"Ini Sadewa. Dia adalah putra terakhir dari Prabu Pandu dengan istri keduanya Dewi Madrim. Sadewa memiliki kepandaian di atas rata-rata jika dibandingkan dengan saudaranya yang lain. Sadewa juga dikenal sebagai sosok yang sangat perhatian terhadap rakyatnya," jelas Raga saat Alika mematung di depan lukisan itu.
      "Kenapa wayang goleknya dilukis sendirian? Bukannya Sadewa mempunyai saudara kembar bernama Nakula?" tanya Alika heran. Tapi Raga tak menjawab, dia malah mengalihkan perhatiannya dengan bertanya ke Mang Barna.
      "Uli gak main kesini, Mang?"
      "Belom... kan sekarang mah si Uli udah sekolah di Paud, Den!"
      "Waah... sok sibuk banget sih balita itu!" seloroh Raga lalu terbahak membayangkan anak terkecil Mang Barna yang masih balita, sekarang sudah menjadi anak sekolah. Mang Barna ikut tertawa. Sementara Alika menyaksikan keduanya dengan tanya yang menggantung.
*****
      "Aku ingin menjadi seorang arsitek, Al! Itulah kenapa aku suka sekali melihat-lihat gedung tua. Dan suatu saat, aku ingin membuat ribuan gedung di kota ini," ungkap Raga.
      "Ya udah, kalo gitu hayu kita buat kesepakatan!"
      "Kesepakatan apa?"
      "Kita sama-sama berjuang supaya bisa masuk ke ITB. Kamu ambil arsitek, aku ambil seni rupa," ungkap Alika.
      "Hmm... Oke! Siapa takut!" sambut Raga. Dan mereka pun tergelak. Sampai kemudian Alika menyadari, gelak itu tak akan pernah lagi terdengar. Sayangnya, tak berselang lama setelah Raga dinyatakan lolos masuk jurusan Arsitektur ITB, kecelakaan motor mengantarkan dia untuk bertemu saudara kembarnya, Jiwa di Surga. Sejak itulah, akhirnya Alika tahu alasan kenapa lukisan Sadewa di kios Mang Barna dibuat tanpa ada Nakula di dalamnya.