Mohon tunggu...
Maureen Assyifa Agnimaya
Maureen Assyifa Agnimaya Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Saya seorang pelajar di salah satu SMA negeri di Bandung. Sebenarnya cita-cita saya adalah menjadi seorang fashion designer karena saya suka sekali menggambar. Saya juga suka menulis cerpen, dan beberapa kali pernah menjadi juara menulis cerpen di berbagai lomba. Di media ini, saya akan menitipkan cerpen-cerpen yang pernah saya ikut sertakan dalam lomba menulis. Semoga menjadi inspirasi buat siapapun yang mencari referensi menulis cerita yang sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hujan di Tengah Bandung yang Sedang Tersenyum

26 Maret 2024   07:16 Diperbarui: 26 Maret 2024   07:29 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Neeeng... Neng Alikaaa...!"

            Seorang laki-laki paruh baya berseru. Tangannya yang legam, melambai ke arah seorang gadis yang tengah menyebrang. Jalanan di sisi sungai Cikapundung, sore itu sedikit lengang. Hujan yang mengguyur sejak pagi, sepertinya berhasil mengurungkan niat orang-orang yang hendak keluar rumah. Sesaat langkah gadis itu terhenti. Nampak dia mendongak dan membalas lambaian laki-laki paruh baya itu dengan ramah.

            "Kemarin, hatur nuhun coklatnya ya, Neng! Uli suka pisan..." laki-laki itu kembali berteriak dengan logat sunda yang kental.

            "Sawangsulna, Mang! Salam buat Uli ya!" balas gadis itu. Kembali dia berjalan sedikit tergesa. Terkadang kakinya terpaksa melompat saat melewati trotoar yang tergenang. Titik-titik air masih belum berhenti mendera, meninggalkan uap dingin yang mengudara. Tangan gadis itu terlihat sedikit pucat. Jemari langkainya menggenggam gagang payung semakin erat. Di persimpangan jalan Naripan, gadis itu berbelok. Melewati para pedagang makanan yang memadati bahu jalan, sontak perutnya keroncongan. Aroma batagor dan seblak, bergerilya memenuhi rongga hidungnya. Gadis itu meringis. Ada sejumput perih mengingat dulu dia selalu menikmati hujan, berteman semangkok batagor kuah dan juga Raga.

            "Aku tuh paling suka hujan," ucap gadis itu suatu hari. Mata bulatnya menerawang menembus bulir-bulir air yang berebut. Saat itu Bandung nampak begitu syahdu. Deretan pohon tabebuya yang memagar sepajang jalan, mulai berselimut kabut. Indah sekali. Keindahannya bertambah semarak, saat lampu jalan mulai menyala. Pohon tabebuya seolah memantulkan selaksa cahaya.

            "Kamu mau tahu gak kenapa alasannya?" gadis itu kembali bersuara. Kali ini suaranya bernada tanya. Pertanyaan absurd yang dia tujukan kepada sosok yang dari tadi terus sibuk dengan gawainya.

            "Iih, Ragaaa... kamu mau tahu gak alasannya?" gadis itu berseru. Tangannya menepuk bahu laki-laki di sampingnya. Pipinya cemberut. Raga, laki-laki yang sedari tadi duduk di sampingnya menoleh dan lalu tergelak.

            "Waah...awas itu pipinya meletus!" canda Raga. Gadis itu semakin merengut. Mata bulatnya mendelik kesal. Tak lama gadis itu kembali terdiam. Pandangnya dia alihkan ke arah awan hitam yang berarak. Di luar hujan semakin deras. Suaranya menderu bagai ribuan jarum yang terlempar dari angkasa. Tetesannya terdengar tepat di atas kepala. Suasana tenda penjual batagor tempat mereka berdua berbincang, sudah mulai sepi. Di luar pun tak begitu banyak orang yang berlalu lalang. Hanya satu dua yang nampak berjalan tergesa, menerobos derasnya hujan. Di depan sebuah minimarket, anak-anak tanggung berebut menawarkan jasa sewa payung.

