Jika anak dibolehkan memegang smartphone, buatlah peraturan yang bijak. Seberapa lama per hari, jenis tontonan apa yang dibolehkan, apa alasan yang membuat ayah dan ibu membolehkan anak memegang smartphone.
Jangan karena biar anak lalai, biar orang tua bisa melakukan pekerjaannya, biar anak belajar sesuatu, biar anak tidak gaptek, dan biar biar lainnya.
Berikan alasan dengan yang bijaksana. Karena pada hakikatnya sebuah alasan menentukan kualitas anak yang bagaimana yang akan dihasilkan.
Less is better
Secara manfaat, semakin sedikit anak memegang smartphone maka semakin baik kualitas anak. Benarkah?
Simpelnya begini, otak anak bekerja dengan maksimal ketika menerima komunikasi dan interaksi. Dua hal ini adalah input terbaik otak.Â
Jika dicermati, baik komunikasi ataupun interaksi melibatkan aktfitas fisik. Ini sama sekali tidak MEMBUTUHKAN smartphone. Believe it or not!
Seorang anak yang menghabiskan waktu berinteraksi dengan ayah dan ibunya dan saling berkomunikasi setiap hari akan memiliki fungsi kognitif jauuuuuuuh lebih baik anak yang berinteraksi dengan smartphone.Â
Jadi, secara hukum alam saja sebenarnya kita bisa melihat mana yang baik. So, less is better, and none is the best.
Kalau mampu sama sekali meniadakan smartphone dari tangan anak, maka ini cara paling baik. Kalau tidak mampu, hanya berikan dengan alasan bijaksana. Tergantung kemampuaan dan kebijaksaan orang tua.
Apa yang kita tanam itulah yang bakal kita petik. Bibit boleh saja datang dari pohon berbeda, tapi pada hakikatnya kita menanam pada tanah yang sama.Â
Perbedaannya hanya bagaimana kita mengolah tanah menjadi gembur, lalu bibit bisa tumbuh menjadi sebuah pohon yang kokoh. Ketika angin datang, kemampuan bertahan sebuah pohon tergantung pada sejauh mana pohon dirawat.