Baju lusuh yang ia kenakan mulai mengeluarkan aroma tak sedap. Â Keringat dingin bercampur air hujan. Â Ia merasakan makhluk melata melewati tubuhnya. Kelabang, kalajengking, Â bahkan ular menaiki tubuhnya. Bahkan suara mendesis mampir di telinganya.
Malam ketiga,  Kang Kirman seperti sudah tidak tahan. Merasakan badannya sudah lunglai.  Tapi ia masih punya semangat karena ini malam terakhir,  ia harus tetap bertahan.  Malam hari tak hanya bayangan yang menari.  Tapi wujud nyata dalam pandangannya. Seringai  wajah-wajah astral mengganggunya.  Menyentuh kepala dan badannya sambil mengeluarkan suara yang tak ia fahami maksudnya.
Tubuh Kang Kirman serasa bergoyang. Â Tapi dalam pejam ia tetap bertahan menangkupkan tangan setenang mungkin. Hingga tanpa sadar ia seperti melepas sukma. Â Tertidur pulas dalam semedi di hari terakhir.
Pagi hari, Â juru kunci membangunkan, Â sambil memegang daun Dewandaru yang telah menguning. Â Hinggap di tubuh kang Kirman.
Bahu kang Kirman ditepuk pelan.
"Permintaan gaib bapak diterima", kata juru kunci.
Kang Kirman lemas, Â bahkan ia harus dituntun untuk sampai ke sebuah ruangan. Â Nasi selamatan dengan ingkung ayam jantan sudah tersedia. Setelah meminum ramuan pemberian juru kunci, Â Kang Kirman merasa badannya lebih segar. Â Segera makan nasi selamatan dan berpamit pulang.
Sebelum pulang, Â juru kunci berpesan, "jangan lupa tiap tanggal 12 bulan Syura bapak harus ke sini"
kang Kirman mengangguk tanda faham.
Sampai di rumah istrinya ngomel-ngomel, Â bertanya kemana saja selama tiga hari tidak ada kabar. Â Istrinya bilang, Â listrik air belum di bayar. Â Kemarin Pak RT menanyakan uang bulanan, Â beras habis, Â gula habis, Â semua kebutuhan sudah tak ada persediaan.
Kang Kirman hanya diam, Â mengingat semua pesan juru kunci untuk tetap tenang.
Ia masuk ke kamar, Â mengambil pisau dan benang jahit. Â Lalu memasukkan daun Dewandaru ke dalam bantal yang biasa ia pakai.