            "Aku suka hujan!" lagi-lagi gadis itu mendesis tanpa melepaskan pandangnya dari arah hujan yang tak diam.

            "Apa alasannya?" akhirnya Raga mencoba bertanya, meski mau tidak mau dia sedikit kesulitan menyembunyikan geli yang terbit di hatinya. Lucu rasanya jika dia harus bertanya karena disuruh sebelumnya.

            "Kok nanyanya sambil senyum-senyum gitu?"

            "Ehh... nggak, ini pertanyaannya serius kok!" elak Raga. Gadis itu terlihat kembali mendengus, membuat Raga sontak terbahak. Semenit... dua menit... hening memasung di antara mereka. Namun akhirnya gadis itu bersuara.

            "Karena hujan selalu membawaku berkelana ke ribuan kenangan. Aku bisa mencium aroma tanah saat dihantam beribu tetes air. Disaat itu, aku seolah terbawa ke masa di mana aku berlarian bersama warga Sasak menuju pantai di sepanjang Mandalika. Kami semua berbaur. Tua, muda, laki-laki, perempuan, kaya, miskin. Tak ada sekat di antara kami. Udara dingin yang tertinggal selepas hujan, tak menyurutkan keseruan kami mengikuti Bau Nyale..." manik dalam bola mata gadis itu menerawang. Kali ini rasanya sulit bagi Raga untuk tak hirau. Sejenak dia ikut terlarut dalam rasa rindu yang berhasil dirajut oleh gadis di hadapannya.

            "Bagi kami suku Sasak, tradisi Bau Nyale adalah tradisi yang selalu kami nantikan setiap tahun. Biasanya hujan akan turun sebelum Bau Nyale diadakan. Selepas hujan itulah, nyale banyak muncul dari balik karang. Biasanya nyale-nyale yang kami tangkap akan diolah menjadi nyale pa'dongo yaitu nyale yang dimasak dengan campuran kelapa parut yang disangrai. Hmm... rasanya sedap!" jelas gadis itu. Sambil bercerita, matanya mengerling jenaka lalu mengacungkan ibu jarinya seolah tengah merasakan makanan yang nikmat.

            "Pernah suatu waktu, jaringku penuh sesak dengan nyale yang berwarna-warni. Kata ayah, aku akan mendapat banyak berkah karena berhasil menangkap begitu banyak nyale..." lanjut gadis itu. Kali ini bola matanya terlihat berbinar. Seperti ada ribuan rindu yang tiba-tiba bergelayut di kedalaman netra itu.

            "Pasti kamu belum tahu kan, apa itu Bau Nyale?" tanya gadis itu kemudian. Raga hanya menggangguk tanpa berkomentar. "Bau itu artinya menangkap. Nyale itu artinya cacing. Jadi Bau Nyale adalah tradisi menangkap cacing," terang gadis itu.

            "Kenapa harus ada tradisi itu?" tanya Raga akhirnya. Mau tidak mau, dia menjadi penasaran akan Bau Nyale yang sedang diceritakan oleh gadis di hadapannya.

            "Mau tau aja atau mau tau banget?" goda gadis itu. Mata bulatnya lagi-lagi mengerling kocak ke arah Raga.

            "Katanya harus serius..." sungut Raga. Gadis itu tergelak. Tawanya renyah memenuhi selasar trotoar yang lengang. "Iyaa deh... aku terusin ceritanya ya!"

            Lalu mengalirlah rangkaian kisah yang begitu indah melalui celah bibirnya. Sebuah legenda tentang seorang putri cantik dari kerajaan Tonjang Beru bernama putri Mandalika. Saking cantiknya, sang putri pun menjadi rebutan para pangeran yang berasal dari berbagai kerajaan di sekitar pulau Lombok. Putri Mandalika bingung. Dia tidak menginginkan adanya perselisihan di antara para pangeran itu. Hingga akhirnya, putri Mandalika mengambil keputusan untuk terjun ke dalam laut. Tak lama, muncullah nyale atau cacing laut di sekitar pantai, tak jauh dari tempat putri Mandalika menceburkan diri. Masyarakat Sasak meyakini, nyale itu adalah jelmaan dari putri Mandalika.

            "Begitulah akhir kisahnya. Tragis memang, tapi kami percaya jika putri Mandalika sampai saat ini tetap memberikan kesejahteraan dan cinta kasihnya bagi semua masyarakat yang tinggal di pulau Lombok" pungkas gadis itu.

            "Pantas saja kamu diberi nama Alika. Supaya kamu bisa seperti putri Mandalika, selalu memberikan cinta dan kasih kepada semua orang ya?" tebak Raga selepas gadis itu menyelesaikan ceritanya. Lagi-lagi gadis itu tergelak. Ada semburat kemerahan yang menghiasi raut mukanya. Deretan gigi putihnya, terlihat menyembul di antara kedua bibirnya. Tak berubah, gadis itu masih sama dengan gadis hitam manis yang dua tahun lalu Raga kenal.

*****

            Raga sedikit bergegas. Kakinya berlari kecil saat menyebrangi ruas jalan Belitung yang membentang, tepat di depan sekolahnya. Hampir saja dia terlambat. Sesaat setelah Pak Agus -- satpam sekolah -- menutup gerbang, bel sekolah pun berbunyi. Dengan kekuatan penuh, Raga mempercepat laju larinya.

            Tap...tap...tap!  Suara langkah sepatunya terdengar nyaring menyusuri koridor. Terlihat para siswa mulai berebut memasuki kelas masing-masing. Masih ada beberapa anak tangga yang harus Raga lewati sebelum dia berputar melintasi sebuah lorong hingga akhirnya sampai ke kelasnya. Raga tak menghiraukan suasana gaduh di sekitar. Matanya terus terpaku pada ujung sepatu yang dia pakai. Tiga puluh langkah lagi, bisiknya. Layaknya Naruto yang sedang berlari, dia condongkan tubuhnya ke arah depan lalu kedua tangannya dibentangkan lurus ke belakang. Tak berselang lama, akhirnya dia tiba di depan kelas. Sejenak dia berhenti, lalu berusaha mengatur aliran udara yang mendistorsi laju nafasnya. Beruntung dia belum benar-benar terlambat. Kondisi ruang kelas masih terdengar ribut. Sepertinya belum ada guru yang datang. Setelah dirasa jantungnya mulai berdetak dengan normal, Raga berjalan santai ke arah bangkunya.

            "Wahaaiiii jiwa Raga kamiii... akhirnya kau datang juga!" seru salah satu temannya, saat Raga memasuki ruangan kelas. Raga tak merespon. Dia tetap tenang berjalan menuju tempat biasa dia duduk. Suasana kelas semakin riuh.

            "Sstt... Ga! Ragaaa..." bisik salah satu temannya yang duduk tak jauh dari bangkunya.

            Raga menoleh. "Apa?"

            "Katanya ada murid baru ya?"

            Raga mengedikan bahu tak acuh.  "Mene keteheeee!" jawab Raga kocak. Namun benar saja. Tak lama, Bu Eti guru yang mengajar di jam pertama hari itu, datang bersama seorang gadis. Gadis itu bernama Alika. Dia berasal dari Lombok. Badannya kurus, dengan rambut tergerai sebatas bahu. Matanya bulat bernaungkan alis hitam berlarik. Kulitnya agak gelap. Manis. Saking manisnya, nyaris membuat teman laki-laki di kelasnya berubah menjadi zombie hiperaktif. Di tempatnya, Raga tetap geming dalam keriuhan. Hingga akhirnya, gadis itu berjalan mendekat ke arahnya, lalu duduk di bangku kosong sebelahnya.

            "Wooow... akhirnya Raga kami menemukan belahan jiwanya!" teriak salah satu temannya, disambut sorak sorai yang tak begitu jelas. Sejak saat itu, Raga seolah benar menemukan belahan jiwanya.  Di mana ada Raga, di situ pasti ada Alika. Sampai akhirnya Raga tahu kalau Alika suka sekali melukis. Raga juga tahu kalau Alika suka kucing.

            "Kamu harus kenalan sama kucing aku, Ga!" kata Alika satu waktu. "Namanya Kaya Raya!"

            "Hahh?"

            "Iya beneran... bunda dan ayah sepakat memberi nama kucing ketiga belas keluarga kami dengan nama Kaya Raya!" jelas Alika. Pemberian nama yang terlampau berat hanya untuk seekor kucing, pikir Raga. Dan Raga hanya mampu terkekeh menanggapinya.

            Selanjutnya hari-hari Raga, sebagian besar dilalui bersama Alika. Mereka banyak bertukar cerita, termasuk tentang ragam budaya dari tempat mereka masing-masing. Sedikit demi sedikit, Alika pun mulai belajar berbahasa Sunda. Mendengar gadis itu mengucap kata "hatur nuhun" dengan logat Sasak, membuat Raga terbahak.

            Bersama Alika, akhirnya Raga mempunyai teman untuk menikmati dan berdiskusi tentang gedung-gedung tua yang masih banyak berdiri di sepanjang jalan Braga, Lembong dan juga jalan Tamblong. Di hari-hari cerah, terkadang Raga membawa Alika menyambangi stasiun kereta api yang ada di Bandung. Di mulai dari stasiun paling ujung di daerah Padalarang dan berakhir di stasiun Nagreg.

            "Stasiun Nagreg adalah stasiun yang letaknya paling tinggi di Indonesia dan masih aktif sampai sekarang," terang Raga, saat mereka berdua berhasil menjejakan kaki di halaman stasiun Nagreg. Stasiun ini berada di perbatasan antara Bandung dan Garut, dengan ketinggian 848 di atas permukaan laut. "Kalau kamu melihat dari arah bawah, akan terlihat dengan jelas lajur rel kereta yang menanjak!" jelas Raga sambil menunjuk ujung rel yang mengecil. Seperti biasa, Alika selalu takjub mendengar penjelasannya. Dan Raga bangga karenanya.

            "Apa bedanya kupat tahu Padalarang dan kupat tahu Bandung?  Bukannya sama saja. Kan sama-sama dari Bandung," tanya Alika suatu hari. Sepiring kupat tahu telah tandas dia lahap. Waktu itu, Raga sengaja membawa Alika untuk mencicipi kupat tahu khas Padalarang, setelah sebelumnya mereka menyempatkan mampir ke stasiun Padalarang. Stasiun tersebut terletak di ujung barat kota Bandung. Bangunannya dibuat memanjang dengan kedua sisi yang berbeda bentuk. Bagian depannya bergaya Indisch Empire. Di bagian tengah, terdapat aula yang dibangun lebih tinggi dibanding bangunan sayap. Aula ini dilengkapi dengan bouvenlight sebagai bukaan cahaya. Sisi sebelah barat diperuntukkan untuk operasional stasiun seperti ruang karcis, kantor, dan juga gudang. Sedang bagian sisi satunya lagi, digunakan sebagai ruang tunggu penumpang, restoran dan toilet. Di sana Raga juga mengajak Alika untuk menyusuri area peron yang berbanjar dengan naungan overkapping berbentuk pelana kuda.

            "Beda dari kuahnya sih menurutku. Kupat tahu Bandung, kuahnya dibuat dari kacang tanah yang dihaluskan. Nah, kalau kupat tahu Padalarang, kuahnya terbuat dari santan dan campuran rempah! Mirip-mirip lontong sayur Betawi. Hanya bedanya kalau kupat tahu Padalarang campurannya sohun, kalau yang di Betawi kuahnya sudah dicampur sama irisan labu atau pepaya muda," terang Raga sambil menyantap sendok terakhir kupat tahu Padalarang yang tadi dia pesan.

            "Di Lombok juga ada makanan sejenis kupat tahu ini loh! Kami menyebutnya tipat tahu. Kuahnya dari bumbu kacang yang kental seperti bumbu gado-gado. Sebelum disiram bumbu kacang, ketupat yang telah dipotong-potong, ditaburi irisan kacang panjang rebus dan kerupuk terlebih dahulu," timpal Alika. "Kapan-kapan kita harus membuat ensiklopedia tentang berbagai jenis kupat tahu dan lontong sayur yang ada di Indonesia nih!" selorohnya kemudian. Raga menyambutnya dengan anggukan sekaligus tawa.

*****

            "Kenalin ini Alika, Mang! Alika, ini Mang Barna" kata Raga suatu hari. Saat itu, Raga pertama kalinya mengajak Alika mengunjungi pasar antik di bantaran sungai Cikapundung. Di sudut pasar itu terdapat sebuah kios yang agak tersembunyi. Letaknya paling ujung, dengan muka kios tepat menghadap ke arah aliran sungai. Ada puluhan lukisan berbagai ukuran yang tergantung di tembok kios. Beberapa di antaranya hanya terbingkai ruas bambu seadanya.

            "Halo Mang, aku Alika!" gadis itu menyambut uluran tangan Mang Barna, laki-laki paruh baya yang tadi diperkenalkan oleh Raga.

            Sejak hari itu, kios lukisan Mang Barna menjadi salah satu destinasi wajib yang Alika selalu kunjungi setiap minggunya. Bahkan terkadang dia datang ke sana tanpa ditemani oleh Raga. Alika begitu menikmati setiap lukisan yang dipajang di kios itu. Ada satu dua lukisan yang akhirnya pergi bersama dengan pembelinya. Tapi sebagian besar, lukisan di kios itu masih menggantung penuh harap. Ada satu lukisan yang menyita perhatian Alika saat pertama kali dia datang ke kios itu. Lukisan wayang golek dengan latar langit kebiruan.

            "Ini Sadewa. Dia adalah putra terakhir dari Prabu Pandu dengan istri keduanya Dewi Madrim. Sadewa memiliki kepandaian di atas rata-rata jika dibandingkan dengan saudaranya yang lain. Sadewa juga dikenal sebagai sosok yang sangat perhatian terhadap rakyatnya," jelas Raga saat Alika mematung di depan lukisan itu.

            "Kenapa wayang goleknya dilukis sendirian? Bukannya Sadewa mempunyai saudara kembar bernama Nakula?" tanya Alika heran. Tapi Raga tak menjawab, dia malah mengalihkan perhatiannya dengan bertanya ke Mang Barna.

            "Uli gak main kesini, Mang?"

            "Belom... kan sekarang mah si Uli udah sekolah di Paud, Den!"

            "Waah... sok sibuk banget sih balita itu!" seloroh Raga lalu terbahak membayangkan anak terkecil Mang Barna yang masih balita, sekarang sudah menjadi anak sekolah. Mang Barna ikut tertawa. Sementara Alika menyaksikan keduanya dengan tanya yang menggantung.

*****

            "Aku ingin menjadi seorang arsitek, Al! Itulah kenapa aku suka sekali melihat-lihat gedung tua. Dan suatu saat, aku ingin membuat ribuan gedung di kota ini," ungkap Raga.

            "Ya udah, kalo gitu hayu kita buat kesepakatan!"

            "Kesepakatan apa?"

            "Kita sama-sama berjuang supaya bisa masuk ke ITB. Kamu ambil arsitek, aku ambil seni rupa," ungkap Alika.

            "Hmm... Oke! Siapa takut!" sambut Raga. Dan mereka pun tergelak. Sampai kemudian Alika menyadari, gelak itu tak akan pernah lagi terdengar. Sayangnya, tak berselang lama setelah Raga dinyatakan lolos masuk jurusan Arsitektur ITB, kecelakaan motor mengantarkan dia untuk bertemu saudara kembarnya, Jiwa di Surga. Sejak itulah, akhirnya Alika tahu alasan kenapa lukisan Sadewa di kios Mang Barna dibuat tanpa ada Nakula di dalamnya.

            "Den Raga sengaja meminta Mang Barna melukis Sadewa. Dia menolak saat Mang Barna mengusulkan untuk melukis Nakula di sampingnya," jelas Mang Barna saat Alika bertanya mengenai lukisan itu.

            "Apa alasannya, Mang?"

            "Mang Barna juga kurang tahu. Kalo kata salah satu sepupunya mah, sejak kematian Jiwa, kembarannya setahun sebelum mereka lulus SMP, Den Raga seolah gak mau lagi dihubung-hubungkan dengan saudaranya itu. Mungkin karena itulah makanya Den Raga hanya menyuruh Mang Barna, membuat lukisan Sadewa tanpa adanya Nakula," terang Mang Barna.             Sepeninggal Raga, akhirnya Alika menjadi tahu alasan kenapa selama ini Raga tidak begitu banyak menceritakan kisah hidupnya. Selama dua tahun lamanya Alika mengenal Raga, dia hanya dibuat terpukau dengan penjelasannya akan gedung-gedung tua, lanskap kota, stasiun kereta api dan cerita tentang indahnya Bandung.

            "Aaah Raga, kenapa kamu begitu tertutup kepadaku. Bahkan selama ini, aku dan teman-teman di sekolah tidak pernah tahu kalau kamu punya seorang saudara kembar bernama Jiwa dan kamu begitu berduka saat kehilangan saudara kembarmu itu!" batin Alika pedih.

*****

            "Ga... lihat! Aku sekarang sudah menjadi mahasiswa seni rupa ITB sesuai dengan kesepakatan kita!" gadis itu mendesis. Ingatannya kembali berkelana ke setiap perbincangan seru bersama Raga.

            "Ada yang bilang kalau Bandung tercipta saat Tuhan sedang tersenyum!" kata Raga suatu hari. Saat itu dia dan Alika sedang asyik menikmati secangkir kopi di salah satu kafe di sudut jalan Alkateri.

            "Oh ya?"

            "Iya... Makanya meskipun hujan, aku selalu menikmati Bandung dengan tersenyum!" jawab Raga, disusul dengan menyumpalkan seiris roti selai sarikaya yang sudah mulai dingin ke dalam mulutnya. Memang benar, selama ini Alika tak pernah sekalipun melihat Raga murung. Alika selalu melihat ada kobaran semangat di bola mata laki-laki itu.

            "Aah...aku belum bisa lupa Ga!" bisik Alika getir. Lagi-lagi hujan mengguyur Bandung saharian ini. Suasana muram nyata terasa memayungi jalanan lengang di sepanjang jalan Gelap Nyawang. Deretan kios penjual makanan sebagian sudah mulai tutup. Sedikit tergesa, Alika mempercepat langkahnya. Di ujung jalan, dia berbelok melewati ruas jalan Ciungwanara. Dari kejauhan, gerbang parkir sayap kanan kampus ITB masih terlihat sibuk melayani beberapa kendaraan yang keluar masuk.

            "Aww...!" tiba-tiba gadis itu menjerit saat sebuah sepeda motor melintas dengan sembarang. Sialan! Gadis itu merutuk. Dia kesal sepatunya basah dan terlebih dia juga kesal karena kenangannya tentang Raga menjadi terusik.

*****

(cerpen ini pernah diikutsertakan pada lomba menulis cerpen Felsi FLS2N SMA/MA/SMK Puspresnas tahun 2023)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun