Namun rupanya keberanianku menyuarakan pendapat di muka publik, mendapat respon yang kurang baik dari berbagai pihak.
******
Di ujung tempat tidur, samar-samar aku melihat ibu yang tengah tertelungkup memeluk kedua kakiku yang terbungkus selimut. Dengan susah payah, aku berusaha menggerakan jari-jariku. Lilitan selang infus dan ventilator yang menutupi wajah, terasa mengganggu gerakanku.
Nitt...nitttt...nittt...Â
Suara monitor ICU yang berada di samping tempat tidur, terdengar sayup-sayup.
Entah sudah berapa lama aku berada di sini. Semuanya terasa asing. Pendingin ruangan yang menempel di atas pintu, terasa semilir menyentuh permukaan kulit.Â
Mataku terasa perih saat aku mengerjap. Selarik cahaya yang muncul di sela-sela ventilasi, sebagian mengaburkan pandanganku. Kepalaku terasa berat dan perih.
"Ughh!"
Tanpa sadar aku mengerang. Ibu yang sedari tadi masih terlelap, segera terbangun lalu beringsut mendekatiku.
"Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Nak?" tanya ibu pelan. Suaranya terdengar bergetar. Aku hanya mampu merespon dengan gerakan pada ruas jari tangan. Kembali rasa perih menjalar di batok kepalaku.
Sekitar 6 bulan lamanya, aku menghabiskan hari-hariku di sebuah rumah sakit di kota Birmingham, Inggris. Sejak kejadian penembakan yang menimpaku pagi itu, atas bantuan dari pemerintah, ayah dan ibu segera mengirimkanku ke sebuah rumah sakit di Birmingham, Inggris.