya. Isyarat menanti jawaban pasti dariku.

"Hemh ..., aku ikut keputusan anak-anak dan waliku. Jika mereka setuju, aku terima lamaranmu" ucapku malas, alias pura-pura malas. Eeh!

"Aku setuju." ucap kakaku tegas.

"Yeyeyeye .... Punya ayah baru." Ketiga anakku malah bergembira. Tapi sungguh  aku juga masih cinta sama Raja sih. Eeh!

***

Akhirnya kami pun menikah. Ya Allah. Aku serasa bermimpi. Cinta pertama saat KKN dulu kini jadi suamiku di usia kami yang tak lagi muda. Takdir -Mu penuh rahasia. Semoga kami menjadi keluarga sakinah sampai tua. Aamiiin.
Tamat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun