"Waaah... untung aku ini mantan pendekar jalanan, jadi bisa dengan cepat menangkap piring ini, Kana!" perempuan muda itu berseru sambil tergelak. "Yang tadi itu namanya, jurus menangkap burung di atas angin!"
Kana terpukau melihat kelakuan konyol perempuan di hadapannya. Tapi sesaat kemudian manik matanya kembali menelusuri stelan hijau yang dia kenakan. Besar sekali ukuran baju ini, keluh Kana.
"Aku gak mau makan... nanti badanku semakin gendut mirip balon!" sungut Kana sekonyong-konyong. Bulir bening kembali berkapiler melintasi tulang pipinya. Tanpa sadar Kana terisak kesakitan.
*****
      Akhirnya Kana bisa lebih mengenal perempuan muda, yang setiap pagi selalu membawakan sarapan untuknya. Namanya Nok Esih. Perempuan kelahiran Indramayu, yang hitam manis dan kemayu. Setiap hari, Nok Esih dengan penuh sabar menemani Kana perlahan keluar dari bangsal kegamangan, yang selama ini membelenggu ruang jiwanya.
"Pelan-pelan saja Kana... tak perlu terburu-buru! Kalau hari ini kamu merasa curhat-mu cukup sampai di sini, tak apa. Kita bisa lanjut lagi besok, oke?" suara Nok Esih yang lembut selalu menenangkan jiwa Kana, yang lagi-lagi terbentur pada sebongkah rasa perih yang sulit dijabarkan. Sesekali Nok Esih merangkul bahu Kana, sekedar mentrasfer sejumput rasa nyaman untuk Kana. Di saat jiwa Kana kembali terbelenggu pada situasi yang membingungkan, Nok Esih mengajaknya keluar, menyusuri setapak yang berpagar barisan bunga matahari.
"Aku pernah berada pada posisi sepertimu, Kana!" ungkapnya suatu hari. Suaranya tercekat, sedikit bergetar. Sekilas Kana melihat di dasar matanya ada telaga tergenang. Lalu cerita yang tak kalah pilu meluncur di sela-sela bibir Nok Esih. Cerita bagaimana masa kecilnya terpaksa dia lalui bersama seorang ibu yang tak pernah mengenalkan apa itu kasih sayang. Cerita bagaimana masa remajanya harus terenggut sia-sia di tangan preman penguasa pasar. Dan semakin sakit rasanya, saat tahu kalau ibunya menerima lembaran rupiah dan sebungkus rokok, sesaat setelah preman itu meninggalkan tubuhnya terbaring tak berdaya.
Sampai suatu hari, dengan gelap mata Nok Esih melemparkan tubuh ringkihnya ke arah jalan, tepat disaat sebuah mobil mewah meluncur tak tertahan. Beruntung! Tuhan masih mengizinkan Nok Esih untuk bangkit dan menata hari-hari selanjutnya. Orang yang tak sengaja menabraknya, berhasil menyelamatkan nyawanya dan kemudian membesarkannya sampai akhirnya Nok Esih bisa berhasil menjadi seorang Psikiater yang terkenal.
"Apapun yang pernah terjadi, jangan pernah menyalahkan Tuhan, Kana!... semua ini terjadi bukan berarti Tuhan tak sayang sama kamu..." suara Nok Esih lembut tapi tepat menghujam pada pusaran tempat marah, benci, takut dan sedih yang selama ini saling bertautan dalam hati Kana.
"Lihatlah bunga matahari itu, Kana!" seru Nok Esih. Telunjuknya menggiring netra Kana, ke arah deretan bunga matahari yang berjejer di sisi pagar.
"Konon katanya bunga matahari adalah lambang optimisme dari seorang dewi bernama Clytie terhadap Helios, sang dewa matahari yang telah mencampakkannya. Lihat saja! ...kelopak bunga bunga matahari, selalu optimis dan penuh semangat. Dia berdiri tegak menghadap ke arah matahari tanpa kenal lelah. Padahal terkadang sang dewa meredup tersaput mendung," terang Nok Esih kemudian. Raut mukanya tak pernah lepas dari senyum yang merekah seperti bunga matahari.