"Den Raga sengaja meminta Mang Barna melukis Sadewa. Dia menolak saat Mang Barna mengusulkan untuk melukis Nakula di sampingnya," jelas Mang Barna saat Alika bertanya mengenai lukisan itu.
      "Apa alasannya, Mang?"
      "Mang Barna juga kurang tahu. Kalo kata salah satu sepupunya mah, sejak kematian Jiwa, kembarannya setahun sebelum mereka lulus SMP, Den Raga seolah gak mau lagi dihubung-hubungkan dengan saudaranya itu. Mungkin karena itulah makanya Den Raga hanya menyuruh Mang Barna, membuat lukisan Sadewa tanpa adanya Nakula," terang Mang Barna.       Sepeninggal Raga, akhirnya Alika menjadi tahu alasan kenapa selama ini Raga tidak begitu banyak menceritakan kisah hidupnya. Selama dua tahun lamanya Alika mengenal Raga, dia hanya dibuat terpukau dengan penjelasannya akan gedung-gedung tua, lanskap kota, stasiun kereta api dan cerita tentang indahnya Bandung.
      "Aaah Raga, kenapa kamu begitu tertutup kepadaku. Bahkan selama ini, aku dan teman-teman di sekolah tidak pernah tahu kalau kamu punya seorang saudara kembar bernama Jiwa dan kamu begitu berduka saat kehilangan saudara kembarmu itu!" batin Alika pedih.
*****
      "Ga... lihat! Aku sekarang sudah menjadi mahasiswa seni rupa ITB sesuai dengan kesepakatan kita!" gadis itu mendesis. Ingatannya kembali berkelana ke setiap perbincangan seru bersama Raga.
      "Ada yang bilang kalau Bandung tercipta saat Tuhan sedang tersenyum!" kata Raga suatu hari. Saat itu dia dan Alika sedang asyik menikmati secangkir kopi di salah satu kafe di sudut jalan Alkateri.
      "Oh ya?"
      "Iya... Makanya meskipun hujan, aku selalu menikmati Bandung dengan tersenyum!" jawab Raga, disusul dengan menyumpalkan seiris roti selai sarikaya yang sudah mulai dingin ke dalam mulutnya. Memang benar, selama ini Alika tak pernah sekalipun melihat Raga murung. Alika selalu melihat ada kobaran semangat di bola mata laki-laki itu.
      "Aah...aku belum bisa lupa Ga!" bisik Alika getir. Lagi-lagi hujan mengguyur Bandung saharian ini. Suasana muram nyata terasa memayungi jalanan lengang di sepanjang jalan Gelap Nyawang. Deretan kios penjual makanan sebagian sudah mulai tutup. Sedikit tergesa, Alika mempercepat langkahnya. Di ujung jalan, dia berbelok melewati ruas jalan Ciungwanara. Dari kejauhan, gerbang parkir sayap kanan kampus ITB masih terlihat sibuk melayani beberapa kendaraan yang keluar masuk.
      "Aww...!" tiba-tiba gadis itu menjerit saat sebuah sepeda motor melintas dengan sembarang. Sialan! Gadis itu merutuk. Dia kesal sepatunya basah dan terlebih dia juga kesal karena kenangannya tentang Raga menjadi terusik.