Mohon tunggu...
Matjhacoffee
Matjhacoffee Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswi

saya suka menulis berbagai hal yang penuh di otak saya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Fayre

12 September 2024   22:19 Diperbarui: 12 September 2024   22:23 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Selalu ada orang yang dikagumi diam-diam. Dia yang dikagumi tidak perlu dimiliki, cukup dipandang dari jauh. Karena jika bisa memegangnya, ia terlalu berharga. Makhluk terindah yang pernah hadir di hidup seorang laki-laki. Di dunia Pramoedya Arsen, ia simpan satu nama yang sangat ia kagumi. Arsen mana berani menampakkan cinta. Namun dalam aksaranya, tak pernah luput nama wanita tersebut. Arsen tidak peduli apakah gadis itu menyimpan rasa yang sama atau tidak. Karena yang terpenting, Arsen bahagia, dan Arsen senang akan hal itu.

Semua hal tentang gadis itu akan selalu Arsen tulis dan selalu membuat Arsen tersenyum dengan hati yang membuncah hangat. Bahkan hanya dengan mendengar namanya saja, hati Arsen seakan berlari mengejarnya. Kalau kalian penasaran siapa nama gadis tersebut, jawabannya ada di judul cerita ini. Iya, Fayre. Gadis yang kerap datang dengan tas yang memiliki gantungan kunci Kuromi. Fayre yang sederhana tanpa hiasan apa pun. Fayre yang senyumnya menggetarkan dunia Arsen.

Manusia di sekitar Arsen pasti tahu siapa Fayre. Satu-satunya gadis yang bisa membuat laju motor Kawasaki W175-nya melambat. Cuma Fayre yang akan ia beri tumpangan Himawan milik Arsen. Kini hanya Fayre yang akan ia targetkan, sebab sebelumnya wanita yang biasa mendapatkan dua hal istimewa tersebut sudah tiada. Ibu Arsen yang sangat ia cintai. Sejak Ibu tidak ada, Arsen selalu merasa kesepian, bapak juga sudah tidak se-asik saat ibu masih ada. Maka ketika Arsen dengan tidak sengaja bertemu Fayre di parkiran fakultasnya kala itu, buru-buru Arsen menceritakan tentangnya di hadapan pusara ibunya. 

"Ibu, sepertinya ada gadis yang akan sering aku ceritakan. Gadis yang biasa ibu doakan. Dia cantik, baik, dan ramah sekali. Semoga dia benar orangnya ya, Bu. Semoga dia orang yang Ibu inginkan."

Dan sekarang, disaat Arsen baru saja menaiki motor hitamnya, terlihat Fayre dengan wajah paniknya. Tangannya lincah menari diatas layar ponselnya hingga tak  sadar motor yang melaju ke arahnya. Lantas dengan segera Arsen tarik lengannya menyingkir dari motor tersebut. 

Fayre terkejut sambil menggenggam erat ponselnya. Si pemilik motor tadi kontan berhenti dan membuka kaca helmnya. "Aduh, maaf Kak, Kakaknya gapapa?" Ucap pemotor tersebut. Kemudian Fayre mengangguk perlahan masih dalam posisi tadi. "Terima kasih Mas, udah narik Mbaknya." Pengemudi motor tersebut menganggukkan kepalanya kemudian berlalu pergi dari hadapan Fayre yang masih menempel dengan tubuh Arsen. 

Jika Arsen tuliskan perasaan ini pada buku hariannya di rumah, tentu akan membutuhkan berlembar-lembar kertas untuk menuliskannya. Karena saat ini, setelah hari pertama dia kagumi diam-diam, sosok itu berdiri sangat dekat dengan dirinya, Arsen bahkan bisa mencium aroma shampoo yang dipakai Fayre. Arsen juga bisa mendengar detak jantungnya dan tak lagi merasakan waktu berjalan. Apakah dia akan berakhir seperti ini saja? Semoga semut yang berjalan di atas pipa sana tidak menertawainya. 

"Ekhem," Batuk kecil yang keluar dari mulut Fayre lantas melepaskan cengkeraman tangan Arsen pada lengannya. "Terima kasih, Oh, Arsen ya?" Ucap Fayre setelah mengenalinya. Iya, hanya mengenali pemuda bernama Arsen teman sekelasnnya.

Arsen tersenyum kecil tanda jawaban. Dia masih diatas motornya dengan jaket yang belum tertutup.

"Kebetulan, eeee guee boleh minta tolong gak?" Tanya Fayre ragu.

Arsen diam. Apakah? Apakah ini akan menjadi kesempatannya? Apakah ini waktunya? Oh jangan, sepertinya belum. Namun untuk apa Fayre bertanya? Arsen bahkan jauh dari siap untuk melaksanakan segala hal yang bisa ia lakukan demi Fayre. Arsen tentu tidak mau melewati kesempatan ini. Maka masih diatas motor Kawasaki hitamnya, masih dengan jaket yang terbuka, ia berucap dengan mantap disertai senyum tipisnya. "Boleh,"

Entah apa pun itu, apa pun yang Fayre inginkan pasti akan Arsen lakukan. Jika ia meminta Arsen untuk memetik bunga Edelweis di puncak Semeru pasti akan Arsen lakukan, asal Fayre mendoakannya sampai ia kembali. 

Namun setelah  sekian menit Arsen menunggu, suara wanita itu tak kunjung Arsen dengar. Saat Arsen menolehkan kepalanya, barulah terlihat gadis itu yang sedang diam berpikir. Jadi Arsen menunggunya seraya menarik resleting jakenya. 

"Mau minta tolong apa, Fay?" Arsen kembali bertanya, masih menyaksikan Fayre yang seperti kebingungan merangkai kata. 

"Eeeeummm tapi, beneran gapapa, Sen?" Tanyanya kembali memastikan. 

"Gapapa Fay," Arsen kembali membagi senyumnya, karena senyumnya itu hanya bisa ia ukir ketika ia sedang bahagia saja. 

Fayre bingung sebab ia tidak terlalu mengenali Arsen meski mereka dalam kelas yang sama selama satu setengah tahun ini. Namun, diantara pemilik ratusan motor yang sedang bersemayam disini, hanya Arsen yang ia kenal juga berada paling dekat dengannya. Hingga pada akhirnya, Fayre sampaikan keinginannya. 

"Aplikasi ojek online gue gak bisa digunain, Sen. Boleh gak kalau gue pinjam hape lo  untuk pesan ojek?" Fayre mengatupkan bibirnya setelah menyampaikan permintaan tolongnya. Sungguh ia merasa tak enak hati bila harus membuat repot Arsen, laki-laki yang suaranya hanya ia dengar bila sedang bertanya atau dipanggil. 

Sebelum menjawab pertanyaan Fayre, Arsen tampak berpikir sejenak, "Mau pulang, Fay?" 

"Eee.... iya, lo buru-buru ya, Sen?" 

Kesempatan.

"Engga Fay, naik aja, gue anter." Titahnya dan dengan segera Arsen memakai helmnya yang sebenarnya untuk menutupi rekahan senyumnya yang kian melebar. 

"Eh, engga Sen, gausah. Gue pulang naik ojol aja, jadi ngerepotin elo nih." Ucap Fayre sedang berusaha menghentikan lengan Arsen yang sudah siap melaju. 

"Gue juga mau pulang, Fay. Biar sekalian, biar lo ga usah buang duit lagi, udah naik aja. Udah gue cuci kok motornya." Kata Arsen dibalik helmnya kemudian menepuk tempat kosong dibelakangnya. Kapan lagi coba? Kapan lagi Fayre akan datang dengan sendirinya kepadanya? Seorang Pramoedya Arsen tentu tidak akan melewati kesempatan ini dimana Ia bisa selangkah lebih dekat dengan Fayre dari hanya sebatas memandanginya dari kejauhan. Karena ini adalah sebuah impian disaat Ibunya bertanya, 'Siapa yang akan kamu ajak pergi bersama Himawan, Sen?' dan tanpa ragu Arsen tulis dalam bukunya, Fayre.

"Engga deh, Sen. Gue gak mau ngere-" lagi-lagi Fayre berusaha menolak tak enak.

"Naik, Fay. Bensinnya udah gue isi penuh." Dan tak ada celah sedikitpun yang bisa Arsen berikan. Katakan saja bila Arsen memang memaksa, namun agar Fayre tahu bahwa Arsen tidak pernah sekalipun keberatan memenuhi segala keinginan Fayre, bahkan mengelilingi kota hingga dunia sekalipun. Semoga Fayre suka, ya? Semoga saja.

Arsen kemudian tersenyum dan menepuk tempat kosong dibelakangnya, "Yuk!" 

Dengan ragu, Fayre menaiki motor Kawasaki  hitam Arsen lalu meletakkan kedua tangannya diatas paha. Jika akan berakhir begini, Fayre kira akan lebih baik bila ia tak bertanya pada Arsen tadi. Biarlah Ia menunggu orang lain atau temannya yang mungkin saja akan kebetulan lewat. Tapi hari itu, disaat matahari menurunkan sinarnya dengan lambat, telah ditetapkan bahwa Ia akan pulang bersama Arsen. Fayre tidak tahu saja, bila sedari tadi Arsen berusaha mati-matian agar jantungnya tak lompat dan menari dihadapannya. Arsen cengkeram dengan kuat kemudi motornya lantas menyalakan mesin dan melaju perlahan setelah memastikan Fayre duduk dengan nyaman.

Bagi Fayre, Arsen hanyalah laki-laki yang biasa membawa tas selempang lalu duduk dibangku belakang. Suaranya hanya terdengar jika Ia bertanya dan selebihnya hanya langkah kakinya yang bisa didengar. Laki-laki dengan alis tebal dan hidung mancung itu kerap datang dengan aroma kopinya. Fayre pernah bertanya pada temannya, apakah Arsen memiliki kebun kopi? Namun temannya hanya menjawab dengan gelak tawa kemudian bercerita bahwa Arsen senang sekali meminum kopi hingga aroma kopinya menempel di tubuhnya. Mungkin Arsen tak hanya menyukai kopi namun juga dengan baunya. Dan begitu pula dengan sekarang, Fayre duduk dibelakangnya, dibelakang laki-laki beraroma kopi tersebut. 

Jalanan sore ini mulai padat, mulai dipenuhi kendaraan yang disetir budak harta. Langit yang indah menambah kesan hangat dengan semburat jingga di ufuk barat. Jika kerikil jalanan bisa menyapanya, pasti mereka akan bertanya, "Siapa wanita dibelakangmu, Arsen?" Sebab Arsen yang terkadang bercerita pada kerikil dengan seorang diri tanpa tumpangan. Jadi, sore kali ini berbeda, sore ini motornya terasa lebih berat, namun menyenangkan, sore ini spionnya tak hanya menampilkan langit jingga, namun serta keindahan Tuhan lainnya, sore ini tidak berisik, karena hatinya bersenandung ria. Arsen melihat spionnya yang memunculkan pantulan wajah Fayre disana. Wajah penuh ragu dan takjub. Terlihat begitu cantik dan menggemaskan. Arsen bahkan menurunkan pandangannya untuk menyadarkan bahwa yang dibawanya bukan bidadari. Bukti bahwa Tuhan selalu menciptakan hal-hal yang indah, termasuk Fayre.

"Sen, depan belok kiri, ya! Rumah gue kanan jalan." Setelah sekian perjalanan, Fayre mulai berucap sambil mencondongkan tubuhnya. 

"Oke." Jawab Arsen. Yah, andai saja Fayre mau diajak berkeliling kota atau mengantarnya menuju Hagia Sophia, tapi nyali Arsen tak sebesar itu untuk menawarkannya. Tapi, bila Fayre akan mengajaknya, tentu Arsen selalu siap, Arsen selalu sedia menemani Fayre dalam perjalanan mana pun, termasuk dalam perjalanan hidup. 

Motor Arsen berbelok ke kiri perlahan. Oh, apakah ini akan berakhir? Perjalanan perdana yang hening tadi akan berakhir? Rasanya baru saja Arsen menikmati wajah cemas Fayre. Arsen benar-benar ingin memperlambat waktu. Lembayung senja saja masih terasa hangat, hiruk pikuk jalanan juga bukan hambatan. Kini yang Arsen harapkan hanya membuat jarak rumah Fayre sejauh mata memandang. 

Tapi apa boleh buat? Fayre kembali menepuk pundak Arsen dan berkata, " Itu yang depan rumahku, Sen." tunjuknya pada pagar kayu berwarna coklat dengan daun-daun yang menjuntai dari kisi-kisi pagar. Maka, mau tak mau Arsen menghentikan laju motornya dan Fayre pun turun dari belakang punggungnya. 

"Terima kasih Arsen atas tumpangannya." Ucapnya sambil tersenyum 

"Sama sama, Fayre." Jawab Arsen dengan senyum tipisnya. Ah, cantik sekali! Apa boleh Arsen menyimpan satu senyuman itu hanya untuknya? Rasanya Arsen ingin egois saja, hanya kali ini saja Tuhan, Arsen mohon. 

"Bilang terima kasih juga sama Himawan." Arsen kembali berucap.

"Hah? Himawan siapa?" Fayre bingung sambil celingak celinguk mencari si Himawan yang Arsen maksud. 

"Ini Himawan," Tunjuk Arsen pada motor yang sedang dinaikinya. 

"Oooh ini namanya Himawan?" Arsen mengangguk mengiyakan.

"Lucu banget ada namanya. Terima kasih, Himawan."Katanya dengan tertaawa kecil. Walau aneh, namun Fayre tetap berterima kasih. Belum pernah ada laki-laki yang menamai motornya seperti Arsen. 

"Katanya sama-sama, senang banget bisa ditumpangi wanita cantik." Jelas Arsen penuh gelora.

Fayre kontan tertawa lepas sampai terlihat barisan giginya, "Hahaha bisa aja," Arsen yang melihatnya tak melepas senyumnya sedari tadi. Tuhan, seindah alam raya yang kau ciptakan, terima kasih sudah menghadirkan salah satunya di hadapanku saat ini. 

"Kenapa dikasih nama Himawan, Sen?" Tanya Fayre menyudahi tawanya. 

Arsen tampak berpikir sebentar kemudian menjawab, "Himawan itu artinya hitam menawan, Fay." Jelas Arsen. 

"Oooh begituuu.... kok bisaa kepikiran sih!" Wajahnya berubah takjub. Arsen merasa lebih bahagia dari sekedar mendapatkan undian hadiah, ini jauh lebih membahagiakan. 

"Karena, nama itu doa Fay. Dan doanya sudah terkabul." Jelas Arsen tanpa melepaskan pandangannya pada manik mata Fayre yang hitam legam seolah lubang terdalam yang pernah ia lihat. "Tuhan itu selalu mengabulkan doa, Fay." Lanjutnya. "Termasuk doa orang tuamu." 

"Oiya?" tanya Fayre tak percaya.

"Iya, buktinya sudah terwujud di hadapanku sekarang." 

Saat pertama kali Arsen tahu nama wanita yang ditemuinya di parkiran fakultas itu, Arsen lantas mencari arti namanya. Namanya bagus sekali seperti artinya, seperti orangnya, Arsen jadi ingin berterima kasih pada orang tua Fayre sudah memberi namanya yang begitu indah dan sangat membekas di ingatan. 

Arsen kembali melanjutkan perjalanannya bersama Himawan. Kali ini tak ia paksakan tangannya, biarkan Himawan yang membawanya pergi sebab sedari tadi lajunya lambat sekali, sekarang ia sibuk tersenyum dan merasakan jantungnya berdansa dengan indah. Sungguh, Arsen ingin terbang bersama udara sore yang hangat ini atau ikut tenggelam bersama matahari. Sore ini hanya akan terjadi sekali dalam seumur hidupnya jadi akan ia nikmati sampai malam menjelang. 

"Himawan, doa saya sudah terkabul satu, semoga yang lainnya akan terkabul juga, ya." Bisik Arsen pada Himawan. 

Dalam kisah manusia, pasti ada hal manis yang tidak pernah terlupakan. Dalam kisah Pramoedya Arsen, Fayre adalah kisah paling manis yang pernah ia pinta. Nanti ketemu lagi ya Fayre, dilain kisah yang manis. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun