Mohon tunggu...
Maureen Assyifa Agnimaya
Maureen Assyifa Agnimaya Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Saya seorang pelajar di salah satu SMA negeri di Bandung. Sebenarnya cita-cita saya adalah menjadi seorang fashion designer karena saya suka sekali menggambar. Saya juga suka menulis cerpen, dan beberapa kali pernah menjadi juara menulis cerpen di berbagai lomba. Di media ini, saya akan menitipkan cerpen-cerpen yang pernah saya ikut sertakan dalam lomba menulis. Semoga menjadi inspirasi buat siapapun yang mencari referensi menulis cerita yang sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hujan di Tengah Bandung yang Sedang Tersenyum

26 Maret 2024   07:16 Diperbarui: 26 Maret 2024   07:29 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            "Iya beneran... bunda dan ayah sepakat memberi nama kucing ketiga belas keluarga kami dengan nama Kaya Raya!" jelas Alika. Pemberian nama yang terlampau berat hanya untuk seekor kucing, pikir Raga. Dan Raga hanya mampu terkekeh menanggapinya.

            Selanjutnya hari-hari Raga, sebagian besar dilalui bersama Alika. Mereka banyak bertukar cerita, termasuk tentang ragam budaya dari tempat mereka masing-masing. Sedikit demi sedikit, Alika pun mulai belajar berbahasa Sunda. Mendengar gadis itu mengucap kata "hatur nuhun" dengan logat Sasak, membuat Raga terbahak.

            Bersama Alika, akhirnya Raga mempunyai teman untuk menikmati dan berdiskusi tentang gedung-gedung tua yang masih banyak berdiri di sepanjang jalan Braga, Lembong dan juga jalan Tamblong. Di hari-hari cerah, terkadang Raga membawa Alika menyambangi stasiun kereta api yang ada di Bandung. Di mulai dari stasiun paling ujung di daerah Padalarang dan berakhir di stasiun Nagreg.

            "Stasiun Nagreg adalah stasiun yang letaknya paling tinggi di Indonesia dan masih aktif sampai sekarang," terang Raga, saat mereka berdua berhasil menjejakan kaki di halaman stasiun Nagreg. Stasiun ini berada di perbatasan antara Bandung dan Garut, dengan ketinggian 848 di atas permukaan laut. "Kalau kamu melihat dari arah bawah, akan terlihat dengan jelas lajur rel kereta yang menanjak!" jelas Raga sambil menunjuk ujung rel yang mengecil. Seperti biasa, Alika selalu takjub mendengar penjelasannya. Dan Raga bangga karenanya.

            "Apa bedanya kupat tahu Padalarang dan kupat tahu Bandung?  Bukannya sama saja. Kan sama-sama dari Bandung," tanya Alika suatu hari. Sepiring kupat tahu telah tandas dia lahap. Waktu itu, Raga sengaja membawa Alika untuk mencicipi kupat tahu khas Padalarang, setelah sebelumnya mereka menyempatkan mampir ke stasiun Padalarang. Stasiun tersebut terletak di ujung barat kota Bandung. Bangunannya dibuat memanjang dengan kedua sisi yang berbeda bentuk. Bagian depannya bergaya Indisch Empire. Di bagian tengah, terdapat aula yang dibangun lebih tinggi dibanding bangunan sayap. Aula ini dilengkapi dengan bouvenlight sebagai bukaan cahaya. Sisi sebelah barat diperuntukkan untuk operasional stasiun seperti ruang karcis, kantor, dan juga gudang. Sedang bagian sisi satunya lagi, digunakan sebagai ruang tunggu penumpang, restoran dan toilet. Di sana Raga juga mengajak Alika untuk menyusuri area peron yang berbanjar dengan naungan overkapping berbentuk pelana kuda.

            "Beda dari kuahnya sih menurutku. Kupat tahu Bandung, kuahnya dibuat dari kacang tanah yang dihaluskan. Nah, kalau kupat tahu Padalarang, kuahnya terbuat dari santan dan campuran rempah! Mirip-mirip lontong sayur Betawi. Hanya bedanya kalau kupat tahu Padalarang campurannya sohun, kalau yang di Betawi kuahnya sudah dicampur sama irisan labu atau pepaya muda," terang Raga sambil menyantap sendok terakhir kupat tahu Padalarang yang tadi dia pesan.

            "Di Lombok juga ada makanan sejenis kupat tahu ini loh! Kami menyebutnya tipat tahu. Kuahnya dari bumbu kacang yang kental seperti bumbu gado-gado. Sebelum disiram bumbu kacang, ketupat yang telah dipotong-potong, ditaburi irisan kacang panjang rebus dan kerupuk terlebih dahulu," timpal Alika. "Kapan-kapan kita harus membuat ensiklopedia tentang berbagai jenis kupat tahu dan lontong sayur yang ada di Indonesia nih!" selorohnya kemudian. Raga menyambutnya dengan anggukan sekaligus tawa.

*****

            "Kenalin ini Alika, Mang! Alika, ini Mang Barna" kata Raga suatu hari. Saat itu, Raga pertama kalinya mengajak Alika mengunjungi pasar antik di bantaran sungai Cikapundung. Di sudut pasar itu terdapat sebuah kios yang agak tersembunyi. Letaknya paling ujung, dengan muka kios tepat menghadap ke arah aliran sungai. Ada puluhan lukisan berbagai ukuran yang tergantung di tembok kios. Beberapa di antaranya hanya terbingkai ruas bambu seadanya.

            "Halo Mang, aku Alika!" gadis itu menyambut uluran tangan Mang Barna, laki-laki paruh baya yang tadi diperkenalkan oleh Raga.

            Sejak hari itu, kios lukisan Mang Barna menjadi salah satu destinasi wajib yang Alika selalu kunjungi setiap minggunya. Bahkan terkadang dia datang ke sana tanpa ditemani oleh Raga. Alika begitu menikmati setiap lukisan yang dipajang di kios itu. Ada satu dua lukisan yang akhirnya pergi bersama dengan pembelinya. Tapi sebagian besar, lukisan di kios itu masih menggantung penuh harap. Ada satu lukisan yang menyita perhatian Alika saat pertama kali dia datang ke kios itu. Lukisan wayang golek dengan latar langit kebiruan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun