Pagi yang sibuk . Jalanan macet. By Pass Soekarno Hatta bandung seperti untaian mobil dari perapatan jalan Ibrahim Ajie (Kiaracondong) hingga ke kawasan metro. Semestinya Diandra tak mesti repot begini kalau bukan gara-gara putri bungsunya Rathu mengSMS dirinya. Tugas dari guru yang semalaman ia kerjakan tertinggal dimeja tamu. Jam 09.30 gurunya minta tugas dikumpulkan. Jadi Diandra terpaksa harus mengantarnya ke sekolah Rathu.
Diandra yang baru beres menjemur cucian bergegas mematikan kompor gas yang tengah merebus tulang iga untuk membuat sup. Lalu mengunci semua pintu jendela . Dan menyambar tasnya serta berkas tugas milik Rathu. Langkahnya secepat angin sehingga tak sempat ia membalas lambaian tangan Ibu Dina tetangganya. Ia langsung duduk di angkot.
Supir angkot mengemudikan angkot lusuh itu di antara kemacetan dan sempat-sempatnya mengetem di beberapa tikungan. Asap rokok yang dikepulkannya merasuk paru-paru Diandra hingga terbatuk-batuk. Ada lelaki bertampang seram berjaket kulit , memangku tas besar , duduk di hadapannya . Lelaki itu sibuk memperhatikan Diandra. Ada juga lelaki berjaket kulit , bertas besar, duduk dipojok belakang. Selain dua lelaki itu dan Diandra, tak ada penumpang lain, angkot nyaris kosong. Lelaki mencurigakan tetap tak bergeser dan duduk di depannya. Yang satu lagi di pojok belakang, sama seramnya, juga memperhatikan dirinya. Kalau bukan karena kehabisan uang receh untuk membayar angkot, ia pasti sudah turun dan ganti angkot.
Hanya ada selembar uang seratus ribu rupiah di tasnya plus uang receh 8 lembar seribuan untuk bayar angkot jurusan Gede Bage Stasiun pulang pergi. Angkot bercat hijau muda terang ini. Dibayar pakai uang 50,000 saja supir angkot sering marah-marah,”Nggak ada uang kecil Bu?” biasanya mereka protes. Apalagi dengan lembar 100.000. Mereka suka marah-merah dan mengomel. Lagipula lembaran ini harus ia hemat dan harus cukup bagi Diandra sampai 5 hari 3 hari ke depan. Mulai dari ongkos angkot anak sampai belanja buat masak.
Diandra tahu betul banyak cerita soal kawanan penjahat dan pencopet di angkot. Ada yang duduk di dekat pintu, atau dibelakang. Ada yang naiknya pura-pura tak bersamaan , padahal komplotan. Dan mereka biasanya berjaket dan bawa tas besar. Bergidik Diandra sambil matanya terus waspada. Ia memasang tampang galak, kalau bisa , Diandra mengubah dirinya agar tampak sangar.
Panas matahari menerpa punggungnya. Ah, kasihan anakku, gumamnya dalam hati. Setiap pagi dan petang menumpang angkot begini . Menempuh beberapa kilometer dari pinggiran Bandung untuk menjangkau sekolah favorit di kota. Satu jam yang menjemukan.
Bukan hanya melewati jalanan Bandung yang macet begini, tapi juga harus menyedot asap lautan motor yang menyesaki jalanan . Motor yang bukan saja berbaris seperti kerumunan semut di jalur lambat, tapi juga merangsek ke atas trotoar dan jalur cepat. Menyalib angkot ugal-ugalan sehingga beberapa kali supir angkot itu meneriakkan omelan kepada pengemudi motor yang main serobot saja.
Angkot-angkot kebanyakan kosong .Banyak yang isinya hanya satu dua penumpang. Mereka mengetem dimana-mana. Pernah Rathu putrinya beberapa kali diturunkan di tengah perjalanan , lantaran tinggal dia sendirian, karena akan berputtar trayek balik.
Sering pula angkot nakal memilih lewat jalur cepat jalan Soekarno Hatta, sehingga menghentikan penumpangnya di tengah jalan. Saat itu hujan angin yang sangat lebat . Rathu yang biasanya turun di sebuah shelter di tepi jalur lambat, harus kehujanan gara-gara diturunkan di jalur cepat, sehingga harus menyeberangi satu lintasan jalur lambat baru bisa mencapai shelter di tepi jalan. Rathu pulang basah kuyup dan esoknya sakit. Keterlaluan, Diandra menggerutu dalam hati.
Berhenti di tengah jalan menurunkan atau menaikan penumpang kerap dilakukan angkot. Bercokol di tikungan jalan , itu juga biasa. Perilaku supir sudah biasa mengepul-ngepulkan asap rokok seenaknya . Tak peduli penumpangnya terbatuk. Begitulah supir angkot. Jika angkot kosong mengetem berlama-lama biar penumpangnya sudah telat masuk kantor atau sekolah .
