Mohon tunggu...
Herman Wijaya
Herman Wijaya Mohon Tunggu... profesional -

Penulis Lepas.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Andaikata Pilpres 2019 Seperti Pertandingan Naomi Osaka-Serena Williams

11 September 2018   20:00 Diperbarui: 12 September 2018   09:33 2185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(theundefeated.com)

"Naomi Osaka Minta Maaf Karena Kalahkan Serena William", "Kalahkan Serena Williams, Mengapa Naomi Osaka Minta Maaf?". Begitu antara lain, judul yang dibuat oleh media online untuk memberitakan kemenangan petenis Jepang, Naomi Osaka, atas petenis wanita nomor satu Amerika, Serena Williams.

Awalnya tak seorang pun bakal menduga Naomi akan menang lawan Serena. Serena adalah petenis berpengalaman pemegang puluhan gelar bergengsi, sedangkan Naomi hanya petenis muda yang seperti baru masuk ke panggung internasional, walau masuk ke dunia tenis profesional sejak 2013. 

Jika tidak ada pertandingan bersejarah di ajang Amerika Serikat (AS) Terbuka 2018 itu, niscaya namanya tak akan muncul di media-media Indonesia, sehingga publik di Indonesia tak mengenal namanya.

Osaka memastikan gelar juara AS Terbuka di final pada Arthur Ashe Stadium, Minggu (9/9/2018) dini hari WIB. Petenis 20 tahun itu memetik kemenangan dua set 6-2, 6-4 atas Serena.

Pertandingan itu diwarnai dengan game penalty pada set kedua. Petenis tuan rumah, Serena, dinyatakan melakukan tiga kali pelanggaran. Penonton sempat marah kepada wasit dan menyoraki Naomi.

Penonton sudah pasti marah. Bagi pendukung, yang penting adalah pujaannya menang. Kalau kalah, apalagi kekalahannya disebabkan oleh faktor non teknis. Penonton atau pendukung, tidak mau tahu bahwa ada regulasi, ada aturan dalam setiap pertandingan yang harus ditaati oleh pemain maupun pelatih.

Dalam pertandingan Serena-Naomi, pelatih Serena telah memberikan instruksi kepada anak asuhnya. Wasit memberi peringatan, dengan mengurangi point Serena.

Serena bereaksi negatif terhadap peringatan Serena. Ia membanting raketnya, menuduh wasit sebagai "pembohong" atau "pencuri".

Ia mendapat point penalty karena  sebelum kemudian diberikan game penalty saat tertinggal 3-4 setelah meluncurkan serangan verbal terhadap Ramos, menuduhnya sebagai "pembohong" dan "pencuri" karena mencuri poin dari dirinya. Game penalty membuat Osaka memimpin 5-3 dan petenis Jepang berusia 20 tahun itu menjaga ketenangannya untuk mengukir kemenangan bersejarah.

Setiap pemenang, sudah selayaknya menikmati kemenangan dengan sukacita, tak perduli lawan yang dihadapinya sedang meratapi kegagalan. Pemandangan seperti itu lazim kita lihat dalam pertandingan sepakbola.

Namun Naomi tidak menunjukkan sikap berlebihan. Dia hanya mengangkat raket usai mengalahkan Serena, petenis yang sempat menjadi idolanya.

Media online menulis: Saat penyerahan trofi, Naomi malah minta maaf. Dia menangis hingga menutupi wajah dengan topi visornya. Saat itu, mayoritas isi stadion mencemooh Osaka. Sampai-sampai Serena mencoba menenangkan penonton.

Rupanya, perasaan Osaka campur aduk saat itu. Dia bahagia tak terkira berhasil meraih gelar juara tenis grand slam pertama sepanjang karier. Tapi, dia, secara pribadi, tak bisa menyangkal betapa Serena, yang dikalahkannya, adalah seorang petenis besar yang tengah mengejar sejarah.

"Pertanyaan saat itu membuat saya emosional. Karena, saya tahu, dia amat sangat menginginkan gelar juara grand slam ke-24, betulkan? Itu muncul di iklan dan di mana-mana," ujar Osaka dalam konferensi pers usai pertandingan seperti dikutip NZHerald.

"Saya tahu semua orang mengejek dia, dan saya menyesal ini harus berakhir seperti ini," ujar Osaka. "Saya hanya ingin berterima kasih kepada Anda yang menyaksikan pertandingan. Selalu menjadi mimpi saya untuk bermain melawan Serena di final AS Terbuka. Saya benar-benar bersyukur dapat bermain melawan Anda."

