Jangan sampai celah ini justru dapat dimanfaatkan untuk mempercepat pengesahan RUU KUHP. Alibi pemerintah saat draft digodok telah melibatkan publik?. Ini aneh.Â
Publik dalam proses legislasi adalah ketika masuk pada lembaga legislatif. Disisi lain pemerintah saat penggodokan masih terkesan tertutup. Draft saja tidak dapat diakses sebelum dipaksa publik untuk segera dibuka.
Â
Pengebirian aspirasi publik
Pintu tampak tertutup saat draft RUU KUHP masih dibahas internal oleh pihak pemerintah. Memang dalam hal membuat RUU pemerintah melalui Presiden memiliki kewenangan penuh (Pasal 5 ayat (1) UUD 1945). Untuk kemudian nanti dibahas bersama dengan DPR (Pasal 20 ayat (2) UUD 1945).Â
Pihak pemerintah mengklaim telah banyak melibatkan banyak pihak dan telah melakukan sosialisasi. Apa faktanya?. Draft baru bisa terlihat saat sudah diserahkan pada DPR.Â
Selama ini ada di mana?. Ini artinya selama penggodokan pemerintah masih tertutup. Ingin memaksakan norma hukum yang dianggap benar. Lalu apakah pintu kedua melalui DPR juga masih akan tertutup?. Tanpa adanya pembahasan tingkat 1 lagi dengan melibatkan publik?.Â
Langsung disahkan pada pembahasan tingkat 2?. Pada 2 pintu inilah sebagai tolak ukur aspirasi dari publik akankah masuk dan diterima?. Apa justru tidak mau mendengarkan suara publik?.
Proses formil dan materiil dalam penyusunan KUHP baru masih terkesan tertutup. Pemaksaan norma hukum yang ada sebagian belum mendengarkan aspirasi publik. Dipaksakan untuk segera mendapatkan pengesahan. Kran aspirasi publik dalam public hearing masih sekedar formalitas belaka.
Sebuah UU dibentuk untuk memberikan rasa aman pada masyarakat. Prosesnya sebuah keniscayaan untuk dapat melibatkan publik. Negara demokrasi itu idealnya. Hanya dalam sebuah negara otoriter saja adanya pengebirian aspirasi publik.
Perlindungan penguasa