Jika sudah jalan ugal-ugalan, seolah tak mempedulikan keselamatan penumpangnya. Angkot mengesalkan, tapi apa boleh buat, sebagai penumpang yang tak punya motor apalagi mobil, Diandra harus mengurut dada, karena angkotlah yang membawa anaknya pergi dan pulang sekolah. Membawanya ke dokter , ke pasar, atau mudik ke rumah ibunya di kabupaten Bandung. Angkot pulalah yang membawa suaminya pergi mencari nafkah ke kantor.
Begitulah, kadang Diandra trenyuh dengan nasib supir angkot yang sudahlah bersimbah keringat , masih harus mengucurkan lembaran uang bagi ara preman di jalanan. Tapi kadang juga mmebuatnya gusar. Supir angkot juga pernah membuat Diandra beringas.
Ketika ia baru pulang menjemput Rathu , melewati jalur kereta api jalan Kiaracondong (Ibrahim Adjie), sang supir nekad menerobos pintu kereta. Tak tahunya maju kena mundur kena, di depan jalan macet, mundur juga jalan macet.
Diandra mengajak Rathu lari turun menyelematkan diri,. Angkot bersupir kasar itu hampir-hampir saja diserempet kereta dan petugas pintu kereta habis-habisan memarahi sang supir.
Tiba-tiba angkot mampir dulu di pom bensin. Diandra terhenyak waktu lelaki di hadapannya itu mengeluarkan ponsel.
“Maaf Pak, di pom bensin dilarang menyalakan ponsel..” Diandra menegur.
“Oh, maaf, ………………, sebenarnya saya cuma…” lelaki seram itu menjawab dengan menyeringai menahan tawa..
“Pak, itu di tembok dengan pompa bensinnya, ada gambar ponsel yang diberi garis miring merah, artinya dilarang menyalakan ponsel. Ada gambar kamera diberi garis miring merah, artinya juga dilarang meyalakan kamera digital. Itu gambar rokok dikasih garis miring merah, juga artinya dilarang merokok. Lihat sendiri kan , pak supir memadamkan rokoknya……,” Diandra menjelaskan.
“Oh ,maaf bu…,saya cuma mau matikan saja kok, bukan mau pakai ponsel…” lalu lelaki seram itu memasukkan kembali ponsel ke dalam sakunya.
Sementara yang berada di ujung tampak juga membendung perasaan tertentu, seperti tawa ditahan. Karenanya Diandra kesal , melotot kepadanya , sehingga akhirnya lelaki di sudut itu buang muka.
Sejenak Diandra melupakan dua lelaki itu . Perjalanan kembali berlanjut, angkot melaju ugal-ugalan, atau mengetem terlalu lama.
Kembali ia melamun ngalor ngidul untuk mengisi perjalanan. Ah , anakku,kasihan kau, dua jam pulang pergi harus kau tempuh setiap harinya.
Diandra memilihkan sekolah favorit di pusat kota ini karena anjuran guru SD Rathu. . Sayangnya orang seperti Diandra dan suaminya hanya mampu membeli rumah cicilan kredit di pinggiran . Dan sekolah bagus ada di tengah kota. Pasangan muda yang harus merintis dari awal. Pernah seorang orangtua murid mengejeknya.
“Cari rumah kok di pinggiran, udah gitu kecil pula, dan jalannya nyungsep. Eh, ternyata banjir lageee kalau musim hujan…,:” begitu Ibu Girka , orang tua teman sekelas Rathu mengejeknya.
“Tak apalah bu, yang penting kami punya tempat berteduh sendiri , bayar cicilan sama saja dengan mengontrak, ” Diandra berkelit.
“Memangnya rumah saya ini letaknya di tengah kota hasil mengontrak?, Saya juga rumah sendiri kok?” Ibu Girka mencibir sambil berlalu meninggalkan Diandra.
Terbayang pula begitu angkuhnya Ibu Girka, karena meski suaminya bekerja serabutan , penghasilannya sangat kurang dari cukup, dan lebih banyak jam santai dan tidur siangnya.
Nyatanya ia bisa punya rumah di kawasan kota. Tentu saja, karena rumahnya adalah pemberian ayahnya Ibu Girka. Meski mereka berdua tak perlu cari duit mati-matian, tapi dapat sumbangan sana sini, dari orang tuanya Ibu Girka, dari adiknya, dari bibinya……
Jika Rathu harus menempuh perjalanan satu jam, Girka cukup 15 menit sudah sampai ke sekolah. Jika Rathu harus berangkat dari rumah jam 05. 30, bangun mandi dan sarapan sebelum pukul 04.00, Girka bisa berangkat pukul 06.30 danbisa bangun kesiangan. Tapi tetap saja prestasi Rathu jauh di atas Girka yang rajin sekali dibekali ilmu menyontek oleh ibunya.
Mungkin Ibu Girka suaminya tak rajin dan tekun cari nafkah karena sudah kadung keenakan diberi rumah oleh mertua, dibantu oleh saudara dan para ipar. Tapi Ibu Girka selalu memaksakan diri membeli kosmetika perawatan yang harganya jutaan rupiah. Membeli pakaian yang modis. Semua sandangnya harus bermerk terkenal.
Jika Ibu Girka kekurangan uang buat beli beras, ia tinggal meratap dan menjual cerita kesedihan kepada ibunya. Sehingga ibunya akan menggerakkan adik-adiknya untuk menyumbang Ibu Girka, yang diumumkan kehabisan uang buat beli beras. Tentu saja kehabisan uang buat beli beras karena ia habiskan uangnya untuk membeli kosmetik mahal, pakaian modis, dan semua yang membuatnya tampil awet muda dan bak istri sosialita.
Diandra mendengar Ibu Girka berceloteh di hadapan para ibu sambil terkekeh-kekeh, bangga merasa bahwa dirinya sangat cerdik memperdaya orangtuanya sendiri.
Huuup, sadar tengah naik angkot. Malu dan merasa bersalah kepada diri sendiri, kenapa melamun tak berguna. Urusan Ibu Girka, hak dialah . Yang penting , dirinya tidak suka berbohong apalagi menakali orang.
Akhirnya Diandra menghentikan lamunannya, kini ia melihat sejumlah anak SMA kena tilang. Juga anak SMP. Heran , masih seragam SMP kan belum punya SIM, kenapa ya bisa bawa motor segala ke sekolah? Kerumunan polisi lalu lintas itumenyadarkan ia bahwa sekolah putrinya sudah tak jauh lagi.
Sebentar lagi angkot akan sampai ke dekat sekolah Rathu . Tiba-tiba ia mendengar suara lelaki seram yang ada di hadapannya.Ada satu lelaki lainnya duduk di pojok ikut mengamati.
“Maaf bu, boleh saya bicara….,” tiba-tiba….. berani-beraninya lelaki itu bicara. Wajah seram di hadapannya. Wajah lelaki satunya yang di pojok juga memandangnya. Jangan-jangan ini komplotan......
“Maaf ya, tak perlu bicara apapun dengan saya!” dengan galak Diandra meminta supir berhenti. Sekolah Rathu sudah dekat, jalan kaki jauh sedikit tak mengapa daripada jadi korban hipnotis penjahat ini.
Jangan memandang mata penjahat, jangan terpancing pembicaraan. Jangan-jangan ini penjahat yang suka menghipnotis. Jangan-jangan …ah, untunglah Diandra segera turun, dan angkot berlalu.
Akhirnya, Diandra menghampiri satpam sekolah, menuliskan nama anaknya, nama kelasnya, agar berkas tugas anak yang ketinggalan di rumah tersebut disampaikan. Setelah mengucapkan terimakasih satpam sekolah lalu bertanya.
“Tapi bu, maaf, mungkin ibu salah pakai sendal, kenapa yang kiri dan kanan berbeda? “ ucapan itu membuat Diandra tersadar dan tergelak.
“Aduh, terimakasih pak Satpam. Untung dikasih tahu…..Malu-maluin ., tadi saya terburu-buru ,jadi tidak lihat lagi. …….” Diandra tertawa menyadari rupanya dua lelaki yang terus mengamatinya tadi di angkot, dan menahan tawa, karena ia menggunakan dua sendal yang berbeda.
Dan lebih dikejutkan lagi ketika lelaki lain yang tadi diam dan duduk di sudut , ternyata adalah salah satu guru di sekolah tersebut. Diandra memang jarang ke sekolah dan tak mengenal semua guru . Wah, Diandra salah sangka, dia pikir guru tadi anggota komplotan lelaki seram yang bertanya kepadanya.
Akhirnya Diandra mampir ke warung sekolah , membeli sepasang sendal jepit untuk perjalanan pulang. Sambil menahan geli dan tawa sepanjang perjalanan dari arah kota ke pinggiran Bandung.
Beberapa bulan kemudian, Diandra dapat kejutan baru.
Ibu Dina tetangganya mengadakan syukuran anaknya lulus sarjana . Dan memperkenalkan bahwa salah satu tamunya adalah dosen pembimbing anaknya di sebuah PTN, sekaligus juga calon mertua anaknya, alias calon besan Ibu Dina.
Dosen itu ternyata …, dialah lelaki seram di dalam angkot yang Diandra curigai habis-habisan sebagai penjahat.
“Calon besan saya ini pecinta lingkungan, kalau kemana-mana sendirian lebih suka pakai sepeda, jalan kaki, atau naik angkutan umum….. “ , Low Profile memang…. Dan tampak wajah lelaki itu menahan tawa saat diperkenalkan kepada Diandra.
Gleg, Diandra malu berat, lain kali harus lebih peka membedakan wajah seram luarnya saja, dengan wajah tidak seram yang ternyata sebetulnya penipu dan penjahat dalam angkot…..
“Makanya lain kali kalau naik angkot konsentrasi, jangan ngelamunin terus keburukan orang, mungkin gara-gara ngedumel dalam hati saking kesalnya kepada Ibunya Girka, mengomeli segala sesuatu dengan gerutuan ...... dalam hati..... jadi tidak connect dan berpikirnya amburadul……, malah jadi salah sangka ke orang,…. Maluuuuu,” Diandra menasehati diri sendiri, dalam batin saja.
(Lalu menertawakan diri sendiri).
Bandung, Maret 2010
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI