Mohon tunggu...
Mas Say
Mas Say Mohon Tunggu... Dosen - Pemuda Indonesia

Diskusi: Kebangsaan dan Keindonesiaan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

RUU KUHP, Penguasa Aman dan Rakyat Terancam!

15 Juli 2022   20:17 Diperbarui: 15 Juli 2022   20:33 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adanya decolonialization of concept dari RUU KUHP justru tidak senada dengan semangat democratization of goal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Kebijakan negara justru terkesan hanya memberikan imunitas pejabat dari jerat hukum. Government of policy hanya bertujuan untuk memberikan rasa takut pada personality warga negara. Penguasa aman. Rakyat terancam.

(Mas Say)

Produk hukum kolonial akan segera berakhir. Seiring akan adanya pengesahan RUU KUHP menjadi UU. Ini kabar gembira sekaligus kabar duka. Gembira karena KUHP akan menjadi hukum nasional. Karya bangsa sendiri.

 Duka karena KUHP baru masih mengakomodir kolonialisasi yang mengarah pada perlindungan penguasa belaka. Justru bertolak belakang dari semangat demokrasi. Pembungkaman aspirasi publik. Pemerintah anti kritik. Mengancam kebebasan bersuara. Berpotensi mematikan kehidupan demokrasi Indonesia.

Tim perumus atau Panitia Kerja (Panja) istilah dalam UU sekarang telah lama melakukan upaya menyusun RUU KUHP. Sejak tahun 1963 wacana perubahan KUHP dihembuskan pada seminar hukum nasional di Semarang. Mulai banyak pakar hukum yang terlibat. Seiring waktu, upaya tersebut masih banyak hambatan. Pada tahun 1977 dibentuk lagi Tim Basaroedin. Kendala sistem pemerintahan dan penolakan publik masih ada.

Pada akhirnya tim perumus berganti estafet pada Prof Muladi. Sampai pada reformasi upaya revisi KUHP masih terhambat. Mulai lagi dikerjakan khususnya pada periode 2009-20014 melalui Komisi III DPR dengan dibentuknya Panja. Dilanjutkan KUHP baru masuk Prolegnas pada masa periode 2014-2019. 

Kebijakan penyusunan RUU KUHP diambil alih atas inisiatif pemerintah. Bersamaan dikeluarkan Surat Presiden (Surpres) pada 5 Juni 2015 agar dilanjutkan untuk dibahas dan disahkan oleh DPR. Target itu mundur sampai 2017 dari jadwal Prolegnas. 

Dipaksakan lagi agar disahkan oleh DPR pada September 2019. Walaupun masuk Prolegnas prioritas tahun 2018. Tetap saja publik makin menolak keras. Aksi dan demonstrasi. Banyak korban berjatuhan.

Beda tahapan dan beda substansi yang dilakukan pada masing-masing pemerintahan. Sampai sekarang masih mendapatkan perhatian dan kritikan publik. Sejak awal perintis KUHP baru dari sekitar 17 orang pakar hukum telah meninggal dunia sampai tahun 2016.

 Bahkan satu-satunya orang yang terlibat langsung sejak awal perumusan KUHP sekaligus Ketua Tim Perumus Prof Muladi juga telah meninggal tahun 2020. Pro dan kontra terus mewarnai upaya penyusunan KUHP baru.

 

Proses legislasi

Pasca adanya Surat Presiden (Surpres) bersamaan penyerahan draft RUU KUHP resmi diberikan dari pemerintah kepada DPR (melalui Komisi III DPR) tertanggal 6 Juli 2022 tentunya harapan publik mengawal masih ada. Siklus Prolegnas berdasarkan UU tentang PPP (UU No.12 Tahun 2011 jo UU No.15 Tahun 2019 jo UU No.13 Tahun 2022) jangan diabaikan. 

Apakah masuk dalam Prolegnas menengah atau prioritas setiap tahun ada pembahasan (Pasal 20 UU No. 15 Tahun 2019)?. Proses penyusunan RUU KUHP ini bukan seperti dengan metode Ominibus Law yang telah diakomodir dalam Pasal 64 ayat (1b) UU No.13 Tahun 2022. 

Bukan hanya sekedar menambahkan norma baru, revisi atau bahkan mencabutnya. Mengingat putusan MK dapat digunakan sebagai pijakan. Menjadi keharusan publik mendapatkan akses yang luas serta masyarakat luas mendapatkan kesempatan untuk mengkritisi bersama (Pasal 96 UU N0. Tahun 2022).

Sejak 24 September 2019 publik berhasil menggagalkan upaya paksa akan adanya pengesahan RUU KUHP ini. Aksi demonstrasi besar dari semua pihak khususnya dari mahasiswa. Korban jiwa dan nyawa pun dipertaruhkan. Selama itu juga penggodokan norma hukum dari pemerintah terus diperbaiki seiring suara keras dari publik.

Lalu apakah pemerintah sudah mendengarkan aspirasi publik?. Apakah cuma formalitas menunggu jeda waktu tersebut tanpa ada perubahan norma hukum sesuai harapan publik?. Ini adalah PR bersama selama public hearing masih ada.

Ketetapan atas adanya pembahasan tingkat 1 pada periode sebelumnya dapat dicabut. Kemudian dibuka lagi dari awal masuk pembahasan tingkat 1 tidak serta merta langsung pada pembahasan tingkat 2. Kenapa?. Jelas bahwa draft baru ada dan tidak boleh mengggunakan kesepakatan sebelumnya. 

Tidak dapat menggunakan siklus legislasi dari tahun 2019. Pada celah ini DPR khususnya melalui Komisi III DPR dapat membuka lagi pembahasan tingkat 1 agar publik dapat memberikan masukan dan kritikan.

Jangan sampai celah ini justru dapat dimanfaatkan untuk mempercepat pengesahan RUU KUHP. Alibi pemerintah saat draft digodok telah melibatkan publik?. Ini aneh. 

Publik dalam proses legislasi adalah ketika masuk pada lembaga legislatif. Disisi lain pemerintah saat penggodokan masih terkesan tertutup. Draft saja tidak dapat diakses sebelum dipaksa publik untuk segera dibuka.

 

Pengebirian aspirasi publik

Pintu tampak tertutup saat draft RUU KUHP masih dibahas internal oleh pihak pemerintah. Memang dalam hal membuat RUU pemerintah melalui Presiden memiliki kewenangan penuh (Pasal 5 ayat (1) UUD 1945). Untuk kemudian nanti dibahas bersama dengan DPR (Pasal 20 ayat (2) UUD 1945). 

Pihak pemerintah mengklaim telah banyak melibatkan banyak pihak dan telah melakukan sosialisasi. Apa faktanya?. Draft baru bisa terlihat saat sudah diserahkan pada DPR. 

Selama ini ada di mana?. Ini artinya selama penggodokan pemerintah masih tertutup. Ingin memaksakan norma hukum yang dianggap benar. Lalu apakah pintu kedua melalui DPR juga masih akan tertutup?. Tanpa adanya pembahasan tingkat 1 lagi dengan melibatkan publik?. 

Langsung disahkan pada pembahasan tingkat 2?. Pada 2 pintu inilah sebagai tolak ukur aspirasi dari publik akankah masuk dan diterima?. Apa justru tidak mau mendengarkan suara publik?.

Proses formil dan materiil dalam penyusunan KUHP baru masih terkesan tertutup. Pemaksaan norma hukum yang ada sebagian belum mendengarkan aspirasi publik. Dipaksakan untuk segera mendapatkan pengesahan. Kran aspirasi publik dalam public hearing masih sekedar formalitas belaka.

Sebuah UU dibentuk untuk memberikan rasa aman pada masyarakat. Prosesnya sebuah keniscayaan untuk dapat melibatkan publik. Negara demokrasi itu idealnya. Hanya dalam sebuah negara otoriter saja adanya pengebirian aspirasi publik.

Perlindungan penguasa

Sistem norma hukum dalam RUU KUHP secara tidak langsung telah menutup secara halus kebebasan warga negara. Disisi lain, upaya perlindungan penguasa sangat nyata. Hal ini sangat mencederai adanya jaminan kebebasan bersuara bagi warga negara sebagai bentuk ikut mengawal proses bernegara (Pasal 28E ayat (2) dan (3) UUD 1945). 

Konsep "otoritarianisme new and free style" bagi Penulis sering digunakan untuk mengukur kualitas kebijakan dengan hasilnya. Ternyata proses yang dianggap meninggalkan produk kolonial justru mengarah pada otoritarian. Samar dan halus. Cuma jelas dan nyata efeknya bagi buruknya demokratisasi.

Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai penjaga konstitusi dan penafsir UU telah banyak memberikan arahan dan pijakan agar norma hukum dalam sebuah UU dapat sejalan dengan demokratisasi Indonesia. Putusan MK yang khusus memberikan check and balances terhadap kebebasan suara bagi warga negara jusrtu diabaikan. 

Sifat putusan MK yang open legal policy ditafsir tunggal dan subjektif. Norma hukum yang telah ditiadakan oleh MK justru dihidupkan kembali oleh pemerintah khususnya sebagai inisiatif utama dalam penyusunan KUHP baru.

Putusan MK No.013-022/PUU-IV/2006 atas uji materi dari Pasal 134 KUHP sebagai induk asli (Pasal 136 dan 137 secara otomatis juga dianggap inkonstitusional) jelas telah mematikan pasal penghinaan pada Presiden dan Wakil Presiden. Induk asli dari Pasal 134 telah dihapus.

Ini sejalan dengan nafas proses demokrasi Indonesia. MK juga telah memberikan tafsir Pasal 207 KUHP dari BAB VIII khusus tentang Kejahatan Terhadap Penguasa. Hal ini beda dengan redaksional asli dari BAB II tentang Kejahatan-Kejahatan Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden. 

Pasca putusan MK tahun 2006 Presiden dan Wakil Presiden dianggap penguasa. Cuma dalam praktek dengan delik aduan (klacht delicten). Bukan delik umum atau biasa (gewone delicten). Bahkan jika Presiden dan Wakil Presiden dianggap dihina dapat menggunakan norma hukum tentang pencemaran nama baik (Pasal 310 KUHP).

Bahkan dalam perkembangan tafsir norma hukum tentang perdebatan delik, melalui Putusan MK No. 31/PUU-XIII/2015 juga memberikan tafsir pada Pasal 319 KUHP. Penegak hukum dalam space ini dapat menggunakan penerapan restorative justice agar kebebasan bersuara tetap terjaga.

Pemerintah menggunakan analogi dengan putusan MK No.06/PUU-V/2007 atas uji materi Pasal 154 KUHP. Dalam norma hukum ini ada redaksional ".......merendahkan terhadap pemerintah.......". Pada BAB V tentang Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum. MK sudah bijak dengan mencabut norma hukum tersebut. 

Hal ini sangat logis bahwa pada tahun 2006 pemaknaan "penghinaan Presiden dan Wakil Presiden" telah dihapus. Dalam original intent Pasal 154 ada bingkai pemerintah di dalamnya ada lembaga kepresidenan sebagai lembaga dari Presiden dan Wakil Presiden sebagai jabatan personal. MK telah konsisten menjaga demokrasi dengan baik. Memberikan pembeda antara personal, jabatan dan kelembagaan.

Hal aneh justru diperlihatkan oleh pemerintah dengan menggunakan basis argumentasi tafsir dari Pasal 154 KUHP dalam membuat dasar norma hukum untuk menghidupkan lagi pasal tentang penghinaan Presiden dan Wakil Presiden. Dianggap menafsir ulang atas putusan MK pada tahun 2006. Inilah kekacauan pemahaman bagi pemerintah. 

Ketidak pahaman dalam memahami putusan MK. Bentuk tafsir subjektif dengan seenaknya menggunakan analogi putusan MK agar dianggap benar dalam membuat norma hukum. Induk pasal uji materi saja beda. Pertimbangan hakim MK juga berbeda.

Apalagi jika mencermati amar putusan yang digunakan tidak memberikan ruang dan izin agar pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dapat dihidupkan kembali. Bahkan tidak ada sifat open legal policy sebagai dasar pijakan.

Walaupun berubah dari delik umum atau biasa menjadi delik aduan tetap saja akan mengancam kebebasan bersuara bagi masyarakat. Gramatikal dan norma hukum yang disusun masih memberikan imunitas yang besar bagi Presiden dan Wakil Presiden. 

Jika kita cermati khususnya pada halaman 216 dari Naskah Akademik (NA) RUU KUHP tahun 2015) bahwa konsepsi tetap mempertahankan norma hukum ini terlalu adanya ketakutan tersendiri. Asumsi dan prediksi belaka. 

Atas dasar karakteristik budaya bangsa masih relevan. Cuma memaknai penghinaan dengan kritik atau ancaman masih sangat bias. Sangat multi tafsir. Apalagi dimaknai kebenaran tunggal hanya dari pihak pemerintah.

Kontroversi norma hukum

 

Dalam Pasal 218 ayat (1) dan 219

 Dalam BAB II tentang Tindak Pidana Terhadap Martabat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden. Khusus pada harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden?. Ancaman pidana 3 tahun 6 bulan. Ini kritikan?. Pembedaan pada wilayah policy atau personality?. Personal ataukah pada kebijakan yang melekat jabatan?. Hal ini masih bias. Kritikan identik dengan policy. Bukan pada personality. Kalau kritik dimaknai sebagai hinaan dan dianggap sebagai serangan pada personality?. Ini dapat membahayakan bagi hak kebebasan berpendapat bagi warna negara. Betul dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 ada batasan  limitatif dalam mengeluarkan pendapat. Bukan kultur barat.

            Kita punya nilai tersendiri, tetapi jangan dimaknai sebagai alasan konstitualisme untuk menghidupkan norma hukum tersebut. Bukankah sudah dibatalkan oleh MK?. Kenapa sebagai pejabat takut kritikan?. Kebebasan warna negara dan pers juga dikekang secara halus. Bahkan ancaman penjara sampai 4 tahun 6 bulan?. Walapun dalam praktek norma hukum ini nanti akan tetap bersinggungan dengan UU ITE. Norma hukum dan redaksionalnya masih bias dan menimbulkan spekulasi yang mengarah pada tafsir subjektif. Khususnya bagi penegak hukum.

Dalam Pasal 232 dan 233

Khususnya soal ini ada pada BAB IV  tentang Tindak Pidana Terhadap Penyelanggaraan Rapat Lembaga Legislatif dan Badan Pemerintah. Norma hukum pada bab ini merupakan awal imunitas yang berlebihan yang diberikan terhadap lembaga legislatif. Imunitas dalam hal tertentu boleh saja. Cuma jika dalam hal dalam pembuat kebijakan ditutup tidak boleh dikritik. Ini yang tidak dibenarkan.

Dalam Pasal 240 dan 241

 Pada BAB V tentang Tindak Pidana Pada Ketertiban Umum khususnya pada paragraf 2 tentang Penghinaan Terhadap Pemerintah. Kritikan pada pemerintah apakah dianggap penghinaan?. Tendensius dan multi tafsir. 

Norma hukum ini tentunya diarahkan pada kelembagaan bukan personal anggotanya (Presiden dan Wakil Presiden serta para jajarannya). Jika anggota tentunya berupa delik aduan. Lalu pertanyaannya?. Kelembagaan pemerintah wajar jika dapat nilai dari publik untuk mendapat kritikan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. 

Apalagi ini menyangkut kelembagaan Presiden dalam arti pemerintah?. Jika kritik dianggap menghina?. Apakah publik tidak boleh memberikan masukan atau mengkritik pemerintah yang dianggap kinerjanya buruk?.

 Ancaman demokratisasi pada space ini sangat nyata. Rakyat justru ditakuti dengan adanya norma hukum ini. Bukan diberikan ruang untuk memberikan kritikan yang konstruktif. Rakyat dipaksa hanya menganggukan kepala terhadap kebijakan pemerintah. Hanya disuruh diam. Tanpa boleh bicara.

Dalam Pasal 351 dan 352

Secara umum pada BAB IX tentang Tindak Pidana Terhadap Kekuasaan Umum dan  Lembaga Negara. Adanya norma hukum ini khususnya pada pasal 351 dan 352 akan memberikan rasa takut pada warga negara untuk memberikan masukan dan kritikan jika ada lembaga negara yang tidak dapat menjalankan tugas dan wewenangnya. 

Lalu apakah jika ada lembaga negara yang kurang baik kinerjanya secara kelembagaan masyarakat tidak dapat memberikan masukan agar lebih baik lagi?. Inilah upaya pembungkaman suara itu ada dan nyata.

Dalam Pasal 607 dan 608

Khusus pada BAB XXXV tentang Tidak Pidana khusus. Ada pada bagian ketika terkait tindak pidana korupsi. Jerat hukum bagi koruptor paling singkat hanya 2 tahun saja?. Hal ini mengalami kemunduran. Walaupun dalan tindak pidana korupsi sebagai bagian pidana khusus lebih ditekankan pada UU Tipikor, tetapi KUHP juga akan menjadi pertimbangan bagi hakim. 

Norma hukum ini jauh dari semangat anti korupsi yang idealnya memberikan pemberatan bagi koruptor. Adanya norma hukum ini justru memberikan keringanan bagi koruptor. Penyelenggara negara akan berpotensi besar dalam penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.

Jika merujuk semua norma hukum dari sejumlah 632 pasal dalam RUU KUHP tersebut, ada banyak ruang dari berbagai bidang dan pihak untuk memberikan masukan bersama. Bagi Penulis, tidak semua. Hanya point penting saja agar proses demokrasi kita tidak justru mundur dengan adanya KUHP baru.

Rakyat tidak takut untuk ikut mengawal jalannya proses pemerintahan. Warga negara tidak diam jika ada kebijakan dari pemerintah dan DPR yang dirasa merugikan rakyat.

Adapun tolak ukur tersebut yaitu Pertama tentang kebebasan bersuara wajib dijamin baik warga negara atau sipil dan insan pers. Tidak dibungkam secara halus dan tersistem melalui norma hukum dalam RUU KUHP. Pemerintah khususnya tidak anti kritik. Kedua, semangat anti korupsi harus dapat membuat efek jera bagi koruptor. 

Tidak ada celah untuk berperilaku korup. Tidak ada potensi penyalahgunaan wewenang atas uang rakyat dari para penyelenggara negara. Ketiga, norma hukumnya tidak banyak adanya pasal-pasal karet dan multi tafsir. Tidak berpotensi membelah dan memecah belah masyarakat. Tidak mengancam persatuan bangsa. Tetap memprioritaskan karakteristik ideologi negara sebagai ciri khas bangsa yang beradab.

 

Pengesahan dengan prasyarat

 Bagi Penulis, adanya revisi UU KUHP ini ada tempat khusus yang istimewa. Berbeda dengan adanya revisi UU KPK, adanya RUU HIP dan RUU Cipta Kerja menolak semua pasal serta norma hukumnya. Menolak adanya UU HIP dan UU Cipta Kerja. Pun tidak setuju semua substansi revisi UU KPK. RUU KUHP ini memang istimewa. 

Memang sudah saatnya sesuai perkembangan dinamika keberagaman dan demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. KUHP yang sekarang perlu adanya revisi. Adopsi produk kolonial sudah tidak relevan dengan unity in diversity di negara kita.

Walaupun setuju adanya KUHP baru bukan berarti bagi Penulis tidak keras memberikan kritikan atas norma hukum yang ada. Tetap mengkritisi baik dalam proses formil dan materiil. Idealnya bukan lagi revisi, tetapi KUHP terdahulu dinyatakan sudah tidak berlaku lagi dengan penguatan penjelasan dalam konsideran. 

Ini sebagai bentuk eksistensi Indonesia mampu melahirkan produk hukum nasional sendiri. Tanpa adanya bayangan dari hasil produk kolonial yang pernah ada.

Silahkan disahkan dengan prasyarat minimal 75% aspirasi publik dapat terpenuhi. Dari 626 pasal RUU KUHP tahun 2019 menjadi 632 pasal RUU KUHP tahun 2022?. Ini tolak ukurnya apakah masukan dari publik selama ini sudah ada perubahan?. Pasal-pasal kontroversial apakah sudah dirubah?. 

Jika alasan adanya UU KUHP baru mengakomodir dan linear dengan kehidupan yang heterogen dari masyarakat Indonesia, maka sudah sewajarnya juga mengerti serta mendengarkan aspirasi publik. Bukan menutup kran aspirasi publik. Jika dipaksakan untuk disahkan tanpa mendengarkan publik. Bisa jadi akan ada gelombang aksi dan penolakan yang lebih besar daripada tahun 2019.

Pasca diterimanya draft RUU KUHP oleh DPR, harapannya adalah ruang publik harus dan wajib masih dibuka. Jangan terlalu cepat untuk disahkan. Biasanya setelah RUU hasil kajian dari pemerintah diserahkan pada DPR akan secepat kilat untuk disahkan. Penyerahan pada DPR hanya formalitas belaka. 

Dianggap hasil dari kajian pemerintah sudah benar dan baik tanpa diperlukan lagi kritikan dan masukan dari publik. Fakta kecil adalah adanya UU KPK, UU Cipta Kerja dan UU IKN begitu cepat proses pengesahannya. Proses DPR dianggap formalitas belaka. Pasca draft dianggap selesai dari pemerintah.

Mari kita bersama kawal dan analisa semua norma hukum dalam RUU KUHP baru tersebut. Selagi masih dibuka ruang publik. Jangan sampai terlalu cepat untuk dibawa pada pembahasan tingkat 2 (Rapat Paripurna DPR) untuk langsung disahkan. Tanpa adanya proses pembahasan tingkat 1 sebagai ruang serap aspirasi publik.

Tampaknya target tahun ini RUU KUHP akan dipaksakan untuk disahkan. Boleh silahkan, asalkan terima suara dari aspirasi publik. Jangan anti kritik.

            

Penulis: Saifudin atau Mas say

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun