Mohon tunggu...
Maureen Assyifa Agnimaya
Maureen Assyifa Agnimaya Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Saya seorang pelajar di salah satu SMA negeri di Bandung. Sebenarnya cita-cita saya adalah menjadi seorang fashion designer karena saya suka sekali menggambar. Saya juga suka menulis cerpen, dan beberapa kali pernah menjadi juara menulis cerpen di berbagai lomba. Di media ini, saya akan menitipkan cerpen-cerpen yang pernah saya ikut sertakan dalam lomba menulis. Semoga menjadi inspirasi buat siapapun yang mencari referensi menulis cerita yang sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku, Malala!

7 Mei 2023   15:07 Diperbarui: 10 Mei 2023   14:09 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mereka berdua tengah memungut sayuran yang sengaja dibuang oleh para pedagang di sudut Gwaro market. Sayur-sayur itu mereka masukan ke dalam sebuah keranjang usang. Saat aku bertanya kenapa ibu itu membiarkan anaknya tidak pergi ke sekolah, tiba-tiba ibu itu menghardik.

"Pergi kau, jangan ganggu kami!" ibu itu berseru ke arahku sambil tangannya mengacung-acungkan bilah bambu yang tadi dipakai untuk mengorek-ngorek tumpukan sayur.

Aku segera berlalu meninggalkan mereka dengan perasaan sedih.

Kondisi tempat tinggalku sebagian besar dihuni oleh warga dengan pemikiran yang masih konservatif. Bagi mereka, sekolah hanya diperuntukkan bagi laki-laki dan orang-orang yang mampu.

"Kenapa orang-orang di kota ini sangat membatasi pendidikan buat kaum perempuan dan golongan tak mampu, Ayah?" tanyaku suatu hari kepada ayah.

Ayah yang kala itu sedang asyik dengan buku-bukunya, sontak mendongak. Bukan sekali ini saja aku mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan pendidikan dan hak-hak perempuan kepadanya. Terkadang aku mengajukan keberatan akan kebijakan yang seolah membatasi ruang gerak perempuan dan kaum marjinal.

"Sebenarnya pendidikan tidak mengenal gender. Siapapun berhak untuk bersekolah, mau itu laki-laki atau perempuan. Pendidikan juga tidak mengenal kaya dan miskin," terang ayah mencoba menjawab pertanyaanku.

"Tapi kenapa di sini, kaum perempuan dan orang miskin dianggap tak layak untuk bersekolah? Kalau pun diperbolehkan, ilmu yang didapat sangat terbatas. Dan sebagai perempuan, kami tidak bisa bebas mengeluarkan isi pikiran kami." keluhku. Ayah tertawa kecil mendengar keluhanku. Sepertinya ayah takjub melihat putri kecilnya sekarang sudah semakin pandai menyuarakan keberatan dan pendapat.

"Tidak sia-sia ayah dan ibu memberikan kamu nama Malala!" serunya sambil menepuk bahuku. "Suatu saat, kamu akan bersuara lantang sebagai mana dulu Malala dengan keberaniannya menentang tentara Inggris saat menyerang Afghanistan!"

Sejak saat itulah, dengan dukungan dari ayah dan ibu, aku semakin berani menyuarakan pemikiranku akan hak-hak perempuan kepada dunia luar. 

Catatan harianku yang berisi tentang kegundahan hati akan kehidupan kaum marjinal di Mingora, mulai dimuat dalam sebuah laman berita internasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun