Mereka berdua tengah memungut sayuran yang sengaja dibuang oleh para pedagang di sudut Gwaro market. Sayur-sayur itu mereka masukan ke dalam sebuah keranjang usang. Saat aku bertanya kenapa ibu itu membiarkan anaknya tidak pergi ke sekolah, tiba-tiba ibu itu menghardik.
"Pergi kau, jangan ganggu kami!" ibu itu berseru ke arahku sambil tangannya mengacung-acungkan bilah bambu yang tadi dipakai untuk mengorek-ngorek tumpukan sayur.
Aku segera berlalu meninggalkan mereka dengan perasaan sedih.
Kondisi tempat tinggalku sebagian besar dihuni oleh warga dengan pemikiran yang masih konservatif. Bagi mereka, sekolah hanya diperuntukkan bagi laki-laki dan orang-orang yang mampu.
"Kenapa orang-orang di kota ini sangat membatasi pendidikan buat kaum perempuan dan golongan tak mampu, Ayah?" tanyaku suatu hari kepada ayah.
Ayah yang kala itu sedang asyik dengan buku-bukunya, sontak mendongak. Bukan sekali ini saja aku mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan pendidikan dan hak-hak perempuan kepadanya. Terkadang aku mengajukan keberatan akan kebijakan yang seolah membatasi ruang gerak perempuan dan kaum marjinal.
"Sebenarnya pendidikan tidak mengenal gender. Siapapun berhak untuk bersekolah, mau itu laki-laki atau perempuan. Pendidikan juga tidak mengenal kaya dan miskin," terang ayah mencoba menjawab pertanyaanku.
"Tapi kenapa di sini, kaum perempuan dan orang miskin dianggap tak layak untuk bersekolah? Kalau pun diperbolehkan, ilmu yang didapat sangat terbatas. Dan sebagai perempuan, kami tidak bisa bebas mengeluarkan isi pikiran kami." keluhku. Ayah tertawa kecil mendengar keluhanku. Sepertinya ayah takjub melihat putri kecilnya sekarang sudah semakin pandai menyuarakan keberatan dan pendapat.
"Tidak sia-sia ayah dan ibu memberikan kamu nama Malala!" serunya sambil menepuk bahuku. "Suatu saat, kamu akan bersuara lantang sebagai mana dulu Malala dengan keberaniannya menentang tentara Inggris saat menyerang Afghanistan!"
Sejak saat itulah, dengan dukungan dari ayah dan ibu, aku semakin berani menyuarakan pemikiranku akan hak-hak perempuan kepada dunia luar.Â
Catatan harianku yang berisi tentang kegundahan hati akan kehidupan kaum marjinal di Mingora, mulai dimuat dalam sebuah laman berita internasional.