"Ehh... nggak, ini pertanyaannya serius kok!" elak Raga. Gadis itu terlihat kembali mendengus, membuat Raga sontak terbahak. Semenit... dua menit... hening memasung di antara mereka. Namun akhirnya gadis itu bersuara.
      "Karena hujan selalu membawaku berkelana ke ribuan kenangan. Aku bisa mencium aroma tanah saat dihantam beribu tetes air. Disaat itu, aku seolah terbawa ke masa di mana aku berlarian bersama warga Sasak menuju pantai di sepanjang Mandalika. Kami semua berbaur. Tua, muda, laki-laki, perempuan, kaya, miskin. Tak ada sekat di antara kami. Udara dingin yang tertinggal selepas hujan, tak menyurutkan keseruan kami mengikuti Bau Nyale..." manik dalam bola mata gadis itu menerawang. Kali ini rasanya sulit bagi Raga untuk tak hirau. Sejenak dia ikut terlarut dalam rasa rindu yang berhasil dirajut oleh gadis di hadapannya.
      "Bagi kami suku Sasak, tradisi Bau Nyale adalah tradisi yang selalu kami nantikan setiap tahun. Biasanya hujan akan turun sebelum Bau Nyale diadakan. Selepas hujan itulah, nyale banyak muncul dari balik karang. Biasanya nyale-nyale yang kami tangkap akan diolah menjadi nyale pa'dongo yaitu nyale yang dimasak dengan campuran kelapa parut yang disangrai. Hmm... rasanya sedap!" jelas gadis itu. Sambil bercerita, matanya mengerling jenaka lalu mengacungkan ibu jarinya seolah tengah merasakan makanan yang nikmat.
      "Pernah suatu waktu, jaringku penuh sesak dengan nyale yang berwarna-warni. Kata ayah, aku akan mendapat banyak berkah karena berhasil menangkap begitu banyak nyale..." lanjut gadis itu. Kali ini bola matanya terlihat berbinar. Seperti ada ribuan rindu yang tiba-tiba bergelayut di kedalaman netra itu.
      "Pasti kamu belum tahu kan, apa itu Bau Nyale?" tanya gadis itu kemudian. Raga hanya menggangguk tanpa berkomentar. "Bau itu artinya menangkap. Nyale itu artinya cacing. Jadi Bau Nyale adalah tradisi menangkap cacing," terang gadis itu.
      "Kenapa harus ada tradisi itu?" tanya Raga akhirnya. Mau tidak mau, dia menjadi penasaran akan Bau Nyale yang sedang diceritakan oleh gadis di hadapannya.
      "Mau tau aja atau mau tau banget?" goda gadis itu. Mata bulatnya lagi-lagi mengerling kocak ke arah Raga.
      "Katanya harus serius..." sungut Raga. Gadis itu tergelak. Tawanya renyah memenuhi selasar trotoar yang lengang. "Iyaa deh... aku terusin ceritanya ya!"
      Lalu mengalirlah rangkaian kisah yang begitu indah melalui celah bibirnya. Sebuah legenda tentang seorang putri cantik dari kerajaan Tonjang Beru bernama putri Mandalika. Saking cantiknya, sang putri pun menjadi rebutan para pangeran yang berasal dari berbagai kerajaan di sekitar pulau Lombok. Putri Mandalika bingung. Dia tidak menginginkan adanya perselisihan di antara para pangeran itu. Hingga akhirnya, putri Mandalika mengambil keputusan untuk terjun ke dalam laut. Tak lama, muncullah nyale atau cacing laut di sekitar pantai, tak jauh dari tempat putri Mandalika menceburkan diri. Masyarakat Sasak meyakini, nyale itu adalah jelmaan dari putri Mandalika.
      "Begitulah akhir kisahnya. Tragis memang, tapi kami percaya jika putri Mandalika sampai saat ini tetap memberikan kesejahteraan dan cinta kasihnya bagi semua masyarakat yang tinggal di pulau Lombok" pungkas gadis itu.
      "Pantas saja kamu diberi nama Alika. Supaya kamu bisa seperti putri Mandalika, selalu memberikan cinta dan kasih kepada semua orang ya?" tebak Raga selepas gadis itu menyelesaikan ceritanya. Lagi-lagi gadis itu tergelak. Ada semburat kemerahan yang menghiasi raut mukanya. Deretan gigi putihnya, terlihat menyembul di antara kedua bibirnya. Tak berubah, gadis itu masih sama dengan gadis hitam manis yang dua tahun lalu Raga kenal.