"Bicaralah demi kebenaran, maka rasa takutmu akan ditaklukan," ~ Â Ziauddin Yousafzai.
Pagi itu, dengan penuh semangat aku bergegas menuju bus sekolah yang sudah menunggu di ujung jalan. Udara sejuk menyelimuti jalanan Mingora.Â
Sisa-sisa kabut seolah enggan meninggalkan lembah, sementara matahari sudah mulai malu-malu menampakan diri di balik bukit yang memagari lembah Swat.
Sudah ada lima orang anak yang sebaya denganku di dalam bus itu, termasuk Moniba sahabatku.
"Malalaaa!" teriak Moniba sambil melambaikan tangannya ke arahku. Aku tersenyum lebar dan segera berlari menghampirinya. Moniba sedikit beringsut dari duduknya, saat melihatku menaiki badan bus.
"Kamu sudah mengerjakan tugas menggambar?" tanya Moniba setelah aku menghempaskan badan di sampingnya. Aku menggangguk. Tanganku merogoh tas sekolah, dan mengeluarkan sebuah buku gambar dari dalamnya.
"Waaah...seperti biasa, kamu selalu berhasil menggambar bunga dengan begitu cantik!" seru Moniba, saat aku memperlihatkan hasil gambarku kepadanya. Aku tersenyum lalu memasukan kembali buku gambar itu ke dalam tas.
Tak lama, bus pun mulai melaju, menyusuri ruas-ruas jalan di Mingora yang sudah mulai hiruk dengan kendaraan yang berlalu lalang. Sepertinya jam menunjukan pukul 9 tepat, saat bus sekonyong-konyong terhenti. Dari tempatku, aku melihat beberapa orang bersenjata dengan wajah yang tertutup topeng memaksa masuk ke dalam bus.
"Mana yang namanya Malala?" seorang dari mereka berteriak keras sambil menodongkan moncong senapannya ke arahku dan yang lainnya. Ada tiga orang bersenjata yang aku lihat naik ke dalam bus.
"Mana yang namanya Malala?" sekali lagi orang tadi berteriak dengan nada semakin keras. Semuanya membisu. Aku melirik ke arah Sofia yang duduk tepat di samping jendela. Terlihat dia sudah mulai terisak. Dalam hitungan detik, tiba-tiba...
Dorr!!Â