Dari kalimat yang disampaikannya, kesedihan Naomi bukanlah karena sikap penonton atau tangis bahagia karena kemenangan, tetapi sedih karena ia telah mengalahkan orang yang menginginkan gelar juara grand slam ke-24!

Ia menghormati Serena. Dia tahu telah menggagalkan ambisi idolanya dan membuat sang idola terluka. Sungguh tidak ada kesombongan dalam sikap Naomi. Inilah, apa yang disebut dalam filosofi Jawa, menang tanpa ngasorake" (menang tanpa merendahkan lawan).

Nilai-nilai Jepang

Apa yang diperlihatkan Naomi Osaka setelah mengalahkan Serena William adalah implementasi nilai-nilai Jepang yang sangat positif. Sikap hormat kepada orang lain. Tidak ada ekspresi kesombongan karena unggul dengan orang lain. 

Bagi orang Jepang, sikap merasa lebih baik, lebih unggul dari orang lain, adalah sikap tidak patut yang harus dijauhkan dalam perilaku sehari-hari.

Masyarakat Jepang itu sangat menghargai suatu hubungan baik dengan orang lain. Maka dari itu ada beberapa dasar penting dari budaya, kebiasaan, dan aturan masyarakat jepang yang perlu diajarkan, misalnya sopan santun, sikap menghormati orang lain, sikap rendah hati, dan tidak ragu dalam meminta maaf.

Ojogi (membungkuk) adalah sebuah keharusan ataupun sebuah kewajiban ketika menghormati orang lain. Tradisi ini yang sudah diajarkan kepada anak-anak sejak balita.

Budaya Herikadu atau sikap rendah hati adalah salah satu budaya yang sangat istimewa yang ada di jepang. Dalam pemahaman orang jepang, sikap rendah hati ini berarti berinteraksi dengan sikap menghormati orang lain. Artinya, berinteraksi dengan orang lain sambil menunjukkan bahwa lawan bicara tersebut posisinya lebih unggul dan lebih hebat darinya.

Naomi bukan murni berdarah Jepang. Ibunya,  Tamaki Osaka berasal dari Jepang, dan ayahnya Leonard "San" Franois, lelaki kulit hitam berasal dari Haiti.  Dia memiliki dua kewarganegaraan: Jepang dan Amerika. Melihat sikapnya, ia mendapat pelajaran nilai-nilai Jepang dari ibunya.

Terkikis
Di Indonesia sikap rendah hati, menghormati orang lain juga dimiliki oleh setiap suku bangsa yang ada. Ramah dan murah senyum, adalah sikap paling menonjol bangsa Indonesia. Kita terbiasa memberi tamu minum, makan, bahkan bermalam bagi orang yang dikenal. Kebiasaan itu melekat pada diri orang Indonesia selama ratusan tahun.

Namun seiring perkembangan jaman, nilai-nilai positif di Indonesia makin tergerus. Yang menonjol saat ini adalah sikap kurang sabar, mau menang sendiri, hilangnya empati, senang melihat orang lain susah atau susah melihat orang lain senang, rakus, serakah dan bahkan menganggap orang yang berbeda sebagai musuh.

Saat ini hampir setiap hari kita melihat konflik di tengah masyarakat; tawuran anak-anak sekolah, tawuran antar kampung, antar kelompok, antar ormas dan antar suporter sepak bola. 

Perkelahian terjadi di jalan antar pengendara angkutan umum maupun pribadi, perkelahian antar aparat, di partai politik, di gedung parlemen, di layar televisi dan bahkan yang terkait dengan agama.

Perdebatan tanpa etika, caci maki, bahkan kontak fisik bukan  lagi aib, melainkan jalan yang sengaja dipilih untuk menjaga harga diri, membela kepentingan ini-itu, hingga ke urusan agama.

Ajaran untuk bermusyawarah, saling menghormati, bersikap sabar dan pemaaf seperti yang diajarkan agama, sudah dikesampingkan begitu bicara harga diri, bicara kepentingan atau keinginan untuk berkuasa. 

Sementara hukum dan aparat penegak hukum seringkali termehek-mehek bila harus berhadapan dengan pemegang kekuasaan, orang-orang yang punya pengaruh baik uang maupun jabatan, atau dengan kelompok-kelompok massa yang besar.

Dengan alasan demokrasi, apa saja yang ingin disampaikan, dikeluarkan tanpa memiliki etika, rasa hormat atau rasa takut. Tak cukup menyuarakan kebenaran, yang tidak benar pun disampaikan hanya untuk membela kepentingannya, terutama di media sosial. Maka media sosial kita pun jadi riuh rendah dengan perdebatan, saling caci maki, hoaks dan fitnah.

Pilplres

Suasana riuh rendah dengan tensi panas itu makin menjadi-jadi setelah ditunggangi kepentingan politik.  Para elite sadar betul bahwa massa adalah tangga yang penting untuk menggapai kekuasaan. 

Mereka lalu memainkan alat (memainkan isu) untuk merangsang emosi publik demi syahwat politiknya. Dan masyarakat di Indonesia yang umumnya tidak memahami permainan politik para elit, bersikap seperti jangkrik aduan: mudah marah bila dikilik.  

Para elit seperti dirigen dalam orkestra. Gerakan tangan (mulutnya) akan diikuti oleh masyarakat. Rakyat yang kadang hanya dapat bungkusan sembako sekali dalam lima tahun, rela mempertaruhkan nyawa demi elite yang menjadi junjungannya.

Naomi Osaka dan Serena Williams adalah contoh yang samgat bagus untuk dipelajari, bahkan diterapkan dalam kontestasi politik di Indonesia, terutama dalam Pilpres 2019 yang degupnya sudah mulai terasa sekarang.

Seperti dalam pertandingan di Amerika Open 2018 yang mempertemukan Naomi Osaka dan Serena Williams, Pilpres di Indonesia akhirnya kembali mempertemukan dua pasang calon, dengan Calon Presiden yang sama.

Seperti dalam pertandingan antara Naomi Osaka dan Serena Williams, kedua pihak juga bekerja keras, adu strategi untuk memenangkan pertandingan. Supporter di luar lapangan berteriak, bahkan mengecam wasit yang mengeluarkan putusan yang dinilai tidak adil.

Pemain pun protes. Tetapi wasit tidak terpengaruh, baik oleh protes penonton maupun pemain. Wasit tetap tegas dan berpegang pada aturan. Ketegasan wasit itu pada akhirnya ditaati oleh pemain, walau pun tidak puas menerimanya.

Dalam Pilpres 2019 situasi panas pasti terjadi. Bahkan suasana panas sudah dirasakan, sementara tahapan Pilpres baru memasuki babak awal.

Perang urat syaraf sudah terjadi antara kedua kubu. Supporter juga sudah tidak sabar. Klaim-klaim bermunculan. Kinerja wasit juga mulai disorot. Pada tahap selanjutnya dipastikan suasana akan semakin memanas, terutama bila wasit tidak tegas dan berpijak pada subyektivitas.

Jika wasit tegas, bertindak sesuai aturan yang berlaku, tentu saja kedua kontestan tidak berani berbuat seenaknya. Kalau pun ada protes, wasit tinggal menunjukkan aturan mana yang dipakai dalam mengambil keputusan, sehingga kontestan memahami.

Akhir dari pertandingan adalah munculnya pemenang dan pihak yang kalah. Lagi-lagi, belajar dari pertandingan antara  Naomi Osaka dan Serena Williams, pemenang tidak menunjukkan eforia berlebihan yang menyakiti pihak yang kalah (menang tanpa ngasorake), sebaliknya pihak yang kalah juga bisa menerima kekalahannya, karena pertandingan sudah berjalan sesuai aturan.

Yang perlu dipahami oleh para kontestan bukan hanya filosofi menang tanpa ngasorake, tetapi juga filosofi lain yang setara dengan itu, yakni  Sugih tanpa Bandha (kaya tanpa harta). Kekayaan tidak semata-mata soal harta, tetapi juga persaudaraan, persahabatan, bisa membantu orang lain.

Kemudian Digdaya tanpa Aji (meraih kekuasaan bukan diraih karena kekuatan fisik). Yang dimaksud adalah, suatu kekuasaan tercipta karena citra dan wibawa seseorang, perkataannya, membuat orang lain sangat menghargainya.

Dan yang terakhir adalah  Nglurug tanpa Bala ( menyerang tanpa pasukan). Di sini memiliki arti bahwa kita haruslah menjadi orang yang berani bertanggung jawab, berani untuk beraksi walaupun terkadang tinggal kita sendiri. Sikap ini adalah mencontoh sikap kesatria.

Banyak sekali pelajaran untuk menciptakan Pilpres yang adil, adem-ayem, memberikan suasana gembira bagi rakyat, bukan menciptakan suasana panas, permusuhan, mencekam, atau perpecahan. 

Demokrasi menyediakan ruang-ruang itu. Lain halnya jika kita masih sulit beranjak dari alam jaman batu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun