Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Cognitive Overload, Terganggunya Fungsi Kognitif Anak akibat Smartphone

24 November 2022   13:22 Diperbarui: 24 November 2022   13:37 961
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kognitif otak. www.freepik.com

Di tulisan kali ini saya akan membahas efek penggunaan smartphone pada kemampuan kognitif anak. Apakah lebih banyak sisi manfaatnya atau sebaliknya? let's find out!

Baik, saya mulai dulu dengan fungsi kognitif. Saat terlahir, anak belum memiliki input di dalam otak. Untuk bisa bekerja, otak memerlukan rangkaian input.

Ilustrasinya seperti ini, ketika membeli sebuah personal computer (PC), umumnya belum ada software yang terpasang. Agar sebuah komputer bisa dipakai, semua harus terkoneksi dengan baik.

Nah, otak manusia tidak serta merta bisa dipakai. Seorang bayi yang baru terlahir harus terlebih dahulu memasukkan input ke otak agar otaknya bisa dipakai. 

Menariknya, input tidak harus dibeli seperti perangkat komputer. Semuanya tersedia gratis di sekitar kita. Bahkan, input paling murah sekalipun bisa menjadikan otak bekerja maksimal.

Input utama yang dibutuhkan otak bisa didapat dari dua hal:interaksi dan komunikasi. Dengan dua jenis input ini otak sudah bisa terhubung dengan baik dan fungsi kognitif bisa berjalan mulus.

Apa yang terjadi ketika otak tidak mendapat input dari dua hal ini? bayangkan saja ketika manusia tidak diberi makan dan minum, apa yang akan terjadi?

Jadi, otak seorang bayi harus mendapat input yang cukup untuk bisa mengeluarkan output. Dilema saat ini adalah, orang tua berharap output yang baik namun enggan memberi input terbaik.

Apa yang saya maksud disini? smartphone secara tidak langsung menjadi perusak input pada otak anak. Loh, kok bisa? kan banyak hal yang bisa dipelajari anak lewat smartphone?

Benar! sayangnya, otak anak belum siap untuk itu. Saat anak sudah terpapar smartphone maka bersiaplah untuk menerima konsekuensi jangka panjang. 

  • Smartphone is just like drug. it kills you slowly!

Otak berkembang terus menerus, khususnya pada umur 1-7 tahun. Ketika proses perkembangan terganggu maka ada beberapa fungsi otak yang mengalami kecacatan, dan salah satunya adalah COGNITIVE.

Kenapa orang tua harus mengerti bagaimana otak bekerja? karena tanpa memahami struktur dan cara kerja otak dengan baik dna benar, kita tidak bisa memberi 'gizi' terbaik pada otak.

Makanya, sering orang tua berdalih dengan berkata "ah, kan smartphone juga banyak sisi positifnya", "tuh banyak anak yang pinter-pinter gara-gara nonton youtube", "anak teman baik-baik aja tuh malah tambah pande".

Begitulah asumsi banyak orang tua. Yang sangat disayangkan, asumsi ini terbentuk dari sebuah persepsi yang sebenarnya hanya terlihat "baik-baik saja" di luar, pada kenyataannya ada yang belum terlihat kasat mata.

Short-Term Memory and Long Term-Memory

Agar mudah dipahami, saya lagi-lagi ingin memberi ilustrasi sebuah komputer. RAM dan Harddrive adalah dua perangkat keras yang memiliki fungsi berbeda, satu menyimpan memori sesaat, satunya lagi menyimpan untuk selamanya. 

Nah, otak manusia juga menyimpan memori di dua tempat berbeda. Memori jangka pendek (shot term memory) tidak langsung tersimpan ke memori jangka panjang (long term memori).

Apa yang terjadi saat anak diberi smartphone? akan terjadi gangguan pada memori jangka pendek. Akibatnya, anak akan sulit fokus pada satu hal, kemampuan filtering akan buruk, dan regulasi emosi akan tergaggu.

Fokus, filter, dan regulasi emosi adalah antivirus yang mutlak dibutuhkan otak. Yang sangat menyedihkan, ketiga hal ini tidak bisa terbentuk dengan baik ketika smartphone berada di tangan anak.

Saya akan memberikan fakta ilmiah dan ini berdasarkan rangkaian jurnal yang dipublikasi oleh pakar neurology yang meneliti aktifitas otak.

Cognitive Overload

Saya kembali pada judul tulisan. Apakah anda pernah mendengar istilah cognitive overload?

Cognitive overload adalah sebuah istilah menggambarkan situasi dimana otak menerima informasi lebih banyak secara bersamaan. Akibatnya, otak tidak bisa memproses informasi dengan baik.

Ketika seorang anak diberikan smartphone dan menghabiskan waktu berjam-jam melihat ini dan itu, dari satu video ke video lain maka kemampuan kognitifya akan terganggu.

Menariknya lagi, baik kemampuan kognitif maupun motorik diproses dari tiga bagian otak yang sama, yaitu Cerebellum, frontal lobes, Basal ganglia. 

Bahkan, ketiga bagian otak ini bekerja sama untuk membantu tubuh bergerak yang melibatkan kemampuan atensi dan prediksi. Artinya apa? karena ketiga bagian otak ini kita mampu dengan mudah menggerakkan tangan dan kaki tanpa saling bertabrakan.

Disini, terdapat keterkaitan atara kemampuan kognitif dan motorik. Seorang bayi yang tidak terangsang secara motorik akan terganggu kemampuan kognitifnya.

Ringkasnya, ketika bayi atau anak-anak dengan mudah memegang smartphone maka konsekuensinya adalah mereka lebih sedikit mendapat rangsangan motorik dari aktifitas yang melibatkan interaksi fisik.

Lalu, perlahan tapi pasti terjadilah cognitive overload. Kenapa ini bisa terjadi? jawabannya simple! Karena anak menyerap input yang berbeda-beda secara bersamaan yang berasal dari apa yang ditonton ataupun games.

Buruknya lagi, otak anak akan kehilangan kemampuan untuk fokus pada satu hal, anak akan mudah merasa bosan ketika melakukan satu pekerjaan dan regulasi emosi terinterupsi.

Salah satu akibatnya, anak mudah sekali tantrum bersebab keinginannya tidak terpenuhi. Padahal, secara normal tantrum bisa dengan mudah diatasi jika otak anak terhubung dengan input yang baik.

Kalau anda tidak percaya, silahkan bandingkan emosi anak yang suka menonton video youtube dari smartphone atau bermain games dengan mereka yang aktif terhubung berinteraksi dengan orang tua secara fisik setiap hari.

Regulasi emosi anak yang tidak terpapar smartphone dan kualitas fungsi kognitif jauh lebih baik daripada anak-anak yang dari kecil sudah dibiarkan memegang smartphone.

Anak-anak yang sering menghabiskan waktu didepan layar smartphone akan memiliki tingkat fokus lebih rendah. Mereka ingin melakukan hal berbeda dalam waktu singkat, berpindah dari satu hal ke hal lain.

Bukan hanya itu, kemampuan kognitif juga berdampak pada percaya diri. Anak-anak yang jarang berinteraksi dengan orang tua dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan smartphone di masa kecil memiliki percaya diri yang rendah.

Ini hanya beberapa dampak yang bisa dilihat secara langsung. Yang lebih mengkhawatirkan adalah, kemampuan interaksi sosial anak saat dewasa juga terganggu. Anak merasa normal untuk menarik diri dari kegiatan sosial dan mudah menghabiskan waktu untuk menyendiri.

Dalam konteks karir, anak-anak akan menjadi sosok orang dewasa yang mudah merasa bosan, merasa tidak dihargai, kemampuan beradaptasi lemah, dan mudah menyerah.

Banyak penelitian yang sudah membahas ini khususnya pada generasi Z. Mereka yang lahir bersamaan dengan meningkatnya penggunaan teknologi, khususnya smartphone mengalami yang namanya cognitive overload.

Orang tua boleh saja menganggap ini spele, namun ada harga yang harus dibayar anak nanti ketika dewasa. Saat anak seharusnya menjadi sosok yang kuat dan mampu bertahan, mereka malah layu dan tidak mampu menggunakan survival skill.

Lebih jauh lagi, akan ada ketimpangan skil dari sisi sosial. Anak tidak mampu mengekspresikan diri dengan mudah dalam grup dan sangat sulit bekerjasama. Ego dan kepribadiannya merusak tatanan hidup sosial mereka dalam jangka panjang.

Apa yang seharusnya dilakukan orang tua?

What goes around comes around

Segala sesuatu ada harganya. Semua tergantung pada kita, memilih jalan yang berliku dengan penuh pelajaran berharga, atau memilih jalan pintas yang memberi kepuasan sesaat.

Setiap jalan yang dipilih ada konsekuensi dan ingatlah orang tua dan anak khususnya akan membayar harga yang mahal akan jalan yang dipilih.

Sederhananya, bijaklah dalam membesarkan anak, pilihlah jalan yang berliku tapi pada akhirnya memberi banyak pelajaran berharga. Ada kesabaran yang memang harus dipertaruhkan disini.

Pikirkan sebelum membiarkan

Apakah anak mendapat lebih banyak manfaat ketika menggunakan smartphone? Jawaban bisa berbeda! tergantung sisi mana yang ingin ditonjolkan.

Meskipun demikian, pahami efek jangka panjang yang bakal diterima anak ketika dewasa. Terlebih, menilai dari sisi perkembangan otak, ada sisi negatif yang melampaui manfaat.

Sebelum memberikan smartphone ke tangan anak, tanyakan ke diri sendiri, karakter anak yang bagaimana yang kita ingin kita besarkan. Apakah anak yang pandai secara intelektual tapi lemah secara emosional?

Atau, anak yang cerdas mengelola emosi dan mampu menggunakan kepandaian untuk membantu sesama?

Pilihan ada di tangan orang tua. Time never goes back!. Ingat! kesempatan membesarkan anak datang hanya sekali, pilhan yang teoat menentukan kualitas anak di masa depan.

Jika membangun bisnis, kita bisa mengulangi lagi ketika gagal. Hal yang sama tidak berlaku sama pada mendidik anak. You do it right once, you make real good investment forever.

Pola asuh yang benar meninggalkan efek luar biasa pada anak. Cukup investasi sekali saja! Anggaplah kita sedang menanam sebuah pohon yang akan berbuah sangat manis dan memiliki harga jual yang tinggi, rawatlah pohon itu dengan siraman dan pupuk terbaik.

Apakah ini berarti kita tidak boleh sama sekali memberi smartphone kepada anak? kembali lagi pada tujuan awal, jenis anak yang bagaimana yang kita inginkan?

Tidak ada yang sempurna ketika berurusan dengan pola asuh. it's not about right or wrong, but what's better to do!. 

Mendidik anak tidak mudah jika dilakukan sendiri. Harus ada kerjasama antara ayah dan ibu. Saling mendukung, memberi waktu, membersamai, sepakat dengan aturan yang sama dan konsep pegasuhan yang berdiri di atas visi yang sama.

Inilah yang paling sulit dilakukan. Keluarga tanpa visi akan berjalan sendiri-sendiri. Seorang ayah harus menjadi nahkoda yang baik, desertai ilmu yag cukup dan kebijaksaan dalam mengambil keputusan.

Begitu pula ibu, jadilah seorang asisten yang baik. Percayalah pada nahkoda, ikuti aturan yang sudah disepakati, jalankan dan terapkan konsep yang sudah dibuat bersama.

Jika anak dibolehkan memegang smartphone, buatlah peraturan yang bijak. Seberapa lama per hari, jenis tontonan apa yang dibolehkan, apa alasan yang membuat ayah dan ibu membolehkan anak memegang smartphone.

Jangan karena biar anak lalai, biar orang tua bisa melakukan pekerjaannya, biar anak belajar sesuatu, biar anak tidak gaptek, dan biar biar lainnya.

Berikan alasan dengan yang bijaksana. Karena pada hakikatnya sebuah alasan menentukan kualitas anak yang bagaimana yang akan dihasilkan.

Less is better

Secara manfaat, semakin sedikit anak memegang smartphone maka semakin baik kualitas anak. Benarkah?

Simpelnya begini, otak anak bekerja dengan maksimal ketika menerima komunikasi dan interaksi. Dua hal ini adalah input terbaik otak. 

Jika dicermati, baik komunikasi ataupun interaksi melibatkan aktfitas fisik. Ini sama sekali tidak MEMBUTUHKAN smartphone. Believe it or not!

Seorang anak yang menghabiskan waktu berinteraksi dengan ayah dan ibunya dan saling berkomunikasi setiap hari akan memiliki fungsi kognitif jauuuuuuuh lebih baik anak yang berinteraksi dengan smartphone. 

Jadi, secara hukum alam saja sebenarnya kita bisa melihat mana yang baik. So, less is better, and none is the best.

Kalau mampu sama sekali meniadakan smartphone dari tangan anak, maka ini cara paling baik. Kalau tidak mampu, hanya berikan dengan alasan bijaksana. Tergantung kemampuaan dan kebijaksaan orang tua.

Apa yang kita tanam itulah yang bakal kita petik. Bibit boleh saja datang dari pohon berbeda, tapi pada hakikatnya kita menanam pada tanah yang sama. 

Perbedaannya hanya bagaimana kita mengolah tanah menjadi gembur, lalu bibit bisa tumbuh menjadi sebuah pohon yang kokoh. Ketika angin datang, kemampuan bertahan sebuah pohon tergantung pada sejauh mana pohon dirawat.

Lantas, bagaimana dengan anak?

Setiap orang diberikan sebuah 'bibit' yang pada hakikatnya sama. Cara kita menempatkan anak pada jenis lingkungan dan perawatan berbeda menentukan kualitas anak ketika dewasa.

Tentu saja anak yang dibiarkan terlelap dengan smartphone memiliki kepribadian yang berbeda dengan mereka yang terlelap diatas pangkuan ayah dan ibunya bersebab membersihkan rumah.

Jangan berharap memetik buah apel dengan menanam pohon jeruk nipis. it's impossible!

Referensi Bacaan:


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun