"Kita orang miskin, Nok... tak pantas punya mimpi ketinggian!" suara perempuan paruh baya itu, terdengar parau di antara kepulan asap rokok yang berhamburan di celah bibir hitamnya yang bergincu. Telapak tangan kasarnya, mengoleskan seulas bedak cair dan mengusapkannya kuat-kuat pada area pipi seorang gadis yang terduduk dengan raut wajah pasrah.
      "Buka mulutnya!" perintah perempuan itu lalu mengoleskan gincu merah pada area bibir si gadis yang terbuka lebar. Tak lama, perempuan tadi menyuruh gadis itu berdiri dan mematut pada sebuah cermin buram yang tertaut di balik pintu.
      "Nih kecrekannya... jangan lupa kalengnya ada di kolong meja!" perempuan itu berseru. Tangannya menyorongkan sebilah kayu seruas telapak, yang salah satu ujungnya telah terpasang beberapa lempeng tutup limun. Tangan gadis itu terulur lalu mendekap benda tadi dan meraih sebuah kaleng di bawah kolong meja reyot di sisi pintu. Selendang usang berwarna hijau, membebat pinggang gadis itu. Setelan berbahan beludru merah marun, nampak mencolok membungkus tubuh kurusnya yang coklat kehitaman. Sementara rambutnya yang pirang disasak sekedarnya, lalu diikat karet gelang. Sebuah bunga plastik berwarna kuning terselip di antara gulungan rambut itu.
      Dengan gontai, gadis itu berjalan menyusuri pecahan batu yang berserak di sepanjang rel kereta. Selintas, kepalanya menoleh ke deretan petak kumuh yang berjejer menghiasi pinggiran rel. Triplex usang dan seng berkarat, terangkai membentuk koloni tak beraturan. Di petak-petak itu, setiap malam puluhan manusia membaringkan rasa lelahnya, berjejalan dengan debu dan juga masalah yang beribu. Dan di petak itu pulalah, gadis itu hidup bersama seorang perempuan yang rasanya tak layak di panggil sebagai seorang ibu.
*****
Keringat menderu dari keningnya. Gadis itu terengah, di tengah kasur keras dalam sebuah bangsal. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri. Di mana aku? batinnya berbisik. Pandangannya terpaku pada suasana sekitar, di mana tirai putih dipasang menjuntai menutupi penglihatan.
Sayup-sayup daun telinganya menangkap percakapan dua orang dari balik tirai itu. Dengan nafas yang masih mencekat tenggorokan, susah payah ia membentangkan tangannya, perlahan meraih tirai agar tersingkap. Lilitan selang infus terasa mengganggu geraknya. Ragu-ragu, tirai pun tersingkir pelan. Dia tidak tahu perasaan janggal apa yang membuat hatinya begitu gamang, meski hanya sekedar menyingkap tirai yang telah membuat rasa penasaran merambat dalam hati.
Gadis itu duduk di tepi kasur, mengintip kedua orang yang tengah bercakap, tak jauh dari tempatnya berada. Seorang perempuan paruh baya tampak menggelengkan kepala kesana kemari dengan muram. Selintas perempuan itu menangkap ada sorot mata yang mengintip di balik tirai. Tergopoh perempuan itu mendekat. Kedua tangannya terulur, mendekap gadis itu dengan erat.
"Alhamdulillaaah, akhirnya kamu sudah sadar, Nok!" perempuan itu berseru, suaranya melengking menembus plafon yang disinari neon.
Tak lama pria bersetelan jas putih yang sedari tadi mematung di kursinya, ikut mendekat lalu menepuk bahu gadis itu sambil menebarkan seulas senyum.
"Syukurlah kalau kamu sudah siuman," ucapnya.
Siuman? batin gadis itu di sela-sela dekapan perempuan tadi. Gelang dan kalung imitasi, yang menghiasi kedua tangan dan leher perempuan itu bergemerincing, sahut menyahut dengan sedu sedannya. Bau parfum murahan menyeruak rongga hidung sang gadis, hingga membuatnya nyaris muntah. Gadis itu masih membeku. Susah payah dia berusaha mengumpulkan fragmen-fragmen memori yang membuncah dalam otaknya. Hatinya seketika mencelos, hangat pun diam-diam menyusup dalam dua maniknya. Kian lama, pikiran gadis itu menghitam, lalu mengembara ke satu per satu potongan memori.
Jemari kurusnya meraba wajah dan tubuhnya pelan. Bulir air mengucur semakin deras dari sudut kelamnya. Kini ia ingat betul, apa yang telah membuat hatinya terasa gamang. Apa yang telah membuatnya terasa hina dan rusak. Sekuat tenaga ia coba kumpulkan kepingan kisah yang berserak dalam otak. Sakit, sedih dan marah, berbancuh dalam sukmanya lalu berkapiler memenuhi bilik-bilik hatinya. Kembali nyeri itu mencengkeram dadanya kuat-kuat, hingga nyaris limbung.
"Jangan sok suci, lu!" bentak suara yang sepertinya tak asing.
Dengan sisa tenaga, gadis itu mencoba lagi berontak meski sia-sia. Kedua matanya tertutup secarik kain berwarna gelap, pun dengan mulutnya yang kini tertutup lakban.
"Fiuuhh!... Harusnya aku tak meludahi wajah tengik itu," batin gadis itu geram, mengingat kekonyolan yang tadi sempat dia lakukan.
"Lu kira, gue mau sama lu karna lu cantik, hah?" suara itu setengah berbisik di sisi gendang telinganya, diikuti tawa terkekeh yang menjijikan. Bau alkohol seketika menyergap penciuman lalu mengaduk seluruh isi perutnya.
Tiba-tiba, bulu-bulu halus meremang di setiap jengkal kulitnya. Tangan laki-laki itu terulur, lalu dengan kasar merenggut helai demi helai kain beludru yang membungkus tubuh ringkihnya. Sedetik kemudian gelap menyergap, menyisakan isak yang tertahan. Hari itu, untuk pertama kalinya dia merasakan kelir putih janggal itu acap kali menjuntai memenuhi netranya.
*****
 "Waaah... selamat ya Rubi! Anak ibu yang pintar dan cantik. Akhirnya kamu bisa lolos masuk SNMPTN!" seru ibu. Manik matanya berpedar penuh bintang, saat melihat hasil pengumuman SNMPTN di layar laptop yang disodorkan Rubi.
"Siapa dulu dong ayahnya!" sahut ayah lalu tergelak.
"Iihh... siapa juga dong ibunya!" timpal ibu tak mau kalah.
Tawa ibu dan ayah, beradu dan pecah, dipadu suara denting sendok saling terantuk, membuat sarapan kali ini terasa riuh. Di ujung meja, nampak kakaknya Rubi sumringah, membentangkan senyum lebarnya, yang membuat Kana semakin jengah.
Kana terduduk menatap mereka dengan perih. Semuanya tampak bahagia, tapi tidak denganku, batin Kana ngenes. Tuhan benar-benar sudah tak adil padanya.
Deg! Tiba-tiba, bidang di dada Kana serasa ditonjok oleh sekepal tangan dengan kuat. Spontan Kana meraba rasa nyeri itu. Sepersekian detik, aliran darah yang memompa jantungnya terasa ikut berhenti. Lalu semuanya menghitam dan lamat-lamat Kana mendengar suara ibu terpekik ketakutan.
Entah berapa lama. Ujung netra kelam Kana, tak bisa menangkap apa-apa selain warna putih. Ruang tak berujung, seolah menatap dirinya dengan bisu. Sudah tak terhitung rasanya. Acap kali ia merasakan jiwa dan raganya seolah terlempar pada sebuah ruangan aneh. Lalu dingin seketika menyerbu tubuh gempalnya, manakala segumpal warna putih berpedar memenuhi kedua manik netra.
Rasa nyeri itu masih saja mencengkeram dada Kana. Susah payah dia coba meresonansikan nafas yang tak beraturan. Beberapa menit, dirinya hanya mendengar degup jantung dan nafas samar-samar. Tak ada suara lain yang menginterupsi. Sunyi. Begitu janggal, namun lama kelamaan, rasa nyaman kian merangkul diri Kana, memeluknya dalam senyap yang membisu. Pikiran Kana nyaris kosong. Namun paling tidak, di sini dia bisa merasakan damai berteman kesendirian.
"Kana... kamu sudah tersadar, Nak?" sayup-sayup Kana mendengar suara ibu menelisik gendang telinga. Di ujung batas penglihatannya, jemari pucat ibu mengelus rambut Kana yang basah terkena keringat. Kembali perasaan janggal merenggut senyap yang entah berapa lama sudah mengurungnya. Lagi-lagi sebentik marah berkobar memenuhi ruang jiwanya, membuat tubuh Kana seketika meradang.
Tikk! Tetes hangat itu lama kelamaan membuncah nyaris tak terbendung. Kana tersedan menahan tangis yang rasanya perih. Â Di antara marah dan lara yang menyeruak memenuhi rongga jiwanya, Kana terkapar tak berdaya.
*****
      "Coba berbaring di sini, Kana!" perintah seorang perempuan muda yang duduk tepat di sebelah sofa berwarna coklat terang. Dengan ragu, gadis yang bernama Kana mendekati perempuan tadi, lalu perlahan menghempaskan pantatnya pada permukaan sofa.
"Ayo berbaring, Kana!" perempuan itu mengulang kembali perintahnya.
Pelan, Kana menggeser posisi duduknya dan merebahkan seluruh tubuhnya di hadapan perempuan tadi. Kulit sintetis yang membungkus sofa tempatnya terbaring, terasa dingin menyentuh kulit.
"Tarik nafasnya, Kan... Relax!" perintah perempuan itu lagi. Diam-diam Kana mengumpulkan oksigen yang mulai terasa tidak beraturan.
"Pejamkan matamu, kalau kamu takut, Kana!" suara perempuan itu terdengar setengah berbisik. Kana menuruti perintahnya. Lalu tiba-tiba, di hadapan Kana nampak ruangan putih yang tak bertepi. Tak lama warna putih itu berpedar kehitaman. Seketika nafas Kana tercekat dan gelap pun membekap. Kana tersentak, menggelepar mencari-cari udara.
"Relax, Kana!" bisik perempuan itu. Jemari langkainya, lembut mencengkeram punggung tangan Kana. Beberapa titik keringat perlahan terbit, membasahi dahi dan anak rambut Kana, meski semilir angin menjalar melalui celah Air Conditioner yang menebarkan aroma citrus yang terasa segar.
"Kamu tak harus cerita sekarang kalau sekiranya kamu belum siap, Kana!" suara perempuan itu mengalir dengan tenang, hanyut dalam luapan rasa gamang yang tadi menggenang. "Kamu boleh datang lagi kesini, kalau kamu mau... kapan saja kamu perlu cerita, aku siap buat mendengar."
Senyum perempuan itu merekah, menyembulkan deretan gigi seputih susu.
****
      Untuk beberapa menit, terdengar suara derap kaki beriringan di sepanjang koridor sekolah, menuju toilet di ujung bangunan. Salah satu dari langkah itu terdengar buru-buru, dan yang lainnya terdengar seperti terseret. Sampai tepat di depan pintu toilet, langkah kaki itu terhenti.
      "S-stop! S-sekarang lepasin t-tangan gue!" terdengar suara Kana terbata. Tangannya menepis jemari seorang anak laki-laki yang berusaha meraih pergelangan tangannya dengan kasar. Kana menghembuskan nafas dengan gelisah.
"Kenapa, Kana? Lu tau kan kalau lu baru aja nolak kebaikan gue? Hey, kalo gak ada gue, orang hina kayak lu tuh gak akan bisa apa-apa!" suara tenor anak laki-laki itu perlahan meninggi, disertai mata liarnya yang membelalak.
      "Ingat Kana, kalau ada orang yang tau lu udah gak suci lagi, hidup lu bakal lebih hancur. Mereka mana mau sama cewek gendut kayak balon macam lu! Gue cuman ngasih tau lho ya..." bisiknya lagi tepat di sebelah cuping telinga Kana. Didorongnya bahu lunglai gadis itu, pada tembok pualam yang membungkus toilet, lalu berlalu meninggalkannya.
Entah sejak kapan, hangat telah menggenang dalam telaga hitam Kana. Semuanya terasa melambat, tapi tidak dengan tempo nafasnya. Seakan kadar oksigen dalam ruangan itu menipis. Kana membuka kedua belah bibirnya, berusaha mengejar udara yang perlahan menjauh. Nihil. Tanganya mulai mencengkram batok kepalanya yang mulai berdengung tak karuan.
Bruuuk! Tubuhnya terjatuh membentur lantai toilet yang dingin. Nafasnya berjalan begitu cepat, sampai pada titik dia sudah tidak bisa mengaturnya. Dan seperti hari-hari lainnya, pandangan Kana kembali kabur, menyisakan warna putih benderang yang menyesaki garis penglihatannya.
*****
      Mata Kana nanar memperhatikan setiap jahitan pada ujung seragam berwarna hijau yang membalut tubuh gempalnya. Kancing seragam itu berderet memanjang dari batas leher menuju pangkal lutut. Mulutnya menghembuskan sisa-sisa udara yang tersekat di ujung tenggorokan.
Perlahan matanya teralih pada bingkai jendela yang tepat berada di samping ranjang besi, tempat dia terbaring. Bukan jendela kamarku, bisik Kana, saat sadar jika lekukan besi yang terpatri pada bingkai itu berbeda dengan jendela kamarnya. Dengan berat Kana paksakan tangannya terulur, mencoba menyentuh permukaan bingkai itu. Sia-sia, Kana meringis tertahan. Rasa nyeri menjalar di kedua pergelangannya. Ada lebam dan sayatan kemerahan jelas melingkari buku-buku yang menautkan jemari dengan tungkai tangan. Kana memperhatikan dengan seksama tanda itu. Luka apa ini? Otaknya mengembara, mengingat-ingat bagaimana bisa di tangannya ada luka seperti itu.Â
"Oh... Hai, kamu sudah bangun, Kana?" suara lembut seorang perempuan tiba-tiba menyentakannya. Kana menoleh ke arah suara itu. Nampak seorang perempuan muda tengah membungkuk sambil meletakan sebuah nampan berisi segelas susu dan pie coklat pada nakas di sebelah ranjang.
"Kamu pasti akan suka sama sarapan kali ini Kana!... lihat, pie coklat!" perempuan muda itu berseru riang sambil mengangkat piring kecil yang berisi seiris pie coklat. Darimana perempuan itu tahu, kalau aku suka pie coklat, pikir Kana heran.
"Hari ini, kamu sudah siap buat melihat bunga matahari, Kana?"
"Ehh...?"
"Iyaa... kan kamu pernah bilang, kalau bunga-bunga matahari di kebun mulai berbunga, kamu ingin melihatnya bermekaran. Dan tahu tidak... sekarang bunganya sedang bermekaran. Indaaah banget!" suara perempuan itu mengalir tanpa jeda, menyisakan Kana yang tersihir kebingungan.
"Tapi sebelum kita melihat bunga itu secara langsung, kamu harus sarapan dulu!" lanjut perempuan itu, lalu menyodorkan pie coklat yang tadi dia letakan di atas nakas.
Kana menggeleng, menolak perempuan itu dengan muram. Tangannya menepis piring yang tadi disodorkan. Dengan sigap, perempuan itu menangkap piring yang tadi nyaris terjatuh. Sial! Pie coklat kesukaan Kana, benar-benar terpental dan jatuh ke kolong ranjang.
"Waaah... untung aku ini mantan pendekar jalanan, jadi bisa dengan cepat menangkap piring ini, Kana!" perempuan muda itu berseru sambil tergelak. "Yang tadi itu namanya, jurus menangkap burung di atas angin!"
Kana terpukau melihat kelakuan konyol perempuan di hadapannya. Tapi sesaat kemudian manik matanya kembali menelusuri stelan hijau yang dia kenakan. Besar sekali ukuran baju ini, keluh Kana.
"Aku gak mau makan... nanti badanku semakin gendut mirip balon!" sungut Kana sekonyong-konyong. Bulir bening kembali berkapiler melintasi tulang pipinya. Tanpa sadar Kana terisak kesakitan.
*****
      Akhirnya Kana bisa lebih mengenal perempuan muda, yang setiap pagi selalu membawakan sarapan untuknya. Namanya Nok Esih. Perempuan kelahiran Indramayu, yang hitam manis dan kemayu. Setiap hari, Nok Esih dengan penuh sabar menemani Kana perlahan keluar dari bangsal kegamangan, yang selama ini membelenggu ruang jiwanya.
"Pelan-pelan saja Kana... tak perlu terburu-buru! Kalau hari ini kamu merasa curhat-mu cukup sampai di sini, tak apa. Kita bisa lanjut lagi besok, oke?" suara Nok Esih yang lembut selalu menenangkan jiwa Kana, yang lagi-lagi terbentur pada sebongkah rasa perih yang sulit dijabarkan. Sesekali Nok Esih merangkul bahu Kana, sekedar mentrasfer sejumput rasa nyaman untuk Kana. Di saat jiwa Kana kembali terbelenggu pada situasi yang membingungkan, Nok Esih mengajaknya keluar, menyusuri setapak yang berpagar barisan bunga matahari.
"Aku pernah berada pada posisi sepertimu, Kana!" ungkapnya suatu hari. Suaranya tercekat, sedikit bergetar. Sekilas Kana melihat di dasar matanya ada telaga tergenang. Lalu cerita yang tak kalah pilu meluncur di sela-sela bibir Nok Esih. Cerita bagaimana masa kecilnya terpaksa dia lalui bersama seorang ibu yang tak pernah mengenalkan apa itu kasih sayang. Cerita bagaimana masa remajanya harus terenggut sia-sia di tangan preman penguasa pasar. Dan semakin sakit rasanya, saat tahu kalau ibunya menerima lembaran rupiah dan sebungkus rokok, sesaat setelah preman itu meninggalkan tubuhnya terbaring tak berdaya.
Sampai suatu hari, dengan gelap mata Nok Esih melemparkan tubuh ringkihnya ke arah jalan, tepat disaat sebuah mobil mewah meluncur tak tertahan. Beruntung! Tuhan masih mengizinkan Nok Esih untuk bangkit dan menata hari-hari selanjutnya. Orang yang tak sengaja menabraknya, berhasil menyelamatkan nyawanya dan kemudian membesarkannya sampai akhirnya Nok Esih bisa berhasil menjadi seorang Psikiater yang terkenal.
"Apapun yang pernah terjadi, jangan pernah menyalahkan Tuhan, Kana!... semua ini terjadi bukan berarti Tuhan tak sayang sama kamu..." suara Nok Esih lembut tapi tepat menghujam pada pusaran tempat marah, benci, takut dan sedih yang selama ini saling bertautan dalam hati Kana.
"Lihatlah bunga matahari itu, Kana!" seru Nok Esih. Telunjuknya menggiring netra Kana, ke arah deretan bunga matahari yang berjejer di sisi pagar.
"Konon katanya bunga matahari adalah lambang optimisme dari seorang dewi bernama Clytie terhadap Helios, sang dewa matahari yang telah mencampakkannya. Lihat saja! ...kelopak bunga bunga matahari, selalu optimis dan penuh semangat. Dia berdiri tegak menghadap ke arah matahari tanpa kenal lelah. Padahal terkadang sang dewa meredup tersaput mendung," terang Nok Esih kemudian. Raut mukanya tak pernah lepas dari senyum yang merekah seperti bunga matahari.
"Jadi sekarang, bangkitlah Kana! Â Berdirilah lagi layaknya bunga matahari. Aku tahu ini tak mudah. Tapi ingatlah Kana, Tuhan tak pernah salah dalam mencipta kita. Dan setiap kita, terlahir dengan begitu istimewa!" Bisik Nok Esih. Jemarinya terasa hangat, menepuk punggung tangan Kana dengan lembut.
Tikk! Setetes hangat tiba-tiba mengalir di sudut mata Kana. Dengan susah payah Kana berusaha meresapi kata-kata Nok Esih, sementara pandangnya terlempar pada beberapa kupu yang terbang di sela kelopak bunga matahari yang merekah indah.
*****
(Bandung, 10 November 2022)
(cerpen ini pernah diikut sertakan dalam lomba menulis cerpen Bulan Bahasa UGM tahun 2022)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H