Kang Kirman sudah mantab, Â informasi tentang pesugihan gunung kawi begitu mengganggu pikirannya. Meskipun Koh Liem tetangganya yang keturunan Tionghoa sudah memperingatkan resiko yang harus ditanggung, Â mengingat saudaranya sampai saat ini menjadi gila karena menjadi tumbal pesugihan orang tuanya. Â
Cik Wie Lan yang cantik saat ini memang hidup menggelandang  di jalanan. Ia berkeliling jalanan kampung memunguti pastik dan batu-batu kecil.  Keluarganya sebenarnya malu,  tapi  begitu ia di bawa pulang,  sebentar saja sudah keluar lagi.  Keluarganya hanya bisa mengawasi dari jauh.
Di dalam bus Surabaya-Blitar yang membawanya ia terus terbayang kondisi keluarganya yang miskin.
Sekolahnya yang hanya tamatan SMA dan tidak mempunyai keahlian membuatnya tersisih dari pekerjaan.  Ia sudah mencoba mencari pekerjaan ke sana kemari.  Tapi belum dapat juga.  Istrinya setiap hari uring-uringan  menyuruh kang  Kirman kerja.  Karena pekerjaannya sebagai buruh cuci sudah tak lagi memenuhi hajat hidupnya.
Malam jumat legi, Â ia berangkat ke Gunung Kawi. Berbekal uang pinjaman seorang kawan baiknya.
Tak sulit menemukan Gunung Kawi. Dari terminal hanya beberapa menit. Â Bisa naik angkot atau ojek yang banyak tersedia di terminal Blitar.
Beberapa keperluan ritual ia beli. Â Konon para peziarah harus menyedikan kembang tujuh rupa dan sebutir telur angsa sebagai sarat ritual.
Lewat informasi seorang tukang warung di area makam, Â ia bertemu dengan juru kunci. Â
Dalam dialognya  juru kunci bertanya berkali-kali pada kang  Kirman  untuk meyakinkan tekadnya.  Juru kunci juga menyampaikan resiko yang akan ditanggung  bila seseorang mengikuti ritual pesugihan.
"Harus ada tumbal,  bisa gila atau diambil nyawanya" , demikian pesan  juru kunci.
Kang Kirman sudah gelap mata. Â Penderitaannya yang ia alami selama ini seolah menutup semua resiko yang bakal ia tanggung.
Dituntun juru kunci, Kang Kirman mengikuti ritual pensucian diri di sebuah kolam khusus. Rasa dingin yang menggigit tulang sudah tak lagi ia hiraukan.
Selesai mandi,  juru kunci menebas daun pohon pisang dan meletakkan di bawah sebuah pohon  yang konon bernama Dewandaru.
"Bapak duduk di atas daun pisang selama 3 hari 3 malam, Â usahakan tidak kencing atau tidak mengeluarkan kotoran. Andai bapak tidak bisa menahan, Â jangan bergeser dari tempat duduk. Berak dan kencinglah di atas daun pisang, Â nanti bisa dibersihkan kalau ritual sudah selesai"
Itu pesan juru kunci sebelum kang Kirman melakukan tapa semedi tanpa makan minum selama tiga hari.
Sebelum pergi juru kunci memberikan pesan, Â " Nanti kalau sudah tiga hari akan ada daun Dewandaru yang jatuh di badan, Â itu pertanda permintaan gaib bapak disetujui"
Lalu Kang Kirman memulai semedi. Â Malam pertama, Â nyamuk dan hewan kecil mengganggunya. Ia mulai tersiksa. Â Bahkan seekor semut masuk ke dalam celananya. Â Tapi ia terus bertahan. Â Malam itu lokasi makam hujan deras, Â petir menggelegar disertai kilat menyapu. Â Ia samar-samar melihat bayangan berbagai jenis makhluk halus menari-nari di depan matanya. Ia ingat pesan juru kunci untuk tetap bertahan. Â Terjaga dengan mata terpejam sambil terus merapal mantra yang diajarkan juru kunci.
Lalu terdengar kokok ayam, bersahutan dari seluruh pelosok kampung, Â pertanda pagi menjelang. Â
Dalam ruangan yang lembab ia merasakan badannya mulai dingin. Â Lapar dan haus menyerangnya. Mulut nya asam. Mengingatkan sebatang rokok yang ia selipkan di pintu dapur rumahnya.
Sebentar ia terhuyung, Â hampir jatuh. Â Tapi ia ingat pesan juru kunci agar jangan sampai rebah. Â
Lalu sayup-sayup terdengar azan dari kejauhan. Pertanda maghrib telah datang. Mengingatkan kan Kirman yang sudah lama tak  sembahyang. Â
Ia terus bertahan. Tengah malam suara lolong anjing memecah kesunyian. Â Dingin, Â sepi menggigil. Untung ia tak merasa ingin kencing atau buang hajat. Â Karena sebelum semedi ia memang belum sempat makan apa-apa. Â
Baju lusuh yang ia kenakan mulai mengeluarkan aroma tak sedap. Â Keringat dingin bercampur air hujan. Â Ia merasakan makhluk melata melewati tubuhnya. Kelabang, kalajengking, Â bahkan ular menaiki tubuhnya. Bahkan suara mendesis mampir di telinganya.
Malam ketiga,  Kang Kirman seperti sudah tidak tahan. Merasakan badannya sudah lunglai.  Tapi ia masih punya semangat karena ini malam terakhir,  ia harus tetap bertahan.  Malam hari tak hanya bayangan yang menari.  Tapi wujud nyata dalam pandangannya. Seringai  wajah-wajah astral mengganggunya.  Menyentuh kepala dan badannya sambil mengeluarkan suara yang tak ia fahami maksudnya.
Tubuh Kang Kirman serasa bergoyang. Â Tapi dalam pejam ia tetap bertahan menangkupkan tangan setenang mungkin. Hingga tanpa sadar ia seperti melepas sukma. Â Tertidur pulas dalam semedi di hari terakhir.
Pagi hari, Â juru kunci membangunkan, Â sambil memegang daun Dewandaru yang telah menguning. Â Hinggap di tubuh kang Kirman.
Bahu kang Kirman ditepuk pelan.
"Permintaan gaib bapak diterima", kata juru kunci.
Kang Kirman lemas, Â bahkan ia harus dituntun untuk sampai ke sebuah ruangan. Â Nasi selamatan dengan ingkung ayam jantan sudah tersedia. Setelah meminum ramuan pemberian juru kunci, Â Kang Kirman merasa badannya lebih segar. Â Segera makan nasi selamatan dan berpamit pulang.
Sebelum pulang, Â juru kunci berpesan, "jangan lupa tiap tanggal 12 bulan Syura bapak harus ke sini"
kang Kirman mengangguk tanda faham.
Sampai di rumah istrinya ngomel-ngomel, Â bertanya kemana saja selama tiga hari tidak ada kabar. Â Istrinya bilang, Â listrik air belum di bayar. Â Kemarin Pak RT menanyakan uang bulanan, Â beras habis, Â gula habis, Â semua kebutuhan sudah tak ada persediaan.
Kang Kirman hanya diam, Â mengingat semua pesan juru kunci untuk tetap tenang.
Ia masuk ke kamar, Â mengambil pisau dan benang jahit. Â Lalu memasukkan daun Dewandaru ke dalam bantal yang biasa ia pakai.
Kang Kirman rebah, Â lemas lunglai lemah. Â Tertidur seperti mengalami hibernasi. Â Suara sewot istrinya sudah tak terdengar lagi. Â Karena Kang Kirman sudah dibuai mimpi.
Pagi hari, Â seorang tamu tak dikenal mengetuk pintu. Membawa tas kulit mengkilap. Â Mobil Pajero parkir di depan rumah kang Kirman. Â
Istrinya tergopoh. Membangunkan kang Kirman. Â Terhuyung, Â kang Kirman keluar kamar. Bersalaman dengan tamu.
Belum sempat Kirman bertanya lebih jauh, Â sang Tamu sudah terlebih dahulu memperkenalkan diri.
Ia adalah utusan sebuah kontraktor di jakarta, Â sedang mencari ahli las yang bisa diajak kerja sama.
"Bapak tidak usah ikut bekerja, Â mengawasi saja, Â sambil memberikan arahan pada tukang yang mengerjakan", begitu kata tamu.
Kang Kirman melongo, Â ia tak menyangka keahliannya mengelas besi dilirik pengusaha Jakarta.
Setumpuk uang ditinggalkan untuk Kang Kirman sebelum sang tamu pergi. Â Istri Kang Kirman tersenyum lebar lupa akan semua kesalahan Kang Kirman.
Sejak itu kehidupan Kang Kirman berubah. Â
Rumah lantai dua seberang jalan berhasil dibelinya. Â Mobil keluaran terbaru menghiasi garasinya. Â Istrinya tak lagi bekerja sebagai buruh cuci. Â Bahkan kini mereka sudah punya 2 asisten rumah tangga. Hidup mewah berkecukupan.
Tapi yang mengherankan putri mereka satu-satunya berubah perangainya.  Ia jadi pendiam sekarang.  Tak mau sekolah,  tak mau keluar,  hanya diam mengunci pintu di kamar.  Sampai suatu ketika,  putrinya berteriak seperti  orang kesurupan.  Tabib dan ustad di datangkan , tapi tak merubah keadaan.  Bahkan dokter rumah sakit jiwa menyerah tak sanggup merawatnya.
Putri Kang Kirman semakin liar. Sering keluar malam-malam sendirian. Â Pergi dan berjalan tak tentu arah sampai keluarganya kebingungan. Â Yang terakhir membuat heboh orang sekampung. Â Putri kang Kirman keliling kampung sambil telanjang, Â sambil menari dan menyanyi dengan irama tak jelas. Â
Istri Kang Kirman menangis sesenggukan. Menangisi nasib putrinya yang makin mengenaskan.
Tak ada jalan lain. Â Dengan berat hati, Â putri kang Kirman akhirnya dikurung seperti binatang. Â Agar tak pergi sendirian. Â Istrinya yang merawatnya penuh kasih sayang. Â Dengan air mata berlinangan.
Tanggal 12 Syura, Kang Kirman seharusnya datang Ke Gunung Kawi sesuai perjanjian. Tapi ia tak datang. Â Perusahannya sedang ada meeting penting tak bisa ditinggalkan.
Beberapa hari kemudian setelah tanggal 12 bulan syura, Â tiba-tiba Kang Kirman disingkirkan. Tanpa tahu sebab dan alasan. Â Bahkan ia pulang ke kampung tanpa bekal dj jalan. Â
Kini Kang Kirman jadi pengangguran. Â Dua asisten rumah tangganya diberhentikan. Rumah dan mobil beserta seisi rumah dijual demi membayar kartu kredit di bank.
Kang Kirman kembali ke kontrakan lama. Â Rumah yang gentengnya banyak yang bocor. Â Istrinya kembali jadi tukang cuci. Dengan tambahan beban putri mereka yang kini sakit saraf.
Di ujung gang Koh Liem tersenyum. Â Mengangguk-anggukkan kepala seakan faham akan keadaan.
Dalam hati Koh Liem berguman, Â "Bukankah dulu sudah aku peringatkan? ".
Kisah ini hanya fiktif belaka, Â kesamaan tokoh, Â tempat dan peristiwa hanya kebetulan semata.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI