Kepalaku terasa basah. Lalu gelap. Aku tersungkur dan tak ingat apa-apa lagi.
***
Aku Malala. Kata ayah, namaku terinspirasi dari seorang pahlawan perempuan asal Afghanistan, yang berani menentang penjajah. Ayah berharap, aku pun bisa tumbuh menjadi perempuan yang pemberani. Aku terlahir dari orangtua yang demokratis dan sangat menghargai pendidikan.Â
Di mata kedua orangtuaku, pendidikan tidak mengenal gender. Semua berhak mendapatkan pendidikan secara merata, tak terkecuali bagi perempuan.
"Jadilah perempuan pintar, Malala!" kata ibu suatu waktu. Saat itu, tangan ibu tengah sibuk menyerut kentang untuk pakora (salah satu makanan khas Pakistan) yang sangat aku suka.
"Sebagai perempuan, kita juga berhak untuk bersekolah, meski kodrat kita adalah menjadi seorang ibu," lanjut ibu kemudian. Aku tak bergeming. Di ujung meja, mataku terpaku pada setiap gerakan yang ibu lakukan saat mencacah bawang merah dan beberapa lembar daun bayam.
"Ingat Malala, ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Maka dari itu perempuan harus pintar, supaya bisa mendidik anak-anaknya menjadi orang pintar!" pungkas ibu setengah berseru.Â
Tangannya sesaat terhenti dan pandangnya beralih menatapku. Sinar teduh dalam tatapan ibu, seketika menghangat dalam jiwaku. Aku masih berumur 12 tahun kala itu. Tapi apa yang ibu katakan, terus membekas dalam sanubariku sampai aku menjelang dewasa.
Ibuku adalah perempuan sederhana. Ibu seorang buta huruf. Seumur hidupnya ibu tak pernah mengenyam bangku sekolah. Namun begitu, ibuku adalah perempuan yang hebat.Â
Dengan keterbatasan pendidikan yang ibu dapat semasa mudanya, ibu membesarkan aku dan kedua adikku dengan pemikiran yang terbuka. Â Bahkan di usianya yang sudah tidak muda lagi, ibu tak pernah malu untuk belajar.
Sejak kecil, aku pun kerap menyaksikan ayah dan ibu berdiskusi dengan beberapa temannya tentang berbagai hal termasuk gagasan mereka untuk mendirikan sebuah sekolah di distrik Mingora.Â