"Mahadewi, maafkan aku....., karena aku harus hidup dalam kenyataan, bukan dongeng aneh ini. Kalau aku menceritakan tentangmu, orang akan bilang aku gila. Begitu juga kau. Kita tidak mungkin bersama. ...."
"Teganya...bukankah selama bertahun-tahun kamu  meredakan tangisanku, kamu sambut aku, sejak usiamu  bocah belasan tahun, sampai usiamu seperti ini...Kamu malu mengakui aku, karena aku orang kebanyakan, bukan sosialita sepertimu....."
"Tidak Mahadewi, kamu hanya halusinasiku saja....... Pergi lah selamanya, kita lupakan  semua kenangan itu....Maafkan aku, kamu hanya halusinasiku...., aku akan menikah dengan manusia.....tidak mungkin dengan sosok khayalan atau hantu sepertimu " Aldra  tampak pedih menatap nanar ke arah Mahadewi.
"Aku bukan hantu, dan aku akan buktikan suatu saat kelak"
Dengan mata membasah, Mahadewi menyusuri jalan berliku, bukit-bukit  penuh rimba pepohonan, dan kelokan sungai di bawah semburat purnama. Kali terakhir Mahadewi  mengucapkan selamat tinggal.
Cinema Mahadewi
Doni mengajak Mahadewi menonton tayangan cinema berjudul Mahadewi. Di sebuah rumah, rumah mereka , di layar lebar dengan akustik yang mengesankan.
"Mahadewi, terimakasih sudah menjadi istriku. Terimakasih untuk menjadi sehat dan kembali kepada realita. Sebenarnya aku enggan membiarkanmu menonton film tersebut. .... "
Mahadewi hanya membalas dengan senyuman hampa.
"Sepertinya aneh, sebuah kebetulan yang sama...."
Ada kegelisahan di hati Doni. Diam-diam ia mensyukuri, istrinya tidak gila. Diam-diam , sepekan silam  sahabat dekatnya yang kolega Pak Chandra meneleponnya.