"Pergi! Cepet!" teriak Edo. "Jangan sia-siain kesempatan ini!"
Dengan berat hati dan air mata berlinang, empat peneliti itu melompat ke cermin.
BRUUUKK!
Mereka mendarat keras di lantai lab. Napas mereka tersengal-sengal. Untuk beberapa saat, nggak ada yang bicara.
"Edo..." Nina terisak pelan.
Dr. Arif memeluk rekan-rekannya erat. Air matanya mengalir deras. "Maafin gue... ini semua salah gue..."
Sejak malam itu, lab itu ditutup. Alat komunikasi lintas dimensi itu dihancurkan. Mereka nggak mau ada yang jadi korban lagi.
Tapi setiap malem, mereka masih bisa denger suara Edo. Memperingatkan mereka untuk selalu hati-hati. Dan mengingatkan, bahwa kadang, rasa penasaran ilmiah bisa membawa malapetaka yang nggak terduga.
Sampai sekarang, mereka masih nyari cara buat nyelametin Edo. Tapi jauh dilubuk hati terdalam, mereka tau. Edo udah nggak ada di dunia ini lagi. Dia selamanya terjebak di dunia lain, di tahun 1350 yang kejam.
Dan tiap kali ada yang nanya, "Ke mana Edo?", mereka cuma bisa jawab lirih, "Dia... lagi penelitian jangka panjang di luar negeri."
Padahal, jauh di dalam hati, mereka tau. Edo udah jadi bagian dari misteri yang nggak akan pernah bisa mereka pecahkan